LANGGAR



Hoe! Korak[1] Jakarta! Gimana kabar Jakarta, pek[2]? Aman ta, kok ditinggal?” sambut Heri, seorang remaja 20 tahun di bawahku.Bersama sekitar 5 orang, Heri duduk di teras langgar bagian utara. Dia bersandar tiang, menghadap barat. Peci hitam di samping, di dalamnya terlipat baju. Kaki kiri berselonjor. Kaki kanan ditekuk berdiri. Dadanya telanjang. Putih giginya seperti bersinar dari tubuhnya yang legam. Jika sudah demikian, hidup terasa aman, tak ada yang perlu ditakutkan. Kalau ada yang berani macam-macam, dia siap menghantam.Sapaan seperti yang diteriakkan Heri membuatku selalu bergairah datang ke Langgar Ndungun. Gaya sapaan  demikian merupakan sapaan lumrah. Gaya sapaan yang mampu meretas sekat-sekat psikologis usia, latar belakang keluarga, dan karakter warga langgar. Dengan gaya sapaan tersebut warga langgar seakan menjadi tak ada yang lebih tua, lebih pintar, dan lebih terhormat. Semua setara.

Langgar Ndungun merupakan salah satu langgar tua di Desa Legowo. Entah kenapa disebut langgar, dan entah kenapa pula dinamai Ndungun? Kedua istilah itu (Langgar dan Ndungun) benar-benar istilah janggal bagi generasi santri terkini. Kedua istilah ini layak dipertanyakan, keduanya sangat tidak Arab sebagai nama pusat kegiatan keagamaan Islam. Sementara di tempat lain biasa disebut Mushalla, berasal dari bahasa Arab yang berarti tempat salat. Namanya juga biasa menggunakan nama Arab, seperti Mushalla Al-Iman atau sejenisnya.

Bagiku, Langgar Ndungun dan langgar-langgar lain merupakan rumah kedua bagi sebagian besar penduduk desa kami. Bahkan sebagian lagi menganggap langgar lebih utama dari rumah tinggal. Di sana tempat kami bermain, belajar, dan tidur. Mencairkan kebekuan-kebekuan perasaan yang terbawa dari rumah, sekolah, atau tempat kerja. Langgar bisa menjadi rumah untuk berbagi keluh kesah, memecahkan batu-batu persoalan hidup pribadi dan bermasyarakat. Di sana semua boleh bicara, salah pun boleh, apalagi baik dan benar

Fadzakkir Innamaa anta mudzakirul lasta ‘alaihum bimushaitir…” Alunan duet Muammar ZA dan Chumaidi dari mikrofon masjid jami’ terdengar tak membosankan bagi warga desa, meski tiap sore suara itu tak henti disiarkan modin.

Satu sampai setengah jam sebelum dan sesudah salat magrib menjadi prime time di Langgar Ndungun. Satu per satu para pria berdatangan: anak-anak, remaja, dan dewasa. Ada yang berambut cepak, ada pula yang berambut njemburis alias gondrong tak terawat. Ada yang sudah beratribut lengkap: peci, baju lengan panjang, dan sarung. Ada yang bersepeda ontel memakai peci dan sarung, tetapi bajunya dicangklong di pundak. Ada juga yang datang langsung dari tempat kerja dengan motor bututnya tanpa pulang terlebih dulu.

Para “pelanggar” (baca: orang yang gemar ke langgar) itu berdatangan dengan beragam gaya. Ada yang sudah senyam-senyum sejak memasuki gang kompleks langgar. Ada yang langsung teriak-teriak memanggil nama seseorang yang sudah tampak di langgar. Ada juga yang diam-diam tanpa ekspresi, bahkan ada yang datang dengan wajah kusut penuh persoalan.

Mereka bercengkerama tentang beragam topik: soal sepak bola yang bakal main nanti malam, urusan lurah, bahkan perkara politik nasional. Tak jarang mereka membahas urusan panen gagal dan juga kekayaan serta kesaktian orang lain. Kalaupun ada tempat sampah pembicaraan, di langgar ini mungkin tak terhitung sampah obrolan terbuang percuma. Meski begitu, mereka tampak nyaman. Mereka sangat nyaman dengan ledek-ledekan, olok-olok, dan aneka cacian. Semua menjadi cair begitu saja karena segala yang terlontar terisi dengan semangat persahabatan, kekeluargaan, dan yahannu (guyonan). Kalaupun ada yang marah betulan, kemungkinan dia orang baru atau memang karakternya mudah tersinggung. Dan walaupun beribu sakit hati telah mendera, mereka tetap merindukan suasana seperti itu. Akibatnya, kemarahan mereka menjadi kemarahan gadungan, seakan-akan marah padahal bercanda.

Asshalatu wassalamu’alaik…” suara Muammar ZA di mikrofon masjid jami’ sudah diganti modin dengan suara Syaikh Mahmoud Khalil Al-Khushory, Qori’ legendaris dari negeri Mesir. Suara khas itu merupakan pertanda bahwa tiga menit lagi adzan magrib akan dikumandangkan.

Para pelanggar terus berdatangan. Bagi yang kecanduan ngobrol di pojok langgar, segera menyambungkan nalarnya dengan topik yang berkembang saat itu. Bagi yang bosan dengan majelis cangkruk itu atau ingin membicarakan ihwal khusus dengan orang khusus juga, mereka berdua-duaan di majelis khusus. Jika ada yang demikian, tak jarang kelompok khusus ini akan diledek dan diteriaki.

