Menakar Kekuasaan Presiden Indonesia
KOMPAS, Minggu, 23 Agustus 2009
• Judul Buku: Perbandingan Kekuasaan Presiden Indonesia
Setelah Perubahan UUD 1945 dengan Delapan Negara Maju • Penulis: Abdul Ghoffar
• Penerbit: KencanaPrenada Media Group • Cetakan: I, 2009 • Tebal: xxvi + 473
halaman
Saat merumuskan UUD 1945, mungkin para pendiri bangsa ini
tidak sempat membayangkan kelak ada seorang presiden Indonesia yang benar-benar
ingin memuaskan hasrat kekuasaannya hingga merugikan rakyat.
Apalagi jika menengok perdebatan masa lampau saat merumuskan
konstitusi, tampaknya mereka lebih fokus memilih antara bentuk pemerintahan
kerajaan atau republik. Dengan demikian, wajar jika konsepsi kekuasaan yang
diberikan kepada presiden dalam UUD 1945 adalah kewenangan yang sangat besar,
sebagaimana kekuasaan raja dalam bentuk kerajaan tradisional.
Kesederhanaan konsepsi kekuasaan di atas menjadi lubang
besar bagi para presiden yang menjabat dalam sistem ini. Ada tiga presiden yang
diturunkan secara paksa karena keleluasaan kekuasaan sistem. Atas dasar
pemikiran inilah, sistem kekuasaan presiden dipangkas habis-habisan dalam
proses amandemen UUD 1945 pada tahun 1999 hingga 2002. Menjadi pertanyaan kini,
sekecil apa kekuasaan presiden Indonesia pasca-amandemen? Bagaimana pula jika
dibandingkan dengan negara-negara yang diindentikkan sebagai negara maju? Kedua
pertanyaan inilah yang ingin dijawab Abdul Ghoffar dalam buku ini.
Alinea keempat pembukaan UUD 1945 menyebutkan, tujuan
didirikannya negara Republik Indonesia di antaranya ”melindungi segenap warga
negara Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia serta untuk memajukan
kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa”. Guna memenuhi tujuan
ini, diperlukan pemimpin yang mempunyai kekuasaan dan keinginan mewujudkan
semua itu.
Nyatanya, saat ini pertumbuhan ekonomi Indonesia baru menembus
angka enam persen, besaran yang belum bisa memenuhi syarat menyejahterakan
rakyat secara merata. Tingkat kemiskinan dan pengangguran masih tinggi.
Pembangunan antar-daerah pun masih timpang. Wajar jika kandidat pasangan
presiden dan wakil presiden yang bersaing saat pemilu lalu ditantang untuk
menggenjot pertumbuhan ekonomi. Oleh karenanya, mereka berlomba menunjukkan
estimasi angka pertumbuhan ekonomi sebagai salah satu indikator keberhasilan
kelak.
Terlepas dari realistik atau tidaknya estimasi masing-masing
calon pemimpin negeri, yang jelas mereka dituntut menyejahterakan rakyat
Indonesia dengan segala potensi kekuasaan yang diberikan. Tentu saja, langkah
yang digunakan presiden nanti tetap tidak bisa keluar dari batas kekuasaan yang
diberikan konstitusi.
Peran Kepala Negara
Kegelisahan buku yang berawal dari tesis magister Hukum Tata
Negara Universitas Indonesia ini adalah mencoba mengurai apakah negara yang
maju perekonomiannya dikarenakan dipimpin kepala negara atau pemerintah dengan
kekuasaan luas atau terbatas? Dari negara-negara kawasan lima benua yang
memiliki produk domestik bruto (PDB) tertinggi, Ghoffar menetapkan delapan
negara, yakni Amerika Serikat, Rusia, Jerman, Afrika Selatan, Kuwait, Jepang,
RRC, dan Australia sebagai perbandingan.
Terdapat empat alasan yang mendasari penetapan delapan
negara itu, yaitu perbedaan luas wilayah, perbedaan kemakmuran yang tajam,
faktor kedekatan geografis dengan Indonesia, serta untuk meliput macam-macam
sistem pemerintahan, bentuk pemerintahan dan bentuk negara yang ada di dunia
sehingga diperoleh wawasan lebih luas.
