Alam