Hoe!!! Dunyo ae[3]!!!” salah satu komentar.

Jika sudah mendapat komentar begitu, mimik perapat khusus itu biasanya langsung tersenyum cerah dan membalas ledekan tersebut dengan teriakan juga. “Awas koen yo…[4]!!!”

Bentuk Langgar

Tidak hanya di Langgar Ndungun, suasana serupa juga terjadi di beberapa langgar lain di desa itu. Ya, ada banyak langgar dalam desa Legowo yang terkenal sebagai desa santri itu. Langgar-langgar itu rata-rata berlokasi di pinggir desa. Bentuk dan ukurannya pun beragam. Namun semua bangunan rata-rata semula berbentuk panggung yang terbuat dari kayu.

Struktur bangunan panggung kayu itu tampak sederhana. Panggung itu ada yang disanggah dengan kayu gelondongan, ada juga yang berkaki batu tinggi. Separuh dinding bagian bawah ada yang terbuat dari papan dan bagian atasnya terbuat dari anyaman bambu, ada pula yang seluruh didingnya berasal dari kayu papan. Dan seluruh lantainya terbuat dari kayu papan, yang banyak celah dan lubang. Orang-orang di sana biasa menyebutnya “jerambah”.

Bentuk atapnya tak jauh berbeda dengan rumah-rumah penduduk setempat. Tak ada kubah, apalagi menara sebagaimana di masjid. Cukup ditutup genting dari tanah liat. Kalaupun ada yang dipasang kubah, bangunan tersebut termasuk model hasil renovasi terbaru.

Secara umum, bangunan langgar terdiri atas tiga bagian: teras, ruang utama, dan paimaman (mihrab). Masing-masing bagian memiliki bentuk dan fungsinya sendiri-sendiri. Bagian teras merupakan bagian terbelakang dari langgar. Ia menghadap timur. Seperti mulut terbuka, bagian ini menjadi pintu masuk. Meski kebanyakan menghadap timur, namun tidak menutup kemungkinan ada yang sekaligus menghadap utara atau selatan. Model ini sangat tergantung pada posisi bangunan dan kebutuhan yang ada.

Bagian teras juga merupakan bagian yang sangat terbuka terhadap apa dan siapa saja. Sinar matahari, hembusan angin, nyamuk nakal, belalang pincang, kucing garong, anak kecil, orang jompo, dan orang gila pun bisa keluar masuk seenaknya. Bagi yang bersandal atau bersepatu maka dari sini dia harus melepaskannya. Bagi yang kakinya telanjang sebelum masuk harus mencucinya terlebih dahulu. Bagi yang ketahuan masuk langgar dengan kaki kotor segera akan diteriaki, termasuk kucing dan kambing.

Di teras inilah obrolan-obrolan santai biasa diselenggarakan. Tema obrolannya berloncatan ke berbagai masalah, tanpa kontrol. Meski sangat ringan, kadang lontaran-lontaran tersebut berbobot norma-norma tradisi atau etika yang ingin dipertahankan oleh kelompok masyarakat itu.

Ruang utama terletak di bagian tengah sebuah langgar. Lantai tempat ini biasanya lebih tinggi dari teras, sehingga batas di antara dua bagian ini tampak jelas. Bahkan ada juga yang lebih dipertegas lagi pemisahan ruang ini dengan dinding, jendela, dan pintu khusus. Makin tertutup bagian ini menandakan wilayah tengah ini kian dijaga. Mungkin juga jam dinding atau amplifier-nya pernah digondol maling atau memang ingin kebersihan dan kesucian langgarnya lebih mudah dan terjamin.

Bagian depan ruang utama, sekitar satu meter atau lebih, digelari sajadah atau tikar sebagai bagian paling utama dari ruang utama. Sebab bagian depan ini merupakan baris pertama ketika para pelanggar melaksanakan salat berjamaah. Oleh karena itu, jika ada orang yang ketahuan tidur di bagian ini, kemungkinan besar akan diusir, kecuali tidur dalam posisi bersila. Diusir karena takut ia berliur dan jatuh di atas lantai atau sajadah yang menyebabkan tempat itu najis. Bahkan pernah beredar cerita jika ada anak tidur di bagian ini akan diangkat, bahkan dibuang oleh makhluk gaib ke luar langgar.

Disebut sebagai ruang utama karena ruang ini merupakan tempat yang dipergunakan untuk kegiatan utama salat, zikir, mengaji, dan belajar. Kecuali jika ruang utama tidak mampu menampung, para jamaah bisa memanfaatkan teras, bahkan halaman langgar.

Ruang utama di beberapa langgar dipisah dengan satir (hijab). Sebagian untuk jamaah pria, sebagian untuk jamaah wanita. Cara membelah ruang utama tersebut ada yang model belah dua, sisi selatan dan utara, atau bagian depan dan belakang.

Bagian yang paling diutamakan dalam langgar adalah Paimaman. Tidak sembarang orang boleh memasuki bagian ini. Jika ada anak yang ketahuan bermain di bagian ini, yang senior segera menegur, “Hei, gak ilok dulinan ndek kene[5], hei…!!!”

Tempat ini memang tempat khusus imam salat berjamaah. Selain imam, yang dipersilahkan masuk di ruang ini hanyalah para tukang: bersih-bersih; instalasi listrik; ahli elektronik, dan adzan (muadzin). Bahkan orang yang tidak biasa jadi imam di langgar itu, tetapi terpaksa harus mengimami di situ kadang tak berani masuk. Dia hanya menggelar sajadah di separuh ruang paimaman, sebagai bentuk penghormatan terhadap tempat ini.

