Ekonomi dan Islam
by Sahlul Fuad
Tentu saja perkawinan kata ekonomi dan kata Islam tidak terjadi begitu saja. Ekonomi yang berusia lebih tua dari lahirnya Muhammad SAW telah melanglang buana. Bisa dikatakan, di mana ada sekumpulan manusia, di sana ada operasi ekonomi. Dan setiap kelompok manusia mempunyai cara operasi masing-masing. Entah bagaimana kisah awalnya, apakah berupa tukar-menukar batu, daun, ikan, kerang, atau buah-buahan, yang jelas mereka saling mencoba mendapatkan apa yang mereka inginkan.
Setiap kelompok manusia tersebut, sepertinya, tidak mungkin langsung merasa kecewa terhadap proses operasi ekonomi yang mereka gerakkan. Sepertinya, semula mereka merasa tidak pernah mendapatkan masalah dalam operasi ekonomi tersebut. Tidak ada yang merasa dirugikan, semua pihak merasa puas. Tapi, bukanlah seorang manusia kalau selamanya puas dengan apa yang sedang dijalankannya selama ini. Jika merujuk pada terjemahan ayat al-Qur’an, “Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir.Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah.” (Al Ma’arij 19-20). Itulah manusia. Makhluk yang sengaja diciptakan penuh keluh kesah.
Bukanlah manusia, jika ia tidak menggunakan akalnya untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan. Akal terkadang menghasilkan produk kehidupan yang menguntung banyak orang. Akal pula, yang terkadang, meremukkan nasib orang. Meski “nasib tertentu” ada di tangan Tuhan. Manusia pun menyurangi sesamanya, bahkan alam sekitarnya. Manusia ditipu manusia, manusia menggunduli hutan, manusia membabat habis binatang-binatang, dan manusia pun menjadi semakin serakah, gunung-gunung dirongrong, manusia makan segalanya, demi keuntungan.
Akan tetapi, apakah seluruh manusia seperti itu? Jika bilang ya, mungkin kita tak sempat lagi menulis dan membaca artikel ini. Faktanya, sekian ratus juta manusia tidak mati terbunuh, atau membunuh yang lain. Masih sekian miliar manusia hidup dalam kemiskinan. Sedangkan manusia yang benar-benar kaya, benar-benar jahat, dan benar-benar berantakan, tidak akan pernah lebih dari lima puluh persen atas keseluruhan manusia yang hidup di bumi sekarang ini. Kalau jumlahnya lebih dari itu, niscaya manusia sudah musnah.
Saat Muhammad SAW lahir di Makkah, sebuah daerah gersang dan panas, proses perekonomian sudah berjalan lama. Entah bagaimana kenyataan yang sebenarnya, kita saat ini hanyalah penyimak sejarah sepenggal. Bahkan, sebelum menjadi Nabi dan sekaligus Rasul, Muhammad telah melaksanakan operasi ekonomi. Salah satu aktivitas ekonomi Muhammad yang paling terkenal adalah berdagang, sebagaimana tradisi suku Quraisy yang terkenal sebagai pedagang ulung ke negeri-negeri yang jauh. Mungkin juga termasuk Indonesia sebagai tempat mereka berdagang. Dan mereka, suku Quraisy, sangat lihai mendekati para penguasa sebuah kerajaan. Mereka juga menggunakan pendekatan kekuasaan untuk mendapatkan keuntungan dagang yang besar.
Mungkin, al-Qur’an adalah semacam kesimpulan besar atas kenyataan hidup manusia yang telah berabad-abad berjalan di atas alam semesta. Al-Qur’an tidak menggunakan kata-kata rinci dalam hal ini. Akan tetapi al-Qur’an menggunakan kata-kata kategorial untuk menglasifikasikan kondisi-kondisi empiris yang terjadi di lapangan. Misalnya, ungkapan barang yang baik, dan yang bermanfaat. Barang-barang apa saja yang dianggap baik dan bermanfaat bagi suatu kelompok masyarakat? Tentu saja berbeda. Bagi seorang petani, cangkul adalah barang yang sangat berharga dan bermanfaat. Akan tetapi, bagi seorang mahasiswa jurusan komputer, membeli cangkul, bisa jadi, adalah sebuah tindakan yang sia-sia. Karena dalam kehidupan sehari-harinya, cangkul bukanlah sesuatu yang dibutuhkan. Begitu pula sebaliknya. Flashdisk, bagi seorang petani, kemungkinan besar, bukanlah hal penting yang dibutuhkan. Namun, bagi anaknya yang sedang menekuni dunia digital, bisa jadi, flashdisk jauh lebih penting daripada cangkul, meski ia anak petani.
Begitu juga halnya hadits. Hadits lebih banyak mengungkapkan persoalan-persoalan yang muncul pada saat itu. Karena Muhammad adalah produk kultural dan struktural peradaban bangsa Arab pada saat itu. Untuk itu, problem ekonomi yang dihadapi oleh Muhammad jauh berbeda dengan kondisi masyarakat dengan kultur dan struktur peradaban di luar jazirah arabiyah, khususnya wilayah kota Makkah dan Madinah. Proses jual-beli cenderung berorientasi pada sesuatu yang berbentuk konkret (material), seperti dirham/ dinar dengan unta, dinar/ dirham dengan roti, dan seterusnya. Sedangkan bentuk jual-beli jasa, kalau ada, sangat jarang. Kondisi ini bisa juga dilihat pada masih berlakunya perbudakan di beberapa keluarga pada saat itu. Kenapa merujuk pada adanya perbudakan? Salah satu hal yang menonjol diperjuangkan pada saat itu adalah pembebasan budak. Artinya, fenomena perbudakan masih sangat ramai.
Sebagaimana urusan zakat yang pernah diperbincangkan Muhammad SAW bersama sahabat-sahabatnya saat itu, cenderung berkaitan dengan kondisi alam dan sosial pada saat itu. Dilihat dari sisi profesi pekerjaan, orang yang wajib mengeluarkan zakat adalah orang-orang yang berpenghasilan dari pertanian, peternakan binatang darat, dan perdagangan. Mungkin, karena Muhammad tidak banyak mengetahui urusan nelayan, ikan udang, tongkol, dan lain sebagainya tidak masuk dalam kategori harta yang wajib dizakati.
Kondisi alam dan sosial Indonesia tentu berbeda dengan kondisi tempat Muhammad SAW tumbuh besar. Apalagi kondisi zaman sekarang. Dunia sudah jauh berubah. Tidaklah mungkin menyamapersiskan bentuk-bentuk teknis ekonomi di berbagai penjuru dunia dengan teknis operasi ekonomi dengan kondisi tersebut di atas.
Karena Islam adalah ajaran, bukan teknis, Islam tidak masuk dalam wilayah-wilayah teknis. Islam sekadar memberikan kerangka besar secara kategorial, hal yang baik dan buruk, merugikan dan menguntungkan, sedangkan bentuk operasi yang baik dan menguntungkan seperti apa? Tergantung suatu kelompok masyarakat merasa sesuai. Urusan baik dan buruk, terkadang tidak bisa dilihat dengan baik oleh suatu kelompok di luar masyarakat tersebut. Walhasil, praktek ekonomi selalu merujuk pada praktek ekonomi suatu masyarakat masing-masing, begitu juga baik dan buruknya praktek ekonominya, bergantung pada ukuran kulturalnya masing-masing. Islam hanya menjelaskan, jangan merugikan orang lain dengan berbagai cara. Wallah a’lam bis shawab.
Post a Comment