Madzhab Kunci

Banyak anak sekolah mengeluh gara-gara nilai PR-nya jeblok. "Terus terang ini perkara angka, bukan pengetahuan," kata seorang mengenang masa lalunya. Bagaimanapun, nilai pelajaran bagi anak-anak lebih penting daripada tingkat kepahaman terhadap pelajaran.

Bagi anak-anak yang tidak mengerti apakah jawabannya memang benar atau salah, hasil koreksi guru tidaklah penting. Berbeda dengan anak yang memiliki kepedulian terhadap kebenaran hasil pekerjaan. Bagi anak kelompok anak pertama di atas, apa yang dia kerjakan itu dinilai dengan "Betul" atau "Salah", tetapi anak kelompok kedua itu menilai dengan "Benar" atau "Salah". Bagi anak yang menggunakan ukuran "Betul vs Salah", jika jawabannya benar adalah hasil kebetulan saja, bukan orientasi. Sedangkan yang menggunakan ukuran "Benar vs Salah" dia memang mencari kebenaran, dan terus menverifikasi hasil pekerjaannya.

Bagaimana dengan gurunya? Hal inilah yang kadang menjadi problem. Banyak kasus menunjukkan guru tidak menguasai mata pelajaran yang diampunya.

Adik saya bercerita, jawaban anaknya disalahkan gurunya gara-gara beda istilah. Si anak menulis sebuah jawaban, "Akhlak Baik". Jawaban ini salah karena yang benar adalah "Akhlakul Karimah". Memang kedua istilah ini berbeda bahasa, "Baik" vs "Karimah". Karimah dalam bahasa Arab berarti "Mulia". Dalam konteks Indonesia, orang yang suka menolong sesama apakah orang-orang menyebut "Karimah" atau "Mulia" dalam sehari-hari? Tampaknya, ungkapan itu hanya ada dalam pelajaran atau buku teks. Sedangkan kata "Baik" lebih biasa dipergunakan. Jadi bagaimana pemahaman sang guru terhadap istilah ini?

Kasus kedua adalah kasus matematika. Anak-anak SD di kampung saya marah-marah gara-gara hasil pekerjaannya semua disalahkan gurunya. Kenapa? Sebab, cara menjawab pertanyaannya berbeda dengan cara guru mengerjakan, walaupun hasil yang diperoleh sebenarnya sama. Misal, dalam menjawab luas lingkaran menggunakan rumus π X r X r. Ketika anak-anak menjawab, konsep π yang dipergunakan berbeda. Anak-anak menggunakan 22/7, guru menggunakan 3,14. Alhasil, hasil yang diperoleh anak-anak dalam bentuk "pecahan", sementara yang dihasilkan gurunya dalam bentuk "desimal". Padahal keduanya memiliki nilai yang sama. Jadi bagaimana guru tersebut menguasai rumus matematika?

Usut punya usut, rupanya madzhab yang dianut oleh para guru ini adalah "Madzhab Kunci". Bagi para guru yang tidak menguasai mata pelajaran yang diampunya secara penuh, akibatnya jalan yang ditempuh adalah merujuk pada kunci jawaban. Jika jawaban anak didiknya tidak sesuai dengan kunci maka jawabannya tidak benar.

Masalahnya sekarang, berapa banyak guru yang menganut "Madzhab Kunci" di seluruh sekolah di Indonesia ini?

2 komentar:

  1. Iku mesti madarasah suasta yaaaa

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kasus matematika terjadi di SDN di Tangerang sini, cak.. kalau kasus Akhlak di Semarang.. hehehe

      Hapus