Tumbuh dan Kembang

Secara umum, langgar dibangun oleh sekelompok masyarakat yang terdapat seorang santri atau lebih, yang mampu membaca Al-Quran (kurang lebih) lancar dan baik, bersedia menjadi imam  salat dan mengajar anak-anak. Seorang santri yang dipercaya masyarakat untuk menjadi “tokoh agama” tersebut biasanya memang tidak sembarang santri. Selain memiliki kualifikasi tersebut, biasanya santri tersebut memiliki kekuatan fisik dan metafisik yang lebih. Kelebihan ini kadang kadang sengaja dipersiapkan untuk menghadapi tantangan kehidupan kelompok masyarakat yang akan digauli. Sebab, kepemimpinan yang dibutuhkan kelompok masyarakat pedesaan (tradisional) tersebut kebanyakan memang orang yang benar-benar kuat, secara spiritual, emosional, intelektual, fisik, dan metafisik atau biasa dikenal dengan sebutan “kesaktian”.

Sakti atau Kesaktian merupakan kebutuhan yang tidak terhindarkan untuk menghadapi berbagai bentuk serangan, tantangan, atau perlawanan yang sewaktu-waktu bisa muncul. Apalagi jika santri tersebut sengaja diutus oleh seorang kiai atas permintaan masyarakat atau penguasa  untuk menyelesaikan berbagai jenis kejahatan yang diterjadi di sebuah kawasan tertentu. Oleh karena nyawa menjadi pertaruhan dalam menjalankan misi tersebut, kesaktian menjadi penting dan sangat dibutuhkan. Sebab, dia juga sangat mungkin akan menghadapi kesaktian-kesaktian dan ilmu sihir (hitam) yang bakal dilancarkan. Apabila santri yang dikirim tersebut tidak sakti, misi perjuangannya bisa sia-sia.

Pertarungan seorang santri atau rintangan yang muncul dalam kehidupan sosial ini bisa jadi merupakan uji-percobaan yang dilancarkan kalangan masyarakat untuk mengangkatnya menjadi pemimpin alternatif.

Namun ada juga seorang warga kampung yang mendirikan langgar atas kehendak sendiri. Pendirian langgar ini biasanya untuk memenuhi kebutuhan mereka dalam melaksanakan ibadah salat jamaah dan belajar mengaji karena belum ada masjid yang cukup untuk memenuhi kebutuhan ajaran Islam. Apalagi jika jumlah penganut agama Islam di situ masih sangat sedikit. Meski demikian, ada juga yang tetap mendirikan langgar, walaupun di tengah-tengah desa sudah berdiri Masjid Jami’ dengan ukuran yang besar, tetapi daya jangkau masyarakat ke masjid itu terlampau jauh.

Status lahan yang pergunakan untuk mendirikan langgar inipun beragam. Ada yang memang lahan berstatus milik pribadi. Ada yang milik orang lain, tetapi diserahkan khusus untuk pendirian langgar atau kepentingan kegiatan pendidikan agama, yang biasa disebut dengan wakaf. Ada juga lahan milik adat (tanah ulayat) yang disepakati oleh warga boleh dipergunakan untuk kegiatan keagamaan atau pendidikan, termasuk langgar.

Jenis langgar yang berdiri di atas lahan berstatus milik pribadi biasanya berdiri di depan/samping tempat tinggal pemilik lahan. Bahkan bangunan langgar ini menyatu dengan bangunan rumahnya. Jenis langgar ini biasanya tidak terlalu ramai didatangi orang lain, kecuali untuk sekadar salat berjamaah magrib dan belajar mengaji pada waktu-waktu tertentu. Namun hal ini sangat bergantung pada sikap (ucapan dan prilaku) “pemilik” dan/atau masyarakat sekitar langgar. Begitu juga dengan jenis langgar wakaf (berdiri di atas lahan wakaf). Jenis langgar wakaf ini cenderung mirip dengan langgar pribadi. Sebab, biasanya lahan wakaf ini disampaikan kepada seorang santri/kiai tertentu yang dipercaya orang tersebut.

Pengelolaan dan keberlanjutan kedua jenis langgar ini sering dianggap orang bermasalah. Karena (seakan-akan) milik pribadi, langgar ini dikelola sesuka hati, sehingga orang lain yang ingin mendekatinya menjadi enggan. Apalagi aktif berjamaah. Kalaupun para perintis pendirian langgar tersebut mampu  menciptakan masyarakat penggemar langgar (pelanggar), tidak berarti anak cucunya mampu melanjutkan. Bahkan lahan wakaf tersebut di tangan anak cucunya diklaim sebagai milik atau warisan pribadi.

Pada perkembangan selanjutnya, langgar-langgar itu ada yang berubah menjadi masjid dan ada pula yang berkembang menjadi pesantren. Begitu pula pertumbuhannya. Makin langgar itu dipercaya dan dicintai masyarakat, kian banyak orang menyumbang dan mewakafkan harta atau tanahnya untuk kepentingan langgar. Karena itu, bangunan fisik langgar yang semula kecil jadi besar, yang semula dari kayu menjadi tembok. Fasilitas tempat mengambil wudlu pun makin dilengkapi dengan kamar kecil dan kamar mandi.  Begitu juga bangunan non-fisiknya, yang semula hanya tempat salat berjamaah dan belajar membaca Al-Quran, bertambah menjadi tempat belajar ilmu agama, membaca kitab kuning, bahkan menyelenggarakan pendidikan formal.

