Memimpin Penjahat

Di komuter len, aku lihat para penumpang menutup mata. Entah karena mengantuk, tidak enak pada orang yang berdiri di depannya, atau menghindar perasaan bersalah pada penumpang yang lebih berhak duduk di jok panjang itu. Terbayang dalam benakku, bagaimana seandainya aku menjahati mereka, seperti mengambil telepon pintar di sakunya atau menusuk dengan obeng. Bukan apa-apa, cuma iseng saja. Toh, paling nanti di bawa ke kantor polisi, ditanyain, dipukuli, mentok-mentok di penjara 3 bulan.

Setelah aku pikir-pikir lagi, masa cuma berbuat seperti itu? Terlalu cemen. Pikiran itu kelasnya terlalu rendah. Bahkan tidak lulus SD. Istilah teman-teman, tenar olo, menang ora mulyo. Daripada jadi penjahat teri begitu, mending mengumpulkan penjahat teri yang banyak, lalu dikilo di pasar loak. Siapa tahu laku lebih mahal.

Sayang juga sih kalau cuma dikiloin. Akan lebih menguntungkan jika kemampuan para teri tersebut ditingkatkan. Kalau perlu aku kirim ke Tokyo, Jepang atau Milan, Italia. Siapa tahu mereka bisa dipasang sebagai sparepart mobil atau senapan laras panjang. Bagaimana mereka bisa mempunyai tuan, dan itu aku. Saat itulah aku bisa menjadi pemimpin para penjahat.

Tapi bagaimana mungkin, aku yang baik ini bisa memimpin para penjahat yang isi otaknya sangat cepat bergerak ketika menyaksikan mangsa. Dan mangsa para penjahat, ah, ternyata sesama para penjahat. Umumnya mereka sangat taat pada orang baik. 

Tidak ada komentar