Selanjutnya, Ghoffar mendeteksi kemampuan ekonomi
masing-masing negara diikuti kajian kajian konstitusi masing-masing. Ghoffar
menunjukkan sistem kekuasaan para kepala negara di tiap negara. Begitu pun,
secara khusus, masing-masing sistem kekuasaan kedelapan negara disandingkan
dengan sistem kekuasaan presiden di Indonesia.
Materi pokok perbandingan —perbedaan dan persamaan— yang
disandingkan adalah sepuluh pokok kekuasaan presiden RI sebagaimana diatur
dalam UUD 1945. Kesepuluh pokok kekuasaan itu adalah kekuasaan penyelenggaraan
pemerintahan, bidang peraturan perundang-undangan, bidang yudisial, dalam
hubungan luar negeri, menyatakan keadaan bahaya, sebagai panglima tertinggi
angkatan bersenjata, memberi gelar dan tanda kehormatan lainnya, membentuk
dewan pertimbangan presiden, mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri,
serta mengangkat, menetapkan atau meresmikan pejabat negara tertentu lainnya.
Masih Besar
Hasil perbandingan menunjukkan, kekuasaan presiden RI masih
sangat besar dibandingkan dengan delapan negara lain. Berdasarkan pengalaman
delapan negara tersebut ditunjukkan, negara yang memberi kekuasaan lebih besar
kepada pemimpinnya cenderung tidak mendorong pertumbuhan ekonomi.
Kasus Jerman pada masa Nazi dan China pada masa jabatan
ketua Partai Komunis China (PKC), misalnya. Ketika kekuasaan pemimpin sangat
besar, pertumbuhan ekonomi sangat kecil. Saat kepala negara memegang kekuasaan
sangat besar, meminjam pendapat Lord Acton, para penguasa cenderung
menyelewengkan kekuasaan (power tend to corrupt, but absolute power corrupt
absolutely). Begitu batas-batas kekuasaan dikurangi dengan cara menerapkan
checks and balances antar-lembaga negara secara ketat, perekonomian maju pesat.
Dari perbandingan tersebut, dapat diketahui bahwa sistem
kekuasaan di negara-negara maju banyak dikontrol lembaga negara, seperti senat
atau parlemen. Bahkan, banyak kewenangan kekuasaan yang dimiliki presiden RI
yang ternyata tidak dimiliki delapan negara maju tersebut, seperti kekuasaan
menyatakan negara dalam keadaan bahaya.
Mungkinkah akibat banyaknya pokok kekuasaan yang dimiliki
presiden Indonesia mengakibatkan borosnya anggaran? Apakah beban berat
kekuasaan yang diemban membuat kepala negara tak sempat mendorong kemajuan
ekonomi? Ataukah faktor kemauan presiden memajukan ekonomi rakyat Indonesia
memang lemah?
Sayangnya, beragam pertanyaan tersebut tidak terjawab dari
buku ini. Singkatnya, setelah dipersandingkan dengan kedelapan negara maju,
memang terdapat perbedaan, yaitu masih tergolong besarnya kekuasaan presiden di
negeri ini. Sayangnya, kurang dapat ditelusuri argumentasi yang memetakan
hubungan kausalitas antara kekuasaan yang besar dengan kemajuan ekonomi.
Sebagai kajian hukum tata negara, buku ini sudah menunjukkan
secara akademis bahwa anggapan yang mengatakan pemerintah tidak stabil karena
kekuasaan presiden sangat kecil adalah tidak benar.
Asumsi kecilnya kekuasaan mungkin muncul karena presiden
tidak menggunakan hak-hak konstitusionalnya secara maksimal. Misalnya, presiden
tidak menggunakan separuh haknya dalam pembuatan UU.
Untuk itu, menurut Ghoffar, dalam waktu dekat tidak perlu
dilakukan penambahan atau pengurangan lagi kekuasaan presiden. Yang perlu diperbaiki
adalah peraturan perundang-undangan lini kedua, terutama undang-undang yang
mengatur hubungan antarlembaga negara.
Sahlul Fuad Peneliti pada Institute for Republic
Post a Comment