Mengenang Emak (1)
Genap satu tahun Emak pergi. Beliau menyusul Bapak yang sudah 28 tahun mendahuluinya. Beliau pergi meninggalkan kami: tujuh anak, tujuh menantu dan sembilan belas cucu. Beliau sangat mencintai anak-anak dan para cucunya. Semasa hidup, beliau tak pernah membeda-bedakan kami. Beliau memberikan semua yang menjadi hak kami. Adil dan merata, sesuai porsi masing-masing, tanpa ada yang dilebihkan ataupun dikurangi.
Meski sebagai orang tua tunggal dan ekonomi pas-pasan, Emak sangat memperhatikan dan mengutamakan pendidikan kami. Beliau memberi kami kebebasan memilih jalur pendidikan sesuai dengan jiwa dan karakter masing-masing. Di antara kami ada yang memilih dunia pesantren dan menghafalkan alquran. Sebagian yang lain memilih meneruskan pendidikan ke perguruan tinggi. Beliau mendukung apapun pilihan kami.
Emak lahir dan besar di lingkungan pesantren. Sejak kecil beliau dididik rajin membaca Alquran, dan selalu mengamalkannya hingga akhir hayat. Betapapun sibuk mengurus keluarga dan umat, beliau selalu menyempatkan diri membaca Alquran, apalagi punya waktu luang. Beliau tak pernah bosan mengingatkan kami, para anaknya, meski kami sudah dewasa dan berkeluarga, untuk membaca Alquran setiap hari. ”Masak sih tidak bisa meluangkan waktu hanya untuk membaca satu juz?” tegurnya jika kami diam saja. Emak memang sangat mengutamakan membaca Alquran.
Jika kami mengunjunginya, Emak selalu bertanya kepada para cucunya, “Sudah sampai mana mengajimu?” Saat liburan sekolah, beberapa keponakan suka memilih tinggal bersama Emak. Dalam bahasa kami, “Mondok di rumah Mbah Mun”. Beliau menggunakan kesempatan itu untuk menggembleng para cucunya membaca dan menghafal surat-surat pendek. Termasuk ketika dua bulan aku tinggal bersama beliau, sesaat sebelum menyusul suami ke Amerika, anakku juga mendapat kesempatan itu. Kesempatan belajar membaca Alquran dan menghafal surat-surat pendek bersama Mbahnya.
Emak memiliki jiwa mendidik yang luar biasa. Bukan hanya mendidik anak-cucunya, tapi beliau memang seorang pejuang pendidikan di desa kami. Sejak menikah dengan Bapak, beliau mengabdikan diri untuk mengembangkan ilmunya melalui sebuah yayasan pendidikan di desa kami. Bersama dengan Bapak, emak berjuang memberantas kebodohan di desa kami. Kegitan mengajar di sekolah itu dijalaninya selama bertahun-tahun, sampai Tuhan mempensiunkannya di usia tujuh puluhan.
Sebagai anak, kadang kami tak tega melihat emak yang sudah udzur dan sedikit sakit-sakitan, tapi nekat pergi mengajar. Kami sering memintanya untuk istirahat saja. Beliau selalu menolak dan merasa masih sanggup menjalaninya. Sampai beberapa hari sebelum meninggal, Beliau mengutarakan niatnya kepadaku untuk berhenti mengajar di tahun ajaran baru yang akan datang. Dan memang benar, di tahun ajaran baru kemudian, Emak “berhenti” mengajar.
Selain aktif di dunia pendidikan, Emak juga seorang aktivis sosial keagamaan. Sejak lulus pesantren dan berumah tangga, emak aktif di Fatayat NU dan selanjutnya di Muslimat NU. Dalam beberapa periode, Emak selalu didaulat untuk menjadi ketua Muslimat NU di desa, dan sempat menjadi Sekretaris MWC Muslimat NU di tingkat kecamatan. Sebagai pengurus Muslimat NU, beliau mengaktifkan kegiatan tahlil dan pengajian di desa. Beliau mendatangi kampung-kampung untuk mengikuti kegiatan tahlil. Ketika aku masih kecil, tak jarang diajak serta hingga larut malam. Karena itulah, tahlil para ibu menjadi tradisi tersendiri. Selain itu, beliau juga merintis sekaligus pendiri Ikatan Hajjah Muslimat (IHM) di desa kami. Padahal ketika organisasi itu didirikan, beliau belum menunaikan ibadah haji. Emak tidak malu ataupun rendah diri, meski sering diledeki sebagai pengurus ikatan hajjah yang bukan hajjah. Beliau menjalaninya dengan ikhlas dan hanya berniat untuk berjuang dalam dakwah.
