Bhinneka Tunggal NU
Tiga puluh tahun lalu, 14-18 Rabiul Awal 1405 H, Muktamar NU ke-27 di Situbondo berhasil mengobrak-abrik konstelasi politik NU. Betapa tidak, setelah menyatakan NU mengakui Pancasila sebagai asas tunggal dalam Munas NU 1983, setahun kemudian NU menyatakan kembali ke Khittah NU 1926. NU pensiun sebagai partai politik. NU tidak berpolitik praktis lagi.
Alhasil, ada yang berderai air mata menangis bombai, ada juga yang berjingkrak-jingkrak menang gemilang. Kembali ke Khittah NU 1926 telah menjadi keputusan strategis NU yang monumental hingga akhir zaman.
Cerita lahirnya ketetapan “Kembali ke Khittah NU 1926” memang tidak seperti cerita menetasnya telur buaya dalam timbunan tanah, yang tanpa dierami induknya bisa menetas sendiri. Ada proses dan perjuangan yang lumayan panjang. Sekelompok aktivis muda NU seperti Abdurrahman Wahid, Fahmi D. Saifuddin, Mahbub Djunaidi, Said Budairi, Slamet Efendi Yusuf, dan lain-lain merenungi dan mencari jalan keluar nasib politisi NU yang selalu saja dipecundangi oleh politisi lainnya. Bisa-bisanya PPP, sebagai bagian dari fusi Partai NU bersama tiga partai lainnya, tiba-tiba diacak-acak oleh penguasa orde baru dengan menjadikan H.J. Naro sebagai Ketua Umumnya, dan para politisi NU yang vokal dicoret dari daftar caleg PPP.
NU memang wajib marah pada masa itu. Keterlaluan jika diam saja, karena memang menyakitkan. Bagaimana pun NU melahirkan banyak kader dan selalu panen suara yang melimpah, tapi para “Singa NU” yang selayaknya dipasang di “Nomor Jadi” tak tahunya ditaruh di urutan buncit. Wajar saja NU kecewa dan sangat kecewa atas perlakuan itu. Ini memang bukan pil pahit pertama yang pernah ditelan NU. Kondisi tersebut juga pernah terjadi ketika NU tergabung dalam Partai Masyumi, namun saat itu NU keluar dan mendeklarasikan diri sebagai Partai NU. Beruntung NU menang. Namun dalam masa orde baru, NU tidak bisa berpartai sendiri, karena penguasa sudah menakar jumlah partai hanya tiga. Mau tidak mau, NU kembali ke langgar, pesantren, dan madrasah. Mengurus jami’yyah dan jamaah. Sedangkan para kader dan politisi NU bebas memilih partai yang disukai, terserah mau di mana. Boleh hijau, boleh kuning, boleh juga merah, yang penting siap berjuang untuk kepentingan umat, bangsa, dan negara. Ketika PPP kembali dikuasai kader-kader nahdliyyin, NU keukeuh khittah NU 1926.
Ketetapan tiga puluh tahun yang lalu tak berubah. NU tetap berkiblat ke khittah NU 1926. Walau pada era reformasi NU berpeluang menjadi (dan mendirikan) partai, NU tetap bergeming. NU bukan partai politik dan tidak mau memihak partai apapun. NU hanya berhak mendukung kader NU-nya. Di mana pun itu. Alhamdulillah, kader NU diterima di berbagai partai yang warna-warni. Dan nyatanya orang NU jadi presiden, lalu ada juga yang jadi wakil presiden. Kalau jatah menteri, memang sudah sejak lahirnya Indonesia.
Dari sini tampaklah bahwa kemenangan NU bukanlah kemenangan partai tertentu. Kalau NU terjebak hanya berpihak pada satu partai, tampaknya menjadi suatu catatan kemunduran. Syukur jika partai yang dipihaki akhirnya tidak tinggal kenangan, karena hanya jadi cibiran para pemilih. Kemenangan NU adalah kemenangan kader NU dalam memperjuangkan nilai-nilai ke-NU-an dalam rangka mewujudkan: Islam rahmatan lil ‘alamin, rakyat adil dan makmur, gemah ripah loh jinawe di negeri ini. Oleh karena itu tugas NU adalah menyiapkan kader sebaik-baiknya dan sebanyak-banyaknya di tengah partai-partai politik mengalami krisis kader seperti ini.