Perkembangan dan pertumbuhan langgar-langgar tersebut umumnya sebanding dengan pertumbuhan dan perkembangan masyarakat di sekitarnya. Keberhasilan langgar sebagai media pendidikan dan dakwah terlihat dari meningkatkan kesadaran masyarakat dalam menjalankan ajaran Islam, termasuk kesadaran meningkatkan pendidikan anak-anaknya. Oleh karena itu, para alumni langgar tidak jarang berkontribusi besar dalam proses pembangunan tersebut.

Pada waktu renovasi Langgar Ndungun dari bangunan kayu menjadi tembok, para pelanggar dan alumni membuat berbagai kegiatan penggalangan dana. Kegiatan utama adalah datang ke rumah orang-orang kaya meminta bantuan dana atau bahan bangunan. Kegiatan yang lain adalah membuat “Bazar Jariyah”. Kegiatan “Bazar Jariyah” adalah memajang semen, batu bata, dan batu porselen untuk dijual. Masyarakat dipersilahkan untuk membeli benda-benda tersebut, tetapi benda yang telah dibeli tersebut bukan untuk dibawa pulang, melainkan untuk diserahkan ke panitia pembangunan langgar. Selain itu, kegiatan yang dilakukan untuk penggalangan dana adalah menjual daging sapi dan ayam pada malam lebaran dan malam Maulid Nabi Muhammad dengan harga yang relatif mahal. Para pelanggar mendatangi rumah-rumah penduduk agar memesan daging dengan menjelaskan bahwa penjualan daging tersebut untuk kepentingan pembangunan langgar. Setidaknya dengan ketiga cara tersebut, dana yang terkumpul cukup banyak.

Allahu akbar… Allahu akbar… Allahu akbar… Allahu… Akbar…

Tiga menit sudah Syekh Mahmoud Khalil Al-Khushory Al-Mishry mengumandangkanTarhim. Giliran suara modin berazan, yang diikuti suara-suara azan dari mikrofon di langgar-langgar. Gaung suara azan pun benar-benar mengepung Desa Legowo. Jika ada orang mengaku tak mendengar azan di desa itu, kemungkinan dia budek atau terlelap.

Rul… Rul… Azano, Rul…” perintah Heri pada Khoirul, anak usia 12 tahun, yang sedang asyik menyimak obrolan para seniornya.

Khoirul pun segera beranjak mendekati amplifier yang terletak di samping paimaman. Suara yang melengking dan merdu khas suara anak-anak itu mendiamkan obrolan di teras langgar. Ada yang segera mengambil wudlu, ada yang sudah masuk ruang utama, ada juga yang antri di kamar mandi untuk buang air kecil.

Sementara, di jalan utama desa yang lengang, tampak orang-orang berpeci hitam, berbaju lengan panjang, dan bersarung, serta orang-orang bermukena putih setengah badan berjalan mendekati suara azan. Di persimpangan, arah tujuan mereka tersebar. Orang-orang tua kebanyakan menuju masjid jami’, sedangkan kaum muda banyak mengarah ke langgar.

Gemricik air wudu tak henti-henti. Cipratan air ke sana ke mari. Sapaan-sapaan akrab makin kerap. Antri pancuran memadat. Ada yang colak-colek, ada pula yang hanya mengawasi anak kecil bersuci. Begitu pun di kamar pembuangan air kencing, antrian tak terhindar.

Azan telah usai. Suara Khoirul ternyata tak berhenti. Kini dia mengumandangkan pujenatau pujian, khususnya untuk Kanjeng Nabi Muhammad dalam bahasa Arab.

Yaa Sayyidi ya Rasulullah

Yaa Man lahuul jaah ‘indallah

Innal musiii-ina qod jaa-uk

Liidzanbi yaastaghfirunallaah

Suara pujen itu tiba serentak berkumandang dari segala penjuru langgar. Bagi yang belum hapal bisa membaca tulisan pujen itu dalam bingkai yang terpasang di dinding sebelah kiri. Sebagian anak kecil membacanya penuh semangat, setengah teriak.

Beberapa kali pujen dibaca, kiai muda berperawakan kecil masuk ruang utama sambil menepuk tangan. Khoirul langsung berdiri dan melantunkan iqamah. Orang-orang yang duduk langsung berdiri. Tanpa berhenti, kiai muda itu bergegas masuk paimaman, diikuti orang-orang di belakangnya berbaris lurus. Sekitar 10-13 orang berdiri di garis paling depan, disusul garis-garis berikutnya. Lima baris sudah para pemakai sarung dan peci hampir memenuhi ruang utama.

Gemericik air wudu belum juga surut. Suara-suara gurauan masih juga terdengar. Rakaat pertama sudah terlaksana. Namun masih ada saja yang baru datang. Kadang suara langkah buru-buru terdengar di teras seperti orang mengejar kereta. Ada juga yang berjala tenang, tapi jarak langkahnya lebar-lebar sehingga suara kelebat sarungnya menderu. Mereka tetap ingin tergabung dalam satu jamaah, meski sebagai makmum masbuk.Mereka langsung bergabung mengikuti gerak imam. Tak jarang makmum masbuk ini membilangi jamaah yang sedang sujud atau duduk untuk membatalkan salatnya. Sebab, dia melihat tahi cicak di telapak kaki jamaah di depannya.

