BUDAYA DAN LALU LINTAS

Sahlul Fuad

Sejak cara pembelian kendaraan bermotor di Indonesia dipermudah, pertumbuhan kendaraan (baca: kendaraan bermotor) naik sangat cepat. Cukup bermodal keberanian mengambil resiko kendaraannya ditarik oleh dealer jika tak mampu membayar cicilan, masyarakat bisa memiliki kendaraan. Kini, hampir tiap keluarga sudah memiliki kendaraan, bahkan satu keluarga bisa memiliki lebih dari satu.

Fenomena meledaknya daya beli kendaraan ini tentu saja berimplikasi terhadap cara berpikir dan prilaku masyarakat. Orang-orang yang semula berpikir bahwa orang berduit saja yang mampu memiliki kendaraan. Model cicilan ini sekaligus mengembangkan sikap untuk mengantisipasi datangnya jatuh tempo pembayaran. Mereka tidak ingin kendaraan yang telah dimilikinya ditarik oleh dealer karena tak mampu membayar. Oleh karena itu, etos kerja masyarakat tampak meningkat.

Kendaraan sebagai alat atau teknologi transportasi memang tidak bisa bergerak sendiri tanpa digerakkan oleh individu-individu suatu kelompok masyarakat. Oleh karena itu, dinamika kendaraan di suatu kawasan merupakan bagian yang melekat dari dinamika masyarakatnya. Sebagaimana sistem yang berlaku di tengah masyarakat, pengaturan lalu lintas kendaraan juga diberlakukan sistem tersendiri.

Pertumbuhan para pengendara memang secara otomatis meningkat tajam seiring dengan pertambahan kendaraan. Bayangkan, jumlah penjualan mobil di Indonesia per tahun terus meningkat. Pada tahun 2012 diperkirakan mencapai satu juta unit mobil. Sementara penjualan motor rata-rata per tahun menembus angka tiga juta lebih. Fenomena ini merupakan gambaran yang sangat menggembirakan jika dilihat sebagai indikator meningkatnya kesejahteraan masyarakat. Akan tetapi, gejala kebudayaan apa yang tampak dari pertumbuhan jumlah kendaraan ini?

Dilihat dari motif kepemilikan dan pemanfaatan kendaraan, secara umum tampaknya sederhana, yaitu bahwa kepemilikan kendaraan bermotor adalah dalam rangka untuk mempermudah masyarakat dalam menyelesaikan berbagai urusan. Bagi yang bekerja di tempat yang jauh tidak lagi tergantung pada angkutan umum yang penuh sesak dan tidak nyaman, bagitupun bagi yang sekolah/ kuliah, dan dengan memiliki kendaraan sendiri, ongkos transportasi benar-benar lebih irit dan cepat.

Meski demikian, dampak dari banyaknya kendaraan tersebut tidak lain menciptakan kemacetan di jalan raya. Apalagi banyak dari para pengendara baru tersebut merupakan orang-orang yang kurang memahami, atau bahkan abai, terhadap aturan dan etika berkendaraan.

Secara aturan formal, kendaraan yang diperbolehkan beroperasi di jalan umum adalah kendaraan yang terdaftar di kepolisian. Begitu juga para pengendara, dia diwajibkan memiliki surat izin mengendarai (SIM). Sistem ini diberlakukan karena menyangkut hak kepemilikan dan keselamatan masyarakat, yang berimplikasi pada konflik dan kehidupan individu-individu.

Meski sudah diatur secara formal oleh negara, tetapi praktik yang lebih banyak berlaku sesungguhnya adalah peraturan informal yang terbentuk secara kultural. Walaupun tidak memiliki SIM, sebagian masyarakat tetap menjalankan kendaraannya.

Di sisi lain, perubahan kepadatan jalan raya juga tidak dapat dihindarkan. Pasar merupakan salah satu tempat yang cukup menarik untuk melihat gejala kepadatan dan prilaku berkendaraan suatu masyarakat. Apalagi di pasar tersebut juga menjadi sub terminal, sehingga angkutan umum memadati badan jalan secara sembarangan. Di tambah lagi di dekat pasar tersebut terdapat jalan perlintasan, seperti perempatan atau pertigaan. Walhasil, keteraturan atau kesemrawutan lalu lintas di kawasan pasar tersebut akan tampak jelas.