Hal lain yang sangat kami kagumi dari emak adalah “silaturahminya” ke sanak kerabat. Keluarga emak sangat besar yang terpencar di mana-mana. Namun hampir semua terjaga dengan selalu menyempatkan diri mengunjungi mereka, khususnya saudara dan keluarga terdekat, walaupun badannya sedang kurang sehat. Jika suatu hari Emak dikunjungi oleh keluarga atau saudaranya, atau bahkan muridnya, maka beliau akan melakukan kunjungan balasan di hari lain. Beliau juga sangat rajin mengunjungi para kyai tempat Emak dahulu menuntut ilmu. Hampir setiap tahun beliau sowan ke pondok pesantren Denanyar dan Tambak Beras Jombang, tempat dulu ia belajar, hingga emak tak berani lagi bepergian jauh jika sendirian.
Menengok cucu di Bekasi, sebelumnya di Semarang, lalu menyambut kelahiran cucu terakhir di Bojonegoro
Selain sebagai orang yang ahli silaturrahmi, emak juga orang yang ahli sedekah. Walau kondisi ekonomi kami serba pas-pasan, tidak lantas menjadikan beliu tak peka sosial. Kebetulan di kampung kami terdapat banyak orang kurang mampu. Di situlah Emak sering berbagi apa yang dimilikinya. Bahkan kalau beliau membeli sesuatu, seperti kerupuk atau petis, beliau suka memberi gula pada si penjual.
Jika salah satu dari anak-anaknya mengiriminya sedikit uang, beliau langsung membaginya kepada beberapa tetangga yang tidak mampu. Alasannya, di samping menyenangkan hati mereka, beliau juga bermaksud agar harta kami bertambah berkah. Bukan hanya itu, beliau juga berdoa semoga dengan itu kami, anak-anaknya, senantiasa dalam pertolongan Allah dengan diberi kesehatan dan kemudahan atas usaha kami. Bahkan beberapa jam sebelum beliau meninggal, beliau masih sempat mengutusku untuk bersedekah kepada beberapa tetangga yang tidak mampu.
Emak, sungguh mulia engkau di hadapan kami. Semoga di hadapan Allah engkau lebih mulia lagi dan mendapatkan kehormatan yang sebaik-baiknya. Semoga kami bisa meneladani amal salehmu, dan menjadikan hidup kami khusnul khatimah. Amien…
Meski sebagai orang tua tunggal dan ekonomi pas-pasan, Emak sangat memperhatikan dan mengutamakan pendidikan kami. Beliau memberi kami kebebasan memilih jalur pendidikan sesuai dengan jiwa dan karakter masing-masing. Di antara kami ada yang memilih dunia pesantren dan menghafalkan alquran. Sebagian yang lain memilih meneruskan pendidikan ke perguruan tinggi. Beliau mendukung apapun pilihan kami.
Emak lahir dan besar di lingkungan pesantren. Sejak kecil beliau dididik rajin membaca Alquran, dan selalu mengamalkannya hingga akhir hayat. Betapapun sibuk mengurus keluarga dan umat, beliau selalu menyempatkan diri membaca Alquran, apalagi punya waktu luang. Beliau tak pernah bosan mengingatkan kami, para anaknya, meski kami sudah dewasa dan berkeluarga, untuk membaca Alquran setiap hari. ”Masak sih tidak bisa meluangkan waktu hanya untuk membaca satu juz?” tegurnya jika kami diam saja. Emak memang sangat mengutamakan membaca Alquran.
Jika kami mengunjunginya, Emak selalu bertanya kepada para cucunya, “Sudah sampai mana mengajimu?” Saat liburan sekolah, beberapa keponakan suka memilih tinggal bersama Emak. Dalam bahasa kami, “Mondok di rumah Mbah Mun”. Beliau menggunakan kesempatan itu untuk menggembleng para cucunya membaca dan menghafal surat-surat pendek. Termasuk ketika dua bulan aku tinggal bersama beliau, sesaat sebelum menyusul suami ke Amerika, anakku juga mendapat kesempatan itu. Kesempatan belajar membaca Alquran dan menghafal surat-surat pendek bersama Mbahnya.
