Datang Telanjang, Pulang Telanjang

Datang Telanjang, Pergi Telanjang

Bayi dilahirkan dalam kondisi telanjang. Kemudian, ketika dia diterima oleh "keluarga"nya segala atribut dikenakan padanya. Ketika kelak meninggal, segala atribut pun akan ditanggalkan. Bagi sekelompok tertentu, ada yang dibakar habis, ada yang cuma dibungkus kain kafan, ada pula yang dandani secara lengkap. Pengenaan atribut yang terakhir itu, secara fisik ada yang memahami tetap tidak memiliki makna penting, karena tak tampak reaksi apa-apai, hal ini berarti tetap tanggal juga atributnya.

Di sisi lain, seseorang ketika menjadi pejabat negara atau publik, saat ini muncul kecenderungan, untuk mengikuti siklus kehidupan manusia. Ketika hendak menjadi pejabat atau publik, dia akan ditelanjangi sepenuhnya, walaupun banyak yang gagal secara bulat. Harta kekayaannya harus diumumkan. Perilakunya dikorek-korek kesalahannya, dan seterusnya. Dengan begitu, diharapkan dia akan menjadi sosok yang benar-benar bisa dipercaya dalam menjalankan tugas-tugasnya. Namun, tentu dia bukan malaikat. Kalau dikorek-korek kesalahannya, pasti ada saja.

Sorotan publik kepada para pejabat negara kadang di luar dugaan sang pejabat sendiri. Hal-hal yang dianggap aman, ternyata bocor juga. Jika sudah demikian, nilai kepejabatannya akan tercoreng. Bahkan, ada pula fenomena yang menunjukkan, kebobrokan sang pejabat adalah vitamin sehari-hari bagi kesehatan publik.

Realitas ini ternyata memantik perdebatan di kalangan masyarakat. Di satu sisi ada yang menilai bahwa penelanjangan terhadap pejabat publik adalah wajar semata, karena para pejabat publik merupakan orang yang dibayar dari uang pajak. Artinya mereka seperti seorang anak yang harus diketahui tingkah lakunya, jangan sampai perbuatannya bisa merugikan orang lain.

Di sisi lain, sekelompok orang tidak setuju penelanjangan secara bulat-bulat. Tetap saja privasi seseorang harus ada yang dilindungi. Sepanjang perbuatan sang pejabat tidak berpengaruh sama sekali terhadap kebijakan publik, perbuatan manusiawinya harus dihargai sebagai wilayah pribadi.

Nah, bagaimana ketika dia sudah tidak menjabat lagi? Apakah akan dilepas sebagaimana para jenazah diserahkan kepada Tuhan, sesuai dengan agama dan keyakinan masing-masing? Apakah ia akan diperlakukan ketika dia hendak diangkat, harus ditelanjangi lagi?

Umumnya, ketika para pejabat publik/negara hendak lengser, lembaga publik/negara tempat dia mengabdi akan "meriasnya" sedemikian rupa, sebagaimana tradisi kelompok tertentu merias jenazahnya. Riasan yang dimaksud bisa jadi berupa berbagai hadiah atau kenang-kenangan, yang tentu berharga, seperti emas 24 karat sekian gram, rumah yang bagus atau lainnya. Mereka lalu dilepas menikmati kehidupan barunya tanpa beban lagi. Namun ada juga yang pada akhirnya dipanggil aparat hukum terkait apa yang pernah dia lakukan semasa menjabat.

Kalau memang setelah menjabat itu sudah tidak lagi ditelanjangi, kelihatannya kok enak benar jadi pejabat, ya? Saya pikir kenapa tidak diaudit lagi kekayaannya seperti ketika awal kali menjabat? Sebab, daripada setelah orang itu meninggal dunia baru ketahuan bahwa dalam menjalankan amanatnya ternyata sebenarnya melakukan tindak pidana korupsi, mending sekalian saja semua diusut setelah turun dari jabatannya. Sehingga, datang telanjang, pulang telanjang pula.

1 komentar:

  1. Kayak Jaelangkung aja. Datang tak diundang. Pulang Tak diantar.

    BalasHapus