NU Sebagai Suplier Kader Politik
Dalam situasi politik multipartai seperti ini, dengan NU tetap berpegang pada keputusan Muktamar NU ke-27 itu tampaknya membuat perjuangan NU tetap bisa selamat, bahkan bisa untung. NU tanpa perlu risau dan ketar-ketir bagaimana jika partai satu-satunya yang digadang-gadang bakal gulung tikar seperti partai-partai lain gara-gara suaranya minor. NU tetap punya wakil melimpah di parlemen. NU tetap punya corong perjuangan. Bahkan NU tetap bisa titip suara agar menggolkan kader-kader terbaiknya untuk menduduki jabatan-jabatan publik, termasuk komisioner-komisioner, melalui seluruh jaringan politisi NU yang duduk di parlemen.
Sesungguhnya banyak orang yang terlahir tiba-tiba menjadi NU, tanpa ada proses baiat dan administrasi. Untuk menjadi NU pun makin mudah. Tanpa memilih “Partai NU” sekarang sudah bisa menjadi. Namun masih banyak orang menjadi NU gara-gara ikut pendidikan dan pengkaderan atau masuk struktur NU. Ini memang gejala unik. Menjadi NU ternyata bukan saja perkara struktural, tapi juga kultural. Oleh karena itu, NU sebagai organisasi tak bisa mengelak orang yang mengaku-aku dirinya sebagai NU. Mau dibuktikan secara terbalik pun susah. Sebab, untuk menjadi NU cukup dengan mengaku merasa NU. Cukup sudah. Sederhana. Oleh karena itulah, seluruh penduduk Indonesia ini sebenarnya NU, kecuali yang tidak.
Rupanya, jumlah orang NU bukan hanya banyak, tapi kemauannya juga beragam. Walaupun Ketua Umum PBNU menyatakan bahwa PKB adalah partainya orang NU, tetap saja banyak orang NU yang di PPP, di partai Golkar, di PDI Perjuangan, Partai Demokrat, di Hanura, di Gerindra, di PKPI, di NasDem, bahkan di PBB, di PAN dan di PKS. Toh, pada akhirnya PB/PW/PCNU tidak bisa mencegah “keliaran” orang-orang NU tersebut. Justru sebaliknya, NU tampak menjadi suplier kader utama politik dalam proses demokrasi ini.
NU sebagai suplier kader politik ini, walaupun tanpa disadari, merupakan salah satu kelebihan dan keberhasilan NU dalam proses kaderisasi. Secara struktur dan kultur NU memang memiliki banyak pintu dalam melakukan rekruitmen kader. Secara struktural ada pintu dari tingkat remaja hingga dewasa: ada IPNU/IPPNU, GP Ansor/Fatayat, hingga Muslimat. Sedangkan dari pintu kultural ada PMII dan pondok pesantren. Meskipun ada juga yang bergabung di GMNI atau HMI, tapi tidak menuntup kemungkinan mereka juga NU. Kondisi ini menunjukkan bahwa walau berbeda-beda, mereka tetap NU, meminjam istilah Empu Tantular dalam kitab Sutasoma, “Bhinneka Tunggal NU”.
Sementara, problem yang dihadapi oleh politik Indonesia terkini menunjukkan banyak partai politik yang membutuhkan asupan kader, terutama yang bermutu. Bahkan partai-partai besar pun ada yang tidak mampu melakukan rekruitmen dan kaderisasi yang sehat. Partai-partai politik peserta pemilu pada akhirnya banyak yang main comot caleg, tanpa perlu tahu mereka penjahat atau penipu.
Di sinilah peluang dan peran bagi NU untuk benar-benar menyiapkan kader-kader terbaik, mengusung nilai-nilai dan cita-cita NU. Menggemakan ajaran dan prinsip ahlu sunnah wal jamaah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Walau NU bukan partai politik, tapi suara NU mampu menggema di seluruh penjuru partai politik yang ada. NU tidak perlu ke mana-mana, tapi ada di mana-mana. Kalau ada politisi NU yang tidak berkutik, suntik dia. Kalau ada politisi NU yang melempem, goreng dia. Kalau ada politisi NU kurang ajar, jewer dia. Itu penting. Wallahu a'lam.
SAHLUL FUAD, Jama'ah NU Miring
Post a Comment