Agama, Geokultur, dan Konspirasi

Sentimen agama di Indonesia masih menjadi isu yang sangat sensitif untuk disentil oleh siapapun. Meledaknya tiga aksi kekerasan massa di daratan Pulau Jawa: Pandeglang, Banten; Temanggung, Jawa Tengah; dan Pasuruan, Jawa Timur dalam  selang waktu yang berdekatan menunjukkan semua tersulut melalui simbol agama. Beberapa waktu sebelum terjadinya peristiwa­peristiwa tersebut, para tokoh agama memberikan pernyataan bahwa pemerintah SBY bohong.

Bagaimanapun opini para konsumen informasi belum sempat melupakan adanya tokoh agama yang memperdebatkan penggunaan kata “bohong” dalam menyampaikan aspirasinya. Ketua Umum PBNU, misalnya, menilai penggunaan kata “bohong” merupakan bentuk kekerasan yang dilakukan oleh tokoh agama. Dalam sebuah dialog di televisi swasta (25/1) ia mensinyalir bahwa jika pemuka agama saja berbicara kasar, bukan tidak mungkin umatnya akan bertindak kasar secara fisik.

Di saat masyarakat masih ramai membicangkan pernyataan para agamawan, Densus 88 antiteror dalam sebuah penggerebekan di Sukoharjo berhasil menangkap tujuh remaja yang dianggap sebagai teroris (25/1). Dan tidak lama setelah peristiwa tersebut terjadi penyerangan Jamaah Ahmadiyah di Pandeglang (06/2), lalu  pembakaran gereja di Temanggung (8/2), disusul penyerangan terhadap Yayasan Pondok Pesantren Islam (YAPI) di Pasuruan (15/2).

Selain penangkapan kelompok teroris, terdapat beberapa keunikan terkait dengan rentetan peristiwa­peristiwa tersebut. Pertama, semua tempat kejadian berada di Pulau Jawa secara berurutan dari arah barat ke timur. Kedua, isu yang digunakan adalah sentimen keagamaan. Ketiga, modus kejadian melibatkan massa, dan cenderung model penyerangan. Dan keempat oleh karena dianggap isu menarik, pemberitaan di media massa dibesar­besarkan tidak hanya dalam sesi berita politik, tetapi juga masuk dalam kategori kriminal, bahkan kadang diulas dalam info selebriti. Dan masih dikembangkan lagi oleh masyarakat melalu berbagai situs jejaring sosial. 

Pada dasarnya potensi konflik di antara kelompok­kelompok yang bertikai tersebut sudah lama muncul. Berbagai ceramah yang disampaikan oleh petinggi FPI menunjukkan adanya upaya penyerangan terhadap jamaah Ahmadiyah, bahkan dalam ceramah tersebut terungkap bahwa jamaah Ahmadiyah boleh dibunuh karena dianggap ajaran agamanya sesat. Pada kasus Temanggung, massa juga telah bersiap untuk melakukan kerusuhan saat mendatangi pembacaan tuntutan terhadap terdakwa yang telah melakukan penistaan agama. Begitu juga dengan kasus YAPI, di mana dalam tiga tahun terakhir telah terjadi tujuh kali penyerangan karena dianggap faham keagamaannya sesat.

Meskipun pada dasarnya telah muncul potensi konflik terbuka, namun kejadian­kejadian tersebut menjadi tidak wajar karena terjadi dalam waktu yang hampir bersamaan. Dilihat dari geolkultur terjadinya tindak kekerasan fisik masyarakat di Jawa yang menggunakan isu sentimen agama juga merupakan persoalan yang cukup serius. Geokultur ini dapat digunakan untuk melihat bagaimana sebuah peristiwa secara terintegrasi dan tradisional terhadap cara merasakan, berpikir, dan bertindak sesuai dengan ciri khas pada kelompok sosial di suatu wilayah hidup tertentu (ruang) dan selang  kehidupan tertentu (waktu).

Apakah tindak kekerasan fisik di tanah Jawa akhir­akhir ini merupakan tindakan wajar yang digerakkan oleh kesadaran budaya masyarakat ataukah digerakkan oleh konspirasi kelompok tertentu? Kenapa kekerasan menggunakan isu agama lebih mudah menyala? 

Geokultur Kekerasan di Jawa 

Perbedaan agama di Jawa ini bukanlah isu baru. Jauh sebelum konsep pluralisme masuk dalam wacana keagamaan, pada abad ke­14 Mpu Tantular dalam Kakawin Sutasoma sudah memunculkan isu keragaman agama yang hidup bersama di bumi nusantara. Melalui Sutasoma, pujangga Jawa itu menyatakan “Mangka Jinatwa lawan Siwatatwa tunggal, Bhinneka Tunggal Ika, tan hana dharma mangrwa” (Hakikat Buddha dan hakikat Siwa adalah satu, berbeda­beda dalam perwujudan eksoterisnya tetapi secara esoteris satu. Tidak ada dualisme dalam kebenaran agama). Dari sinilah istilah “Bhineka Tunggal Ika” dijadikan sebagai semboyan bangsa ini.

Secara umum masyarakat Jawa memiliki kepekaan emosi. Tindakan­tindakan, baik berupa ucapan maupan perbuatan, telah terpola melalui norma dan adat istiadat yang baku. Apabila terdapat individu atau kelompok kecil yang tindakannya tidak sesuai dengan kepentingan dan norma yang dianut oleh masyarakat pada umumnya akan segera ditegur dengan baik. Meski demikian benturan kepentingan dan norma tersebut akan meledak menjadi konflik terbuka apabila kepentingan­kepentingan bersamanya benar­ benar terancam. Walaupun sebenarnya masyarakat Jawa sendiri memiliki mekanisme tradisional untuk meredam terjadinya konflik terbuka. Sedangkan tindakan­tindakan yang
bisa melibatkan massa hanya mungkin terjadi apabila ada kepekaan emosi massa disulut menjadi kepentingan bersama. Tentu hal itu hanya bisa dilakukan oleh orang­orang yang memiliki pengaruh luas di kalangan masyarakat, baik menggunakan modal materi muapun modal kewibawaan sosial.

Agama sebagai Instrumen Konspirasi

Menurut perspektif  konspirasi, fenomena kekerasan massa tampaknya menemukan triger yang kuat melalui isu agama. Dan isu agama sangat akrab dengan wilayah emosi pemeluknya. Dengan melihat rangkaian peristiwa yang terjadi secara terpola, baik modus, isu, maupun waktu, hal ini menunjukkan adanya perencanaan yang matang di balik meledaknya peristiwa­peristiwa tersebut. Apalagi kalau dikaitkan dengan berbagai isu politik nasional yang makin memanas.

Selain pembacaan daftar kebohongan pemerintah, pada momen yang hampir bersamaan MK memutus tentang pembatalan pasal dalam undang­undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD yang mengatur syarat kuorum paripurna di parlemen untuk Hak Menyatakan Pendapat dari 3/4 kehadiran menjadi 2/3 saja. Putusan MK memberikan kelonggaran bagi MPR untuk melakukan impeachment terhadap presiden. Padahal sejak memulai periode yang baru ini pemerintah menghadapi persoalan hukum dan ekonomi yang sangat berat. 

Tidak ada komentar