Memangkas Birokrasi Pelayanan Sipil

Terbongkarnya paspor “aspal” Gayus bukan cerita baru di negeri ini.  Percaloan dalam urusan apapun, termasuk paspor, tidak bisa hanya menyalahkan aktor calo dan petugas administrasi instansi terkait. Sebab percaloan tidak semata diakibatkan oleh para aktor tersebut, tapi juga disebabkan sistem administrasi publik yang memang mendorong munculnya para aktor percaloan.

Jangankan urusan paspor, yang merupakan kebutuhan masyarakat menengah ke atas, urusan akta kelahiran dan KTP, yang merupakan urusan seluruh warga negara saja, membutuhkan perjuangan tersendiri. Untuk mengurus pencatatan sipil di negeri ini, warga negara harus mengorbankan tenaga, biaya, dan bahkan waktu pekerjaannya.

Secara prosedural, pengurusan administrasi kependudukan itu harus melewati jenjang tingkat RT, RW, Kelurahan, dan Kecamatan, bahkan Kabupaten/ Kotamadya. Berurusan di tingkat RT kadang bisa diselesaikan dengan cepat dan mudah, karena berasas kekeluargaan. Bagaimanapun RT bukan dari bagian sistem pemerintah di negeri ini. Ketua atau pengurus RT hanyalah warga biasa yang dipilih oleh warga lainnya. Mereka tidak memiliki gaji dari anggaran negara atau daerah. Mereka juga tidak mempunyai kantor sebagai tempat pelaksanaan tugas.

Karena Ketua/ pengurus RT bukanlah pekerjaan yang bisa membantu kebutuhan sehari-hari, pada hari dan jam kerja mereka bekerja sesui profesinya masing-masing. Untuk itu, warga yang ingin mendapat surat keterangan/ pengantar harus menunggu pejabat RT ada waktu. Begitu pula berhubungan dengan RW. Dengan demikian berhubungan dengan RT/ RW membutuhkan waktu dan tenaga sendiri. Dalam praktiknya memang sebagian pejabat RT/RW melayani warganya pada malam hari. Dan untuk urusan administrasi ini tidak sedikit RT/RW juga meminta sumbangan uang administrasi sebagai ganti fotocopy berkas dan tinta stempel. 

Meskipun RT/RW bukan bagian dari sistem pemerintah, tapi ia dipercaya oleh sistem pemerintah sebagai institusi  paling absah untuk menentukan keberadaan warganya. Untuk itu, keterangan benar tidaknya seorang warga negara bisa ditentukan oleh aparat RT/ RW itu. Jika RT/ RW mengesahkan bahwa seseorang sebagai warganya, struktur pemerintah yang lebih tinggi akan mengamininya. Sebaliknya, kalau aparat RT/ RW tidak membubuhkan tanda tangan dan stempelnya pemerintah belum bisa mengakui keberadaan penduduk tersebut. Karena kuatnya legitimasi RT/ RW, banyak juga seseorang yang ingin berurusan tentang status kewarganegaraannya menjadikan aparat RT/RW sebagai calo untuk urusan administrasi kewarganegaraan. Walaupun seseorang bukan bagian dari warga kampung RT/RW, ia bisa saja mendapatkan surat keterangan bahwa orang tersebut adalah warga negara. Sedangkan institusi pemerintah, mulai dari desa hingga pusat, sifatnya hanya mengesahkan status yang telah ditetapkan oleh RT/ RW tersebut. Bahkan mereka hampir tidak pernah mengecek keberadaan seseorang tersebut.

Setelah memperoleh surat keterangan/ pengantar dari RT/RW, penduduk baru bisa mendatangi kantor kelurahan, yang buka pada hari dan jam kerja. Kelurahan merupakan unit terkecil dari sistem pemerintah di negeri ini. Para pejabat/ pegawai kelurahan mendapat gaji pokok dan tunjangan karena pekerjaannya. Dan beberapa pejabat/ pegawai kelurahan berstatus sebagai pegawai negeri sipil (PNS) yang digaji oleh pemerintah.

Karena Kantor Kelurahan hanya bisa melayani warganya pada hari kerja dan jam kerja, warga yang terikat dengan hubungan kerja pada waktu yang sama harus merelakan pekerjaannya sementara waktu. Mereka terpaksa harus izin terlambat atau bahkan izin cuti kerja kepada pimpinannya, jika memungkinkan ia akan bisa mengurus sendiri.  Kalau tidak, ia akan menitipkan pada orang lain, dengan konsekuensi perlu mengeluarkan biaya lagi. Kenyataannya, urusan di Kantor Kelurahan tidak semua bisa diselesaikan dalam waktu cepat, satu-dua jam, bahkan harus menunggu beberapa hari. Untuk urusan Kartu Keluarga, KTP, dan Akta Lahir, beberapa kelurahan tertentu bisa mengeluarkan sendiri. Namun sebagian besar harus dikeluarkan oleh Kantor Kecamatan. Untuk itu, yang tidak selesai di Kantor Kelurahan, warga perlu menambah waktu datang di Kantor Kecamatan. Syukur jika warga tersebut mendapatkan pelayanan yang baik dari para pegawai Kantor Kelurahan/ Kantor Kecamatan, sebab tidak sedikit para pegawai tersebut sangat emosional. Mungkin karena latar pendidikannya yang kurang memadai, atau mungkin karena mentalnya tidak siap sebagai pelayan masyarakat. Padahal urusannya hanya tanda tangan.

Meskipun pemerintah pernah mengumumkan bahwa pengurusan catatan sipil diselenggarakan secara cuma-cuma, dalam praktiknya warga negara yang tidak memiliki biaya administrasi tidak bisa mendapatkan hak kartu-kartu tanda kependudukan. Di tingkat RT/ RW mereka sudah diminta uang administrasi, apalagi di tingkat kelurahan dan kecamatan, meskipun ada juga yang tidak memungut biaya apapun dari masyarakat yang dilayani.

Aneh, memang. Menjalankan kewajiban sebagai warga negara di negeri ini justru rumit. Karena sistem birokrasi seperti itu, sulit bagi negara yang berharap warga negaranya bisa memenuhi hak dan kewajibannya untuk pencatatan sipil di negeri ini. Kerumitan itulah yang memicu munculnya percaloan, dan “pembangkangan” warga negara terhadap aturan-aturan yang dibuat. Pemerintah harus mengubah sistem itu dengan memangkas deretan birokrasi menjadi hanya dalam satu pintu dan mudah dijangkau masyarakat tanpa memaksa energi berlebihan warganya melalui sistem administrasi online. Toh, sistem informasi dan teknologi di negeri ini sudah berjalan. Bagi daerah yang belum mampu menjalankan sistem online ini, ya, harus dibantu dengan Dana Alokasi Khusus (DAK).

Tidak ada komentar