Keteraturan atau kesemrawutan lalu lintas pada dasarnya bukan hanya akan terjadi di kawasan pasar, tetapi juga di kawasan-kawasan strategis lain tempat berkumpulnya masyarakat. Di tempat-tempat itulah interaksi sosial benar-benar terjadi, termasuk kendaraannya.

Kondisi ini diperparah lemahnya penegakan hukum serta pemanfaatan pelanggaran lalu lintas sebagai sumber pendapatan aparat di lapangan. Selain itu lembaga yang berwenang mengeluarkan SIM juga meloloskan kartu-kartu SIM secara ilegal, dengan cara mengabaikan prosedur yang sebenarnya. Ketidakberesan massal yang berlangsung lama ini pada akhirnya membentuk pola prilaku berlalu lintas tertentu.

Problem mendasar dari persoalan di atas adalah problem budaya yang beroperasi di tengah masyarakat. Dilihat dari penggunaan lajur jalan, misalnya sebelah kiri atau kanan. Begitu juga dari kecepatannya, apakah seseorang melaju dengan pelan atau kebut-kebutan. Pola-pola berkendaraan ini dapat menunjukkan corak kebudayaan masyarakat di kawasan tersebut.

Misal, angkutan umum di Jakarta menunjukkan pola gerak yang cepat dibanding dengan angkutan umum di kota-kota kecil, yang cenderung santai. Di kota-kota kecil, angkutan umum sering berhenti beberapa lama untuk menanti penumpang, padahal penumpang di dalamnya sudah cukup penuh. Para sopir mengabaikan kebutuhan penumpang yang mengejar waktu, tetapi para penumpang juga tampak santai dengan kondisi tersebut. Berbeda dengan di Jakarta, angkutan umum tak terlalu peduli dengan jumlah penumpang di dalam, dia terus bergerak untuk mengejar penumpang yang ada di depan.

Kondisi ini menunjukkan bahwa budaya persaingan dan bekerja keras di Jakarta tampak kuat. Sementara, di kota-kota kecil cenderung santai dan kurang persaingan. Begitu juga mobilitas masyarakatnya. Tidak mengherankan, secara ekonomi, pendapatan per kapita pendudukan di kota besar, seperti di Jakarta jauh lebih besar dibanding di kota-kota kecil.

Selain itu, pengambilan posisi jalan dan kecepatan dalam berkendaraan yang berlaku di tengah masyarakat lalu lintas menunjukkan pola-pola tertentu. Empat tahun terakhir ini menunjukkan lalu lintas tampak lebih semrawut dibandingkan sebelumnya. Salah satu keruwetan di jalan akhir-akhir ini diakibatkan banyak pengendara yang seolah-olah tidak mengerti hubungan antara kecepatan kendaraan dengan posisi jalan. Para pengendara dengan kecepatan lambat, akhir-akhir ini banyak yang mengambil posisi jalan bagian kanan dibanding sebelah kiri. Padahal jalan bagian kanan merupakan lajur untuk kendaraan berkecepatan tinggi.

Begitu juga kalau dilihat dari jenis dan harga kendaraan-kendaraan yang berlalu lalang di suatu kawasan. Di beberapa tempat kadang kita sering melihat mobil-mobil atau motor mewah berlalu lalang, namun di daerah tertentu kita bahkan tak melihat satu unit pun mobil terawat. Dari melihat lalu lalang mobil-mobil atau motor tersebut, cukuplah kita akan mengetahui bahwa daerah tersebut mengalami kemajuan atau ketertinggalan. Ketika menyaksikan kemajuan atau ketertinggalan suatu daerah, tentu kita akan bertanya bagaimana budaya masyarakat di situ, maju atau tertinggal.

Dari sekilas gambaran di atas menunjukkan bahwa lalu lintas suatu kawasan merupakan sarana interaksi sosial yang dapat menunjukkan gejala budaya yang berkembang di tengah masyarakat tersebut. Berbagai jenis kendaraan dan cara berkendaraan di lalu lintas bisa dikatakan sebagai cermin budaya suatu masyarakat. Namun demikian, mungkinkah kita memperbaiki suatu masyarakat mulai dari lalu lintasnya?

Tidak ada komentar