Tidak Ada Kalah-Menang
Komisi
Pemilihan Umum (KPU) menetapkan bahwa hasil rekapitulasi perolehan suara
pemilihan presiden/wakil presiden pasangan Jokowi-JK memperoleh suara lebih
banyak daripada pasangan Prabowo-Hatta. Secara awam, hal ini dipahami sebagai
"kemenangan" Jokowi-JK dalam meraih mandat rakyat Indonesia dan
berhak dilantik sebagai Presiden-Wakil Presiden RI 2014-2019 sepanjang tidak
ada perubahan lagi melalui MK.
Dalam
sebuah pidato menyambut "kemenangan" ini, Jokowi menyatakan peristiwa
ini sebagai 'kemenangan seluruh rakyat Indonesia". Jauh sebelum pengumuman
hasil total rekapitulasi ini, KPU mengajak kedua capres/cawapres untuk
menyatakan siap kalah-siap menang.
Istilah
"kalah-menang" telah menjadi ungkapan lazim dalam pesta demokrasi di
negeri ini. Hampir semua orang dan media sepakat menggunakan istilah
"kalah-menang" untuk mengungkapkan fenomana ini. Dengan kedua istilah
ini, orang dengan mudah memahami siapa yang berhak menjadi presiden/wakil presiden
dan yang tidak berhak. Meski demikian, penggunaan istilah
"kalah-menang" dalam konteks ini tampaknya bukan istilah yang
sungguh-sungguh tepat.
Kalau
membaca konstitusi negara ini, istilah kalah-menang bukanlah istilah yang
lazim. Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan
rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Pasal 6A ayat (3) dan (4)
yang mengatur mengenai mekanisme pemilihan presiden/wakil presiden menggunakan
istilah "mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen..." dan
"mempero suara terbanyak pertama dan kedua..." dan "memperoleh
suara rakyat terbanya...".
Dua
pasal di atas memberikan gambaran bahwa presiden dan wakil presiden adalah
pemegang kepercayaan (amanat) rakyat terbanyak untuk menjalankan kekuasaan
pemerintahan. Pengertian mengenai "kedaulatan di tangan rakyat" dapat
dipahami bahwa pada dasarnya setiap warga negara Indonesia berkedudukan sama,
sehingga tidak ada yang berhak memerintah dan diperintah tanpa ada pemegang
kekuasaan pemerintahan yang dilaksabakan melalui penyerahan mandat berupa
pemilihan presiden dan wakil presiden. Pertanyaannya, apakah orang yang
menerima mandat terbanyak tersebut bisa disebut menang atau sebaliknya?
Kalah-Menang
Penggunaan
istilah kalah-menang dalam kamus politik Indonesia bisa jadi merusak pemahaman
politik dan demokrasi di negeri ini. Konsep kalah-menang lebih menggambarkan
suatu pertarungan atau pertandingan antar kontestan dengan standar penilaian
tertentu berdasarkan kemampuan dan kualitas yang harus dicapai oleh kontestan.
Bagi kontestan yang mampu mencapai nilai tertinggi dia bisa disebut menang, dan
yang mendapat nilai di bawahnya disebut kalah. Oleh karena itu, orang yang
memberikan penilaian adalah orang-orang karena kemampuannya, baik berdasarkan
ilmu maupun pengetahuannya, bisa melihat kualitas kontestan terkait dengan
standar yang ditetapkan.
Sedangkan
proses pemilihan umum adalah proses penyerahan mandat yang didasarkan pada
kepercayaan (amanat) kepada seseorang atau lembaga. Walaupun seseorang dinilai
kualitasnya bagus, namun jika rakyat tidak mempercayai kontestan tersebut,
orang tersebut tidak akan mendapatkan mandat. Dapat dikatakan bahwa
kalau-menang sangat tergantung pada usaha para kontestan untuk mencapai
standar, sedangkan mandat sangat tergantung pada kepercayaan orang terbanyak
terhadap kontestan.
Implikasi
dari penggunaan konsep kalah-menang adalah bahwa kontestan yang meraih
kemenangan tidak bisa dicabut nilai yang telah diberikan tanpa melalui adu
kekuatan lagi. Sebaliknya, untuk membuat dia kalah harus melalui pertandingan
lagi. Berbeda dengan hasil pemilihan umum, rakyat bisa mencabut mandatnya
karena kepercayaan (amanat) yang telah diberikan dijalankan sesuai dengan
harapan.
Kepercayaan
terhadap Presiden di Indonesia
Hingga
saat ini Indonesia telah memiliki tiga model pemilihan presiden yang telah
berlaku. Model musyawarah mufakat merupakan model pertama dalam pemilihan
presiden Indonesia. Presiden Soekarno, Presiden Soeharto, dan Presiden Megawati
tidak pernah dipilih dengan model pemungutan suara yang didasarkan pada
perolehan suara terbanyak. Ketiganya diangkat menjadi presiden melalui
permufakatan rakyat yang sangat terbatas yang berada di ruang sidang BPUPKI dan
MPR.
Model
kedua penyerahan dari presiden sebelumnya. Presiden Soeharto dan Presiden BJ
Habibie merupakan presiden yang menerima mandat dari presiden sebelumnya.
Bahkan ada dua presiden yang tidak populer karena diangkat melalui mekanisme
ini dalam kondisi darurat, yakni Sjafruddin Prawiranegara dan M. Asaat. Dan
model ketiga adalah model dipilih melalui mekanisme pemilihan yang didasarkan
perolehan suara terbanyak. Model ketiga ini terbagi menjadi dua: dipilih
melalui MPR yang menghasilkan Presiden Abdurrahman Wahid dan dipilih melalui
pemilihan secara langsung oleh rakyat Indonesia, yang menghasilkan Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono dan hampir pasti Presiden Joko Widodo.
Presiden
Soekarno, Presiden Soeharto, dan Presiden Abdurrahman Wahid merupakan tiga
Presiden Indonesia yang melepaskan dan/atau dicabut mandatnya karena adanya
gelombang ketidakpercayaan rakyat terhadap amanat yamg telah diberikan.
Walaupun Abdurrahman Wahid disebut telah "memenangkan" pertarungan
melawan Megawati dalam Pemilihan Presiden 1999, namun pada saat mandatnya
dicabut MPR dia tidak bisa mempertahankan "kemenangan"nya melalui
mekanisme yang sama.
Hingga
saat ini hanya Presiden Megawati dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang
berhasil mempertahankan kepercayaan (amanat) rakyat Indonesia hingga akhir
jabatannya. Walaupun pada pemilihan presiden selanjutnya, Megawati berulangkali
tidak berhasil mendapat dan memperoleh kepercayaan rakyat terbanyak untuk
memegang kekuasaan pemerintahan.
Dengan
demikian, pemilihan presiden bukan perkara kalah-menang, tapi dipercaya oleh
yang terbanyak atau tidak. Jika kalah-menang kontestanlah (Capres-Cawapres)
yang menentukan. Jika dipercaya atau tidak, rakyatlah yang menentukan.
Sahlul Fuad, Jamaah NU Miring
Post a Comment