Menimbang Cita Rasa Politik Bangsa

Keseriusan Dewan Perwakilan Daerah RI (DPD RI)  mengajukan  Perubahan  Undang­Undang  Dasar  1945  (UUD 1945)  Kelima hampir  tak  terbendung  lagi.  Lembaga  baru,  hasil  bentukan  dari  Perubahan  UUD  1945 Ketiga  Tahun  2001  ini,  telah  mempersiapkan  naskah  akademik  tentang  usulan  perubahan komprehensif  atas  konstitusi  negeri  ini.  Tak  hanya  itu,  DPD  juga  membuat  website khusus untuk mewujudkan keinginannya.

Tindakan yang dilakukan DPD merupakan tindakan wajar secara konstitusional dan tidak  akan  dikategorikan  sebagai  tindakan  makar.  Mungkin  kisah  ini  akan  berbeda  jika  dilaksanakan  pada  era  orde  baru,  yang  mematok  mati  UUD  1945  hasil  garapan  para  pendiri  bangsa  sebagai  konstitusi  yang  haram  diubah.  Alih­alih  membuat  naskah akademik,  menyuarakan  perubahan  saja  akan  langsung  diredam.  Dan  upaya­upaya  sejenis  yang  dilakukan  oleh  DPD  ini  sudah  pasti  secara  cepat  akan  dibrangus  oleh penguasa pada masa itu.

Berkenaan dengan keberadaan UUD 1945, sejarah mencatat bahwa Sukarno pernah berpidato bahwa UUD yang baru diselesaikan itu merupakan UUD sementara. Bahkan dia mengatakan, “Ini adalah Undang­Undang Dasar Kilat. Nanti kalau kita telah bernegara dalam keadaan tenteram, kita tentu akan mengumpulkan kembali Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dapat membuat Undang Undang Dasar yang lebih lengkap dan lebih sempurna”.

“Lubang Kecil” Perubahan UUD 1945

Bab XVI tentang Perubahan Undang­Undang Dasar diatur mengenai mekanisme dan larangan mengenai mengubah UUD 1945. Norma pada Pasal 37 ini, menurut para perumus, tampaknya merupakan “lubang kecil” bagi anak bangsa yang ingin mengubah konstitusi negeri ini. Melalui ketentuan tersebut menunjukkan bahwa para perumus UUD Perubahan telah membuka peluang bagi generasi akan datang untuk terus melakukan perubahan sesuai dengan situasi dan kondisi bangsa. Tentu, hal ini berbeda dengan UUD 1945 sebelum diubah, yang tidak jelas letak pintu perubahan UUD 1945. Karena itulah, pada waktu memulai perubahan konstitusi terjadi perdebatan serius di kalangan masyarakat, bahkan banyak tokoh yang menginginkan kembali pada UUD 1945 setelah terjadi perubahan diselesaikan.
“Lubang kecil” ini juga menunjukkan bahwa untuk melakukan perubahan UUD tidaklah mudah. Persyaratan­persyaratan ketat yang harus dipenuhi tersebut juga berarti bahwa ketentuan yang ingin diusulkan juga benar­benar bukan perkara sepele atau sekadar persoalan redaksional, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (2) yang berbunyi, “Setiap usul perubahan pasal­pasal Undang­Undang Dasar diajukan secara  tertulis dan ditunjukkan dengan jelas bagian yang diusulkan untuk diubah beserta alasannya.” Pada waktu melaksanakan perubahan UUD 1945 tahap pertama, para penyusun membuat lima kesepakatan dasar menyangkut hal­hal yang boleh dan tidak boleh diubah, serta cara melakukan perubahan UUD 1945. Hanya satu butir kesepakatan dasar tersebut yang dimasukkan dalam batang tubuh, yaitu Pasal 37 ayat (5) yang berbunyi, “Khusus mengenai bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat dilakukan perubahan”. Ketentuan tentang bentuk NKRI ini benar­benar dikunci oleh para perumus perubahan.

