Berebut NU
Muktamar NU sudah menjelang. Bagi kalangan tertentu, peristiwa ini dihadapi seperti menjelang pilkades, pilkada, dan bahkan pilpres. Mereka membentuk tim sukses kemenangan, deklarasi sebagai kandidat calon Ketua Umum PBNU, dan berkampanye ke daerah-daerah.
Beberapa orang di antara mereka tampak sibuk mondar-mandir ke beberapa daerah untuk memperkenalkan diri kepada orang-orang penting NU di daerah sebagai orang NU yang penting di tingkat nasional. Mereka menunjukkan pentingnya NU bagi bangsa dan negara Indonesia, bahkan bagi masyarakat internasional. Mereka memaparkan kelebihan NU yang akan datang, sambil menunjukkan beberapa kelemahan NU saat ini.
Kunjungan ke cabang-cabang NU ini tentu ingin memberikan kabar baik tentang masa depan jam'iyah yang berusia 84 tahun ini. Mereka berkenalan dengan baik dengan para pengurus, khususnya para Ketua Umum Tanfidz dan Rois Suriyah cabang NU setempat, sambil menjanjikan kebaikan. Namun, perkenalan tersebut tidak termasuk warga nahdliyyinnya. Sebab, warga NU terlalu banyak untuk dikenal, sampai-sampai mereka tidak bisa dihitung.
Bagi orang-orang yang memen(dipen)tingkan NU ini, baik di tingkat cabang maupun pusat, tampak tidak terlalu menganggap penting warganya. Warga nahdliyyin hanyalah aset investasi, yang sewaktu-waktu bisa diambil bunganya dan pada saat-saat yang sangat kritis mereka akan ditarik semua untuk mengatasi persoalan yang dihadapi orang-orang NU penting ini.
Sebagai aset investasi, warga NU memang tidak perlu ditunjukkan semua dalam sebuah apel besar atau istighotsa kubro di lapangan. Karena memang tidak mungkin ada lapangan yang bisa menampung jutaan warga NU. Mereka cukup disebut dalam angka, setidaknya jumlah cabang yang seakan-akan mengurus semua warganya. Dengan demikian, NU adalah organisasi sekte keagamaan terbesar di dunia.
Meski demikian, ada cara menghitung jumlah warga NU ini. Tentu saja cara penghitungan ini tidak diikutsertakan dalam kategori sensus penduduk yang dilakukan oleh pemerintah. Penghitungan ini juga tidak menggunakan ilmu falaq, yang diajarkan di pesantren tentang penghitungan perbintangan dan sebagainya. Akan tetapi, mereka dihitung dalam perolehan suara dalam berbagai pemilu. Itupun tidak bisa didasarkan pada perolehan satu partai tertentu. Masih perlu pertimbangan-pertimbangan yang lain.
Di antara pertimbangan tersebut adalah dengan cara melihat siapa calonnya, dari partai apa saja, dan berapa perolehan suara masing-masing. Walaupun demikian, perhitungan ini tidak bisa seakurat mungkin. Sebab, banyak orang yang diperkirakan NU, tetapi memilih orang yang membayar. Tentu orang tersebut sudah termasuk orang keluar dari barisan, karena tidak loyal pada simbol ke-NU-an.
Kesimbolan NU memang tidak diragukan lagi kebesarannya. Simbol NU benar-benar telah milik publik, dan mampu menjadi perekat kesatuan beberapa kelompok masyarakat. Dengan simbol NU ini pula bisa seseorang bisa menjadi bagian dari saudara dan keluarga. Sebaliknya, oleh karena simbol NU ini juga tidak jarang terjadi konflik di kalangan masyarakat.
Di era seperti ini, banyak orang kembali menyangsikan kekeramatan simbol NU. Kaum-kaum terpelajar di kalangan Nahdliyyin, yang masih intens bersentuhan jam'iyyah dan jama'ahnya, tentu sebagian besar masih merasakan kekeramatan ini. Karena mereka mengetahui sumberdaya-sumberdaya potensial jaringan NU yang masih mengakui kekeramatan NU dalam banyak hal.
Namun, bagi warga nahdliyyin yang tidak secara langsung terlibat dalam “kanca gosip” serta “trik dan intrik” dalam lingkaran bumi terikat tampar ini tidak akan bisa merasakan secara langsung kekeramatan simbol NU. NU bagi kalangan ini hanyalah ritual keagamaan. Dan kekeramatan itu mereka temukan melalui ritual-ritual yang mereka jalani secara istiqamah selama ini.
Identifikasi mereka sebagai nahdliyyin bukan dari sisi keanggotaannya dalam organisasi, atau sebagai warga resmi secara administratif. Mereka mengaku sebagai orang NU karena mereka menjalani qunut dalam shalat subuh, membaca tahlil dan dziba' ketika malam jum'at, mengunjungi makam dan mendo'akan penghuni kuburan, belajar dan pernah belajar pada kiai yang mengaku NU, menjadi anak dan keturunan orang yang mengaku NU, dan beberapa identitas atau aktivitas kultural lainnya.
Akan tetapi, bagaimana dengan orang-orang yang "merasa" dirinya orang NU, namun (pernah) berafiliasi dengan kelompok yang bukan NU? Ada banyak pertimbangan bagi orang-orang penting NU untuk mengakui orang tersebut sebagai bagian dari warga NU. Meskipun simbol NU ini terbuka untuk publik, dan tidak ada ketentuan khusus secara administratif tentang warga NU, seseorang bisa saja dianggap tidak (lagi) NU, begitu juga sebaliknya. Bahkan orang yang memeluk agama di luar Islam pun bisa jadi mendapat "label sebagai orang NU". Tentu, pertimbangan utamanya adalah mereka termasuk orang terkenal di publik yang dekat, mengharumkan, dan membantu jam'iyyah NU.
Post a Comment