Assalamu’alaikum Warahmatullah…,” suara imam menutup salat yang diikuti jamaah lainnya.

Tidak semua jamaah ikut menutup salatnya. Sebagian lagi, khususnya di baris belakang, justru bertakbir dan berdiri. Mereka melengkapi rakaat magribnya yang masih belum ganjil. Meski demikian, imam tak mempedulikannya. Dia memimpin dzikir para jamaah.

Sementara yang lain berdzikir, bocah-bocah sibuk dengan posisi duduk di dampar mengaji. Mereka menjaga posisinya, jangan sampai diendih (diambil alih) temannya. Rupanya, bocah-bocah ini berebut datang lebih awal untuk menaruh mushaf Al-Quran sesuai dengan urutan guru ngaji mengajar. Dengan posisi strategis, kemungkinan dia akan pulang paling awal.

Banjir Makanan

Dalam kondisi yang menguntungkan, suasananya pasti berubah. Misal, tiba-tiba ada anggota jamaah langgar membawa ambeng atau bucet (tumpeng). Setelah wirid salat ditutup doa, seluruh jamaah duduk melingkar di ruang utama. Sang Imam hanya sedikit bergeser dari paimaman, membalik tubuhnya, dan memimpin tahlil. Beragam makanan ditaruh di tengah untuk dibongkar dan dibagikan. Sambil menyaksikan ikan bandeng besar berkubang bumbu pecel petis dipotong-potong, mereka mengirim doa untuk para arwah.

Sebelum doa tahlil dibaca imam, bucet-bucet itu telah terbagi dalam lengser-lengser(nampan) yang ada dan satu bagian disajikan dalam piring untuk imam. Di dalam setiap bagian terdiri atas nasi dan potongan lauk beserta sambal dan kuah. Buah semangka atau pisang dan kue-kue tradisional seperti apem atau nagasari dilempar satu per satu ke jamaah. Jika tidak cukup, kue atau buah tersebut dipotong lagi agar terbagi merata. Suara bacaan tahlil terdengar lebih semangat sesaat menjelang doa.

Allahumma shalli ‘ala habibika sayyidina muhammadin wa’ala ‘alihi washahbihi wabarik wasallim ajma’in…” di pojok belakang teras terdengar suara remaja setengah teriak, pertanda gembira. Entah karena segera makan ambeng atau karena doa akan segera dibacakan.

Ketika doa akan dibaca, jamaah sudah merubut ambeng-ambeng yang disebar di teras. Satu ambeng bisa dikerubut 5-6 orang, bahkan lebih. Dengan lantang mereka mengamini doa tahlil yang dibaca secara khusyuk oleh imam. Ada yang sambil mengamini doa, matanya menyelidik lauk-pauk di atas ambeng dan tangannya berancang-ancang rebutan. Amin mereka penuh semangat dan berdebar, jangan sampai potongan daging ayam atau sapi atau bandeng yang tampak lezat itu segera di tangan temannya. Ada pula yang segera memutar lengser di hadapannya agar posisi lauk atau kuah dan sambel yang melimpah tepat di hadapannya. Suara cekikik anak-anak seperti tak tertahankan di tengah mengamini doa arwah. Tampaknya di antara mereka ada yang jahil, mengincipi makanan saat berdoa.

Sang imam melantunkan doa tahlil sambil memegang secarik kertas bertuliskan nama-nama orang yang hendak dikirim doa. Mata imam terbuka-tertutup seperti mengosentrasikan kekhusyukan doanya, sambil mengintip nama-nama di kertas yang terselip uang selawat dalam lipatannya. Dia seperti tak peduli dengan seorang santri yang meletakkan sebuah piring berisi nasi dan sepotong kepala bandeng di hadapannya, disusul beberapa buah pisang dan apem, serta segelas es sirup. Pada saat imam menutup doanya, serempak tangan jamaah berebut makan.

Suasana mendadak gaduh. Makan bersama, satu lengser banyak tangan, tidak membuat mereka jijik. Dalam suasana seperti itu, tidak ada orang yang dianggap jorok. Sejempol potongan bandeng bisa dirasakan lima orang. Segenggam nasi bisa dinikmati satu kelompok. Mereka benar-benar melahap yang ada di hadapannya. Lengser benar-benar dilengser laksana dicuci, tak ada sisa upo (butiran nasi) pun, kecuali duri-duri bandeng.

Selametan atau kenduren di langgar memang cara murah dan mudah daripada diselenggarakan di rumah. Jamaah di langgar hampir bisa dipastikan banyak, yang bertahlil secara baik. Cukup memasak nasi 1-3 nampan, lauk-pauk seadanya, minuman 2-3 liter, kue dan buah secukupnya, serta minta tolong anak-anak mengusungnya ke langgar, selametan sudah beres. Berbeda jika diselenggarakan di rumah, bisa jadi lebih mahal dan repot. Jika di rumah, harus mengundang orang satu per satu, memasak sesuai dengan jumlah orang yang diundang, meminjam tikar jika tidak punya, menyiapkan tempat untuk dibawa pulang undangan, dan seterusnya. Padahal inti dari selametan tersebut sama, mengirim doa untuk para arwah. Tak mengherankan jika masyarakat lebih suka membuat selametan di langgar daripada di rumah. Dalam satu bulan, bisa tak kurang enam kali selametan di langgar.