Cita Rasa Politik Bangsa

Setiap bangsa memiliki cita rasa politik masing­masing. Amerika Serikat memiliki cita rasa politik yang berbeda dengan cita rasa politik Prancis. Begitu juga Indonesia dan Singapura, keduanya memiliki cita rasa politik yang tidak sama. Cita rasa politik tersebut selalu lahir dari kondisi alam dan perkembangan budaya masyarakatnya. Para perumus UUD di era kemerdekaan adalah para perumus yang dilahirkan oleh kondisi yang berbeda sama sekali dengan para perumus Perubahan UUD  1945 pada 1999­2002.

Wajar bagi setiap generasi menginginkan perubahan­perubahan atas cita rasa politik generasi sebelumnya, karena memang situasi dan kondisi yang dihadapi oleh setiap generasi terus berkembang. Sebaliknya, wajar pula generasi sebelumnya cenderung mempertahankan karya yang pernah dilahirkan karena mereka merasa telah memikirkan segalanya. Mengubah atau mempertahankan sebuah rumusan pada konstitusi merupakan pilihan yang memiliki argumentasi sesuai dengan kondisi yang dihadapi.

Bagaimanapun, rumusan sebuah konstitusi bukanlah sekadar rumusan warung kopi yang dirembug tanpa pertimbangan yang jauh dan berbagai macam pengaruh. Jika Anggota BPUPKI dengan kondisi yang serba terbatas berhasil merumuskan UUD, tentu pertimbangan yang berlaku pada masa itu jauh lebih terbatas dibandingkan dengan para perumus perubahannya. Akan tetapi, meski para perumus Perubahan UUD 1945 pada 1999­2002 lebih banyak menyerap aspirasi masyarakat saat menyusun rumusan, juga tidak lepas dari kepentingan­kepentingan sesaat.

Begitu pula sikap pihak­pihak yang tidak menginginkan perubahan. Penguasa orde baru, misalnya, secara keukeuh mempertahankan UUD 1945 bukan tanpa pertimbangan. Mengajukan rumusan perubahan atau mempertahankan sebuah rumusan merupakan pilihan dari hasil cita rasa politik yang menyimpan sarat kepentingan. Kita pun tak bisa mungkir bahwa rumusan­rumusan yang telah dihasilkan oleh para pendahulu, termasuk hasil perubahan, tidak pernah bisa sempurna di masa selanjutnya. Pada dasarnya suatu perumusan dan perubahan UUD tidak lepas dari peran (dan pengalaman) individu­individu yang terlibat di masanya. Kalau menyimak perdebatan saat perumusan UUD, baik edisi awal maupun edisi perubahan, tampak jelas peran siapa yang paling dominan. Oleh karena itulah, upaya melacak maksud dan tujuan sebuah rumusan (original intent) melalui risalah pembicaraan perumusan tersebut menjadi penting untuk mengetahui cita rasa politik bangsa ini.

Sebagai bangsa yang memiliki cita rasa sendiri, memang sah saja bangsa Indonesia mengadopsi cita rasa politik dari negeri lain. Akan tetapi, apakah cita rasa politik bangsa lain tersebut bisa di­copy­paste dan dipaksakan di negeri ini secara mentah­mentah? Dengan demikian, haruskah sistem pemerintahan Presidensial dan/atau Parlementarian di Indonesia sama persis dengan di negara manapun? Haruskah sistem Parlemen Bikameral dan/atau Unikameral di Indonesia juga harus sama persis yang diberlakukan di semua negara? Bukankah masing­masing negara memiliki takaran sendiri­sendiri dalam menjalankan sistem­sistem pemerintahan dan parlemen? Sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat, Indonesia tentu memiliki takaran problem ekonomi, sosial, politik, dan budaya, serta sejarahnya sendiri. Atas dasar itu konstruksi konstitusi yang dibutuhkan oleh negara ini harus dilandasi oleh situasi, kondisi, dan cita rasa yang dimilikinya, bukan asal baik di negara lain dianggap baik pula oleh negeri ini.

Sahlul Fuad
Peneliti Institute for Republic (INSFRE)

Diterbitkan dalam Majalah Intelijen Nomor 8/Tahun VIII/Agustus 2011

Tidak ada komentar