Emak memiliki jiwa mendidik yang luar biasa. Bukan hanya mendidik anak-cucunya, tapi beliau memang seorang pejuang pendidikan di desa kami. Sejak menikah dengan Bapak, beliau mengabdikan diri untuk mengembangkan ilmunya melalui sebuah yayasan pendidikan di desa kami. Bersama dengan Bapak, emak berjuang memberantas kebodohan di desa kami. Kegitan mengajar di sekolah itu dijalaninya selama bertahun-tahun, sampai Tuhan mempensiunkannya di usia tujuh puluhan.
Sebagai anak, kadang kami tak tega melihat emak yang sudah udzur dan sedikit sakit-sakitan, tapi nekat pergi mengajar. Kami sering memintanya untuk istirahat saja. Beliau selalu menolak dan merasa masih sanggup menjalaninya. Sampai beberapa hari sebelum meninggal, Beliau mengutarakan niatnya kepadaku untuk berhenti mengajar di tahun ajaran baru yang akan datang. Dan memang benar, di tahun ajaran baru kemudian, Emak “berhenti” mengajar.
Selain aktif di dunia pendidikan, Emak juga seorang aktivis sosial keagamaan. Sejak lulus pesantren dan berumah tangga, emak aktif di Fatayat NU dan selanjutnya di Muslimat NU. Dalam beberapa periode, Emak selalu didaulat untuk menjadi ketua Muslimat NU di desa, dan sempat menjadi Sekretaris MWC Muslimat NU di tingkat kecamatan. Sebagai pengurus Muslimat NU, beliau mengaktifkan kegiatan tahlil dan pengajian di desa. Beliau mendatangi kampung-kampung untuk mengikuti kegiatan tahlil. Ketika aku masih kecil, tak jarang diajak serta hingga larut malam. Karena itulah, tahlil para ibu menjadi tradisi tersendiri. Selain itu, beliau juga merintis sekaligus pendiri Ikatan Hajjah Muslimat (IHM) di desa kami. Padahal ketika organisasi itu didirikan, beliau belum menunaikan ibadah haji. Emak tidak malu ataupun rendah diri, meski sering diledeki sebagai pengurus ikatan hajjah yang bukan hajjah. Beliau menjalaninya dengan ikhlas dan hanya berniat untuk berjuang dalam dakwah.
Hal lain yang sangat kami kagumi dari emak adalah “silaturahminya” ke sanak kerabat. Keluarga emak sangat besar yang terpencar di mana-mana. Namun hampir semua terjaga dengan selalu menyempatkan diri mengunjungi mereka, khususnya saudara dan keluarga terdekat, walaupun badannya sedang kurang sehat. Jika suatu hari Emak dikunjungi oleh keluarga atau saudaranya, atau bahkan muridnya, maka beliau akan melakukan kunjungan balasan di hari lain. Beliau juga sangat rajin mengunjungi para kyai tempat Emak dahulu menuntut ilmu. Hampir setiap tahun beliau sowan ke pondok pesantren Denanyar dan Tambak Beras Jombang, tempat dulu ia belajar, hingga emak tak berani lagi bepergian jauh jika sendirian.
Menengok cucu di Bekasi, sebelumnya di Semarang, lalu menyambut kelahiran cucu terakhir di Bojonegoro
Selain sebagai orang yang ahli silaturrahmi, emak juga orang yang ahli sedekah. Walau kondisi ekonomi kami serba pas-pasan, tidak lantas menjadikan beliu tak peka sosial. Kebetulan di kampung kami terdapat banyak orang kurang mampu. Di situlah Emak sering berbagi apa yang dimilikinya. Bahkan kalau beliau membeli sesuatu, seperti kerupuk atau petis, beliau suka memberi gula pada si penjual.
Jika salah satu dari anak-anaknya mengiriminya sedikit uang, beliau langsung membaginya kepada beberapa tetangga yang tidak mampu. Alasannya, di samping menyenangkan hati mereka, beliau juga bermaksud agar harta kami bertambah berkah. Bukan hanya itu, beliau juga berdoa semoga dengan itu kami, anak-anaknya, senantiasa dalam pertolongan Allah dengan diberi kesehatan dan kemudahan atas usaha kami. Bahkan beberapa jam sebelum beliau meninggal, beliau masih sempat mengutusku untuk bersedekah kepada beberapa tetangga yang tidak mampu.
Emak, sungguh mulia engkau di hadapan kami. Semoga di hadapan Allah engkau lebih mulia lagi dan mendapatkan kehormatan yang sebaik-baiknya. Semoga kami bisa meneladani amal salehmu, dan menjadikan hidup kami khusnul khatimah. Amien…
DeKalb, Illinois, USA, 10 April 2011
Hikmiyatin Jalilah
Post a Comment