Selain selametan, makanan suka datang ke langgar pada waktu-waktu tertentu. Setiap malam jumat di luar ramadan makanan suka datang ke langgar dalam rangka membacasalawat dibaiyyah. Setiap menjelang magrib dan setelah tarawih banyak makanan berdatangan untuk buka puasa dan pembaca tadarus. Pada malam ketujuh setelah lebaran, para jamaah membawa ketupat ke langgar dalam rangka “Hari Raya Ketupat“, banjir ketupat di langgar juga terjadi pada setengah bulan sebelum puasa. Belum lagi jika ada kegiatan peringatan hari-hari besar Islam, khususnya Hari Raya Idul Adha, makanan juga akan membanjiri langgar. Keseringan banjir makanan dan teman tersebut membuat para pelanggar enggan pulang, walaupun rumahnya hanya sepelemparan batu.

Para pelanggar pulang bisa jadi hanya karena terpaksa ada urusan dengan orangtuanya, atau sekadar ingin menjenguk rumahnya yang kesepian. Sebagian kecil mereka bertahan hingga usai salat Isya. Meskipun jumlah hadirin jamaah salat Isya jauh lebih sedikit dibanding salat Magrib. Jumlah jamaah salat Isya biasanya hanya satu-dua baris (shaf), paling banter empat baris. Setelah itu, langgar sementara sepi.

Akan tetapi, suasana malam di langgar tak selalu sama. Kadang sangat ramai, kadang teramat sepi. Namun, malam Jumat tak sesepi biasanya. Malam itu mereka menggelar kegiatan baca salawat atau maulid diba’iyyah, dirangkai dengan latihan khitabah (pidato), dengan agenda yang komplit sebagaimana acara-acara walimahan. Melalui kegiatan ini mereka terlatih membuat dan mengisi acara-acara resmi, mulai sebagai pembawa acara (master of ceremonies), qori’ (tilawati al-quran bi al-taghanni), sampai menjadi penceramah (muballigh) dan pendoa. Oleh karena kegiatan ini dianggap sangat baik bagi perkembangan anak-anak, para orangtua mengirim beragam makanan, mulai yang kering hingga yang basah.

Bukan hanya kegiatan yang diselenggarakan di langgar, jamaah langgar kadang mem-booking kegiatan baca maulid diba’iyyah ini ke rumahnya. Tentu saja rombongan pelanggar amat antusias menyambut undangan tersebut. Jumlah mereka bahkan melebihi jamaah salat magrib sehari-hari. Para pelantun puisi (nadzam) sanjungan dan salawat kepada Nabi Muhammad SAW karya  Al-Imam Wajihuddin Abdur Rahman bin Muhammad bin Umar bin Ali bin Yusuf bin Ahmad bin Umar ad-Diba`i Asy-Syaibani Al-Yamani Az-Zabidi Asy-Syafi`i menunjukkan kebolehannya menggubah lagu-lagunya sesuai dengan pola irama (bahr) yang dipakai. Para pemilik suara emas mendapat jatah membaca riwayat perjalanan Nabi Muhammad yang bergenre prosa (rawi) karya Syekh Ja’far Ibn Hasan Ibn Abdul Karim Ibnu Muhammad al-Barzanji al-Husaini ini al-Madany lebih banyak. Ketika membaca salawat dengan berdiri (mahal al-qiyam), mereka makin bersemangat apalagi diiringi musik dan tarian hadra khas Jawa Timur.

Usai seluruh rangkaian acara, mereka dijamu makanan istimewa: soto ayam, rawon, rujak lontong, gado-gado, atau lainnya. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh para pelanggar. Mereka bisa melahap jatah makanan tersebut sampai dua atau tiga piring sekaligus.

Pola merangkap jatah makanan juga terjadi ketika para pelanggar ini di-booking bertahlil atau acara-acara lain di rumah-rumah. Anak-anak yang biasa melakukan tindakan ini cirinya suka mengambil posisi duduk di pojok. Dengan begitu, mereka bisa bersekongkol dengan teman-temannya untuk menumpuk makanan tanpa rasa malu dan segan.

Penginapan Terbuka

Sekitar pukul 20:00 sebagian dari mereka kembali lagi ke langgar. Mereka memenuhi teras langgar, berselonjor, menaruh kepalanya di atas bantal, lalu terlelap hingga dibangunkan untuk salat Subuh. Mereka benar-benar menginap di langgar.

Menginap di langgar tiba-tiba menjadi kebiasaan para pemuda di Desa Legowo. Entah bagaimana mulanya kebiasaan menginap di langgar terjadi secara massif. Setiap malam seluruh langgar berjejer tubuh-tubuh lelap. Ada yang hanya bersarung dan bertelanjang dada, ada pula yang berkaos lengan panjang dan bercelana panjang serta berkemul sarung.

Sebelum mereka benar-benar terlelap, obrolan dan bisik-bisik sulit terhindarkan. Obrolan menjelang tidur terkadang lebih mendalam dibanding obrolan petang tadi. Bahkan ide-ide kejahilan lebih sering terjadi pada saat malam ini. Tak jarang ide memasak muncul di tengah malam, yang bahan-bahannya diambil dengan cara terlarang. Mencuri buah jambu, mangga, kelapa, singkong, ayam, atau bebek milik tetangga cukup kerap terjadi. Orang lapar berjamaah memang membuat mereka lupa pelajaran para kiai. Yang lebih jahil lagi, mereka tak segan-segan mengambil sesuatu milik kiai langgar itu.

“Tenang saja, kiai takkan marah jika ayamnya kita ambil. Jangankan hewan peliharaan, ilmu segunung pun dia berikan cuma-cuma,” alasan khilah yang selalu mereka gunakan.

