Amburadulisme Catatan Sipil

Gara-gara sibuk mengurus catatan kependudukan, meski sudah menulis dua kali di sini (lihat: Memangkas Birokrasi Pelayanan Sipil dan Cara Merepotkan Rakyat), masih banyak uneg-uneg yang ingin saya sampaikan di sini. Kenapa begitu? Saya melihat banyak persoalan di negeri ini akibat buruknya sistem administrasi kependudukan. Padahal negeri ini punya Undang-Undang tentang Administrasi Kependudukan.

Pertama, ada banyak dokumen yang terkait dengan kependudukan di negeri ini, antara lain: Akta Lahir, Kartu Keluarga, Kartu Tanda Penduduk, Surat Nikah, Akte Kematian, Surat Izin Mengemudi, Sertifikat Tanah, Surat-Surat Keterangan, Nomor Pokok Wajib Pajak, Nomor Rekening, dan sebagainya, termasuk ijazah sekolah. Masing-masing dokumen tersebut berdiri sendiri, walaupun sebenarnya saling terkait.

Kedua, ada banyak tuntutan untuk menghadirkan dokumen-dokumen tersebut sebagai persyaratan administrasi berbagai persoalan. Misal, untuk mendaftar sekolah, ada lembaga pendidikan yang mensyaratkan adanya Fotocopy KTP, Fotocopy Akte Lahir, Fotocopy Ijazah, dan SKCK. Ketika mau melamar pekerjaan atau mendaftar sebagai pejabat publik atau pejabat negara, juga harus menfotocopy dokumen-dokumen itu. Bahkan, ketika mau pemilu, petugas yang ditunjuk KPU masih perlu menghadirkan Kartu Keluarga.

Ketiga, setiap instansi, khususnya pemerintah atau lembaga negara lainnya, apalagi swasta tidak mempunyai sistem yang bisa saling menghubungkan data-data yang mereka miliki. Mungkin saat ini ada kemajuan, yaitu BPJS berhasil menghubungkan data Kartu Keluarga, dengan data peserta Jaminan Kesehatan Nasional, tapi apakah data itu masih terhubung dengan pihak rumah sakit, sehingga medical recordnya bisa terpantau dengan baik?

Dari ketiga persoalan di atas, menunjukkan kondisi amburadulnya administrasi kependudukan kita. Padahal setiap instansi K/L sangat membutuhkan data penduduk secara lengkap. Kasus Kementerian Sosial, misalnya, terpontang-panting sendiri untuk mencari data penduduk yang menyandang masalah sosial (PMKS). Kemendikbud masih belum bisa menemukan pelaku pengguna ijazah palsu secara otomatis. Kepolisian masih mengetik ulang data orang yang melakukan tindak kejahatan atau meminta SKCK. Kemenag masih mensyaratkan Fotocopy Kartu Keluarga bagi orang yang menikah dan ingin mendaftar ibadah haji. Kemenkeu masih harus meminta surat Pemberitahuan lunas pajak atau SPT. Kemendagri masih meminta KK, Akte Lahir, Surat Nikah untuk dokumen migrasi. KPU masih minta NPWP, ijazah, dan lain-lain untuk para caleg, capres dan lain-lain. Menaker minta semua dokumen kependudukan bagi para pelamar kerja. Saya kira inilah madzhab amburadulisme pemerintah dalam hal catatan sipil, atau dalam istilah lain catatan penting kependudukan.

Saya sempat senang mendengar istilah Single Identity Number, yang pernah digaggas pada awal-awal era reformasi. Saya juga sempat senang mendengar E-KTP. Tapi sampai akhirnya semua pupus. Omong kosong. Karena kenyataannya semua instansi masih merepotkan rakyatnya.

Saya sampai berkhayal seandainya negara ini membangun sistem catatan penting kependudukan yang terpadu, integral, tapi juga aman. Dalam sistem itu terkumpullah seluruh catatan setiap penduduk berdasarkan garis keluarga, bukan berdasarkan wilayah. Sehingga bentuknya seperti pohon keluarga. Masing-masing warga tercatat secara rinci berdasarkan aspek-aspek penting yang dibutuhkan, antara lain: Nomor Induk Penduduk, Riwayat Sekolah, Riwayat Kesehatan, Riwayat Pekerjaan, Riwayat Tempat Tinggal, Riwayat Perkawinan, Riwayat Kriminal, Sidik Jari, Riwayat Kepemilikan, dan sebagainya. Semua data bisa diakses oleh pihak-pihak tertentu sesuai dengan kewenangannya. Setiap sekolah tentu bisa mengakses riwayat pendidikannya secara lengkap, tapi tidak bisa mengakses bidang lainnya. Begitu pula bidang-bidang yang lain, kecuali ada kerjasama antar sektor agar bisa mengakses data-data yang diperlukan.

Dengan adanya sistem yang demikian, ketika saya mau mendaftar sekolah, saya hanya menunjukkan nomor induk penduduk saya, sekolah tak perlu lagi minta ijazah atau lainnya. Begitu pula ketika melamar pekerjaan, tak perlu lagi saya minta SKCK dan sebagainya. Rakyat tenang, tak perlu mondar-mandir ke sana kemari. Cukuplah yang sibuk melayani rakyat ini yang mondar-mandir.

Tidak ada komentar