Ketilawahan dan Ke-Khott-an yang Lahir dari Sungonlegowo

Karya saya terakhir tahun 2014

Tanggal 23 Februari 2015 ini Kabupaten Tangerang menyelenggarakan Musabaqah Tilawatil Qur'an (MTQ) tingkat kabupaten. Info ini saya lihat di kantor kelurahan tempatku berada saat ini. Info ini seperti menyeret saya ke masa lalu. Karena sejak belia saya sempat terbelit dengan MTQ.

Sekitar pertengahan 1980-an, waktu itu saya kelas 5 Ibtida'iyah, kakak tertua saya menyuruh ikut pelatihan tilawatil Qur'an bittaghanni (membaca al-Qur'an dengan lagu) atau biasa dikenal di kampungku dengan istilah Qiroah, yang diajar oleh Ustadz Thoha Hasan (Qori' juara golongan Remaja Tingkat Nasional 1970an) di Masjid Jami' Sungonlegowo, setiap hari Jum'at, pukul 09:00. Mungkin kegiatan ini diselenggarakan oleh Remaja Masjid saat itu, saya belum ngeh.

Peserta yang hadir dalam pelatihan itu dibagi dalam dua tempat, serambi masjid bagian utara ditempati kaum wanita dan bagian selatan kaum pria, sedangkan ustadz Thoha duduk di pintu perbatasan yang tersekat oleh dinding. Saya tidak tahu persis siapa saja kaum wanita yang ikut di sana, karena saya tidak bisa melihat, kecuali beberapa nama yang biasa mencoba menyuarakan lagu-lagu yang diajarkan, seperti Amiroh. Sedangkan yang laki-laki bisa dihitung jari. Kelompok senior ada Pak Khoirul Huda, Nur Gholib (Ngaren), dan Hamim (dari Desa Lebak). Sementara itu ada golongan perecil, yaitu Kholili (pentol) dan paman saya Abdullah Muthohar yang waktu itu sama-sana kelas 1 atau 2 Tsnawiyah, Saya kelas 5 atau 6 Ibtidaiyah, Hakim kelas 4 atau 5 Ibtidaiyah, Bambang kelas 2 atau 3 Ibtidaiyah.

Abdullah Muthohar ketika Tilawatil Qur'an
Beberapa alumni dari kegiatan ini ada yang berhasil menembus juara tilawah dalam MTQ tingkat Kabupaten, Provinsi, dan bahkan Nasional. Dan saya sendiri, walaupun hanya berhasil menembus juara 4 cabang tilawah golongan anak-anak tingkat Kecamatan, tapi melalui cabang yang berbeda-beda saya berhasil menembus juara tingkat Kabupaten/Kotamadya, yaitu melalui Cabang Khattil Qur'an dan Tahfidz.

Gara-gara ikut cabang tilawah golongan anak-anak, sekitar pertengahan atau akhir 1980-an, saya satu kontingen dengan Cak Midzhar Ahsan yang mengikuti cabang Khattil Qur'an. Selain itu ada juga paman saya Abdullah Muthohar ikut cabang tilawah golongan remaja. Cak Midzhar Ahsan berhasil meraih juara pertama. Usai MTQ, Man Ab, begitu saya panggil Abdullah Muthohar, rajin main ke rumah Cak Mid, panggilan Midzhar Ahsan, untuk belajar khat. Saya pun diajaknya ke sana hingga akhirnya saya keranjingan khat atau kaligrafi. Selain saya dan Man Ab ada juga Abdul Halim. Sayangnya ketiga orang ini akhirnya merantau semua.

Karya Abdullah Muthohar
Ketekunan Cak Mid yang luar biasa dalam mengeksplor berbagai model karya dengan beragam media, berhasil mengantarkan prestasinya hingga akhirnya sampai ke level Nasional. Meski dia memiliki bakat, dan juga mungkin gen dari pamannya yang juga seorang kaligrafer kaca, dia juga terinspirasi oleh kemenangan Misbahul Munir (Malang) dan kakaknya Syamsul Huda (Pasuruan) dalam 2 MTQ tingkat Nasional sebelumnya. Kedua bersaudara itu lahir di Sungonlegowo.

Prestasi Cak Mid sendiri terus menular ke saudara, teman-teman dan tetangganya. Prestasi khattil Quran terus diukir oleh orang-orang yang dibimbingnya, bahkan ke tingkat nasional juga. Cak Mid akhirnya mendirikan sanggar bernama, Sanggar Pesantren Al-Qolam.

Prestasi saya, berkat bimbingan Cak Mid, terpaksa hanya mentok di level Kabupaten Gresik, karena saya segera merantau ke Semarang. Dan walau sempat juga ikut dan meraih kesuksesan dalam MTQ cabang Khat di Kotamadya Semarang, lagi-lagi saya merantau ke Jakarta. Sejak itu saya tak pernah lagi ikut kompetisi.

Sebenarnya kemampuan menulis khat bisa dikembangkan secara komersial. Saya sempat mendapat job beberapa kali, yaitu menulis buku tahlil, menulis untuk lomba tilawah di TVRI, menulis buku tajwid dan beberapa Salawat karya KH. Abdullah Umar Semarang, menulis 2 juz Qur'an Sab'ah, dan lain-lain. Ketika di Jakarta saya juga diajak Man Ab menulis Khat di dinding Masjid Departemen Perhubungan. Dan hingga kini, paman Abdullah Muthohar masih menekuni penulisan kaligrafi di masjid-masjid serta menerima undangan Tilawah di Jakarta dan sekitarnya. Bahkan akhir-akhir ini sering diundang ceramah agama di mana-mana. Akan tetapi pengembangan dan peningkatan kemampuan khat dan tilawah saya tenggelam oleh hobi-hobi dan minat lain saya. Padahal sebenarnya saya juga sempat belajar langsung  pada Nur Aufa Shiddiq, Kudus, saat saya di Semarang. Dan ketika di Jakarta saya juga belajar di Lemka IAIN Syarif Hidayatullah Ciputat. Semoga kelak masih bermanfaat.

2 komentar:

  1. Pendidikan yang luar biasa
    aku dulu juga ikut latihan Qiro'ah, dilatih oleh amatiran
    hanya Surah Buruj yang diulang-ulang. saking bosannya kami panggil di Pak Buruj
    yang berujung jeweran emakku.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehehe.. pendidikan luar biasa.. hasilnya biasa saja.

      Hapus