Langgar sebagai tempat terbuka kadang memang tak bisa menyeleksi para penggemarnya. Sebagian di antara orangtua justru berharap anak-anak yang cenderung bengal atau nakal sebaiknya sobo (alias gemar ke) langgar. Sebab, dengan sobo langgar anak-anak tersebut bisa bergaul dan mendapat didikan yang baik dari kiai atau teman-temannya. Walaupun prilaku anak tersebut cenderung berubah, tetapi dia juga kadang menularkan tabiat buruknya.

Anak-anak yang hobi mengintip pasangan pengantin tidur, justru lebih aman memanfaatkan langgar. Dengan tidur di langgar, anak-anak bisa sembunyi dengan cepat dan pura-pura tidur jika ketahuan orang yang diintip. Para pengintip ini bahkan sangat hapal jadwal hubungan badan orang-orang kampung. Tentu saja, anak yang ketahuan mengintip akan didamprat banyak orang (penghuni langgar lainnya).

Woeee… Aku disempet Udin!!!” tiba-tiba seseorang berteriak lantang dari pojok ruangan.

Rupanya itu suara Abdul, seorang remaja langsing berkulit putih. Remang-remang dia tampak bangkit dari tidur sambil melihat-lihat sarungnya. Dia terbangun karena merasakan basah dan lengket di sekitar pangkal paha dan sarungnya.  Sementara Udin yang dituduhmenyempet-nya berposisi tidur berselimut sarung di sampingnya.

Entah tuduhan Abdul benar atau tidak, keberadaan Udin yang berada di sampingnya memang dikenal sebagai warok di langgar itu. Warok merupakan orang yang memiliki prilaku sejenis penyimpangan seksual. Orang ini suka melampiaskan birahinya pada temannya, khususnya yang berusia lebih muda darinya. Sasaran pelampiasan birahi warokini biasa juga disebut mairil,  ada juga yang menyebut mailir.

Warok dan mairil memang persoalan tersendiri di keremangan langgar. Bahkan keduanya menjadi persoalan antar langgar. Memang kelamin mereka sejenis. Akan tetapi jiwa mereka kadang berbeda ekstrim. Mereka saling mencintai dan rutin bercinta dalam kegelapan. Kalaupun ada yang menerengkan hubungan mereka, tentu tidak sevulgar pasangan beda jenis kelamin.

Meski kebanyakan hubungan percintaan ini hanya sekadar pelampiasan berahi seks sesaat, namun prilaku ini bisa mewabah. Warok bisa menjadi semacam drakula yang ketagihan memancarkan spermanya di antara dua paha korbannya. Hampir tiap malam dia bekeliling, mengidentifikasi para pelanggar yang lelap, lalu melancarkan rudalnya pada para korban. Meski sering ketahuan dan diusir dari suatu langgar, dia tak sungkan berpindah ke langgar lain.

Yaa arhama al-rahimiin irhamnaa…” ufuk timur membara, suara mikrofon masjid jami’ teriak-teriak membangunkan para penduduk.

Si Amin tampak sedang duduk tawarruk di baris depan ruang utama. Mulutnya komat-kamit mendesiskan zikir. Dia telah menjalankan salat tahajud, dilanjutkan menghitung asma-asma Allah dengan butiran tasbih. Sementara, di belakangnya bunyi  desis terdengar secara teratur dan tenang dalam selimut sarung.

Tanpa peduli terhadap yang tidur, si Amin menyalakan lampu ruang utama. Beberapa orang yang tersilaukan, segera pindah ke teras, melanjutkan kantuknya yang masih berat. Bagi si kebo molor, yang tak merasakan perubahan, tetap mendengkur nyaman. Padahal si Amin telah mengeraskan suaranya melalui mikrofon membaca tarhim menjelang subuh.

Ketika si Amin mengumandangkan azan subuh, tiba-tiba suara kelompen terdengar memasuki halaman langgar. Suara kelompen itu membuat beberapa pelanggar langsung bangkit dan meninggalkan langgar, menuju kamar mandi. Tapi tidak bagi sebagian besar lainnya. Mereka tetap  bergolek di lantai langgar.

“Dor… Dor… Bangun… Bangun… Bangun… Subuh… Subuh..” suara kelompen menjelma  gedoran dinding langgar dan suara lelaki lantang.

Serentak beberapa orang mengerjapkan matanya, lalu bangkit ke tempat wudu. Meski demikian, ada juga yang tetap molor. Suara gaduh itu tak mampu membangunkan lelapnya.

“Kalian ini kok tidak mau dibangunkan. Kalian pikir ini gardu, hah!!!” suara lelaki setengah baya itu tampak gusar.

“Sama saja. Langgar dan gardu sama-sama tempat ngobrol,” seloroh pemuda yang masih malas-malasan di mulut teras.

Gemericik air di kamar mandi dan tempat wudu makin ramai. Satu per satu jamaah yang tidak tidur di langgar pun berdatangan. Si Amin memimpin puji-pujian melalui mikrofon, sambil menyaksikan orang-orang salat sunnah tahiyatul masjid dan qabliyah subuh.

Dua bocah berwajah menyimpan kantuk pun ikut terpekur dengan beberapa orang di teras. Keduanya telah menaruh mushaf al-Quran di dampar tempat mengaji. Kedua anak ini memang rutin mengikuti salat berjamaah subuh, dan melanjutkan belajar membaca al-Quran tiap hari.

Usai berjamaah dan berwiridan lebih panjang dari waktu-waktu biasanya, langgar seperti hanya diisi oleh bocah-bocah. Kecuali bocah-bocah, mereka bubar dan meninggalkan langgar begitu salawat tanda usai berzikir dibaca bersama. Sebagian dari mereka pulang untuk bersiap-siap ke tambak atau tempat kerja lainnya. Sebagian tidur lagi. Sebagian bersiap sekolah pagi.

Sedangkan para boca segera duduk di sekitar dampar, mengaji, dan bersiap menyimakkan bacaan al-Qurannya pada guru ngaji. Ada yang lancar bacaannya, ada yang terbata-bata, dan ada pula yang masih mengeja. Sang guru pun telaten mendengar  dan mengoreksi bacaan mereka.

Hingga matahari terbit, suara anak-anak mengaji kadang masih terdengar hingar. Celoteh dan kejar-kejaran para anak menjadi kegiatan rutin setelah mengaji yang tak bisa dicegah. Sekitar pukul 7:00, langgar benar-benar sepi. Anak-anak pergi ke sekolah, orangtuanya pergi kerja. Namun apabila ada orang-orang yang memiliki balita, bisa jadi dia mengasuh anaknya di langgar sambil menikmati udara segar.

Sanggar Kebudayaan

Selain belajar mengaji, pertemuan anak-anak muda di langgar pada waktu longgar bukan hanya menghasilkan rencana-rencana nakal seperti malam hari menjelang tidur. Mereka terkadang melancarkan kegiatan kreatif, seperti latihan hadrah, rebana, kaligrafi, qiraah, dan sebagainya. Mereka menirukan apa saja yang mereka minati. Mereka tak sungkan mengalunkan suara fals-nya menirukan Muammar ZA membaca al-Quran sambil tiduran, menirukan cara Habib Husen membaca salawat Nabi, menirukan Midzhar Ahsan menorehkan kaligrafi.

Meski para pelanggar hanya menirukan secara otodidak para tokoh penggemarnya, tidak sedikit kegiatan iseng-iseng itu menghasilkan karya berkualitas. Di antara mereka ada yang berhasil memenangkan lomba berbagai bidang yang ditekuninya di langgar. Mereka membentuk kelompok rebana yang siap diundang mengisi acara. Bahkan ada juga yang berprofesi dari keterampilan atau kemampuan yang dimilikinya dari kegiatan-kegiatan di langgar yang tidak formal itu.

Semangat mereka berkarya bukan hanya dipengaruhi orang-orang tua mereka, bahkan orangtua mereka kadang tidak mengetahui kelebihan yang dimiliki anak-anaknya di langgar. Persaingan antar langgar juga sering terjadi. Jika Langgar Kungon terdapat anak yang mampu membuat karya kaligrafi yang bagus, misalnya, anak-anak di Langgar Ndungun bisa panas dan ingin menyaingi. Kehebatan anak-anak Langgar Kanoman dalam mengaransemen lagu salawat tim rebananya, juga membuat galau langgar lain untuk bersaing. Meski persaingan antar langgar ini kadang memunculkan sikap permusuhan antar jamaah langgar, bahkan berpengaruh pada politik desa, namun kompetisi tersebut menjadi semacam vitamin bagi perkembangan kebudayaan desa.

Langgar menjadi semacam sanggar yang memproduksi generasi-generasi dewasa dan kreatif. Para jamaah langgar menjadi sangat peka terhadap berbagai isu kehidupan yang berlangsung. Mereka terbiasa mencermati berbagai fenomena melalui percakapan ngalor-ngidul berbagi pengalaman dan pengetahuan. Urusan strategi menggaet pacar melalui doa maupun godaan saja mereka pelajari bersama, apalagi urusan perbedaan madzhab soal rakaat tarawih dan qunut salat subuh. Bahkan mereka pun mengerti cara polisi melakukan pelanggaran.

Langgar juga menjadi semacam sekoci-sekoci dakwah Islam di desa yang berinduk di masjid jami’. Sedangkan kemarakan masjid jami’ juga sangat terbantu oleh keberhasilan langgar-langgar dalam mencetak generasi yang aktif dan terampil. Bahkan supplier utama sumberdaya masjid jami’ benar-benar dari langgar, mulai dari imam rawatib, khatib Salat Jumat, jamaah rutin, sampai penggerak kegiatan hari-hari besar Islam. Sebab dinamika kegiatan di masjid jami’ lebih banyak pada urusan salat rawatib, salat jumat, salat id, dan perayaan hari-hari besar saja. Kehidupan di masjid jami’ dianggap terlalu formal dan sakral bagi kalangan muda, sehingga para pelanggar yang gemar atau aktif di masjid seperti terseleksi secara psikologis. Bagi yang tidak merasa percaya diri dengan kebaikan dirinya, mereka enggan aktif di masjid. Orang yang aktif di masjid adalah tokoh-tokoh elit dari berbagai langgar.

Langgar memang… Meski tak jelas kenapa disebut langgar, bukan berarti kehidupan di langgar melulu hanya persoalan…


ditulis oleh Sahlul Fuad


[1] Korak (bahasa Jawa Timur) Preman


[2] Pek merupakan panggilan akrab, plesetan dari Pak/Bapak.


[3] Dunyo ae: urusan dunia saja.


[4] Awas koen yo: awas kamu ya


[5] Gak ilok dulinan ndek kene: Tidak baik bermain di sini.

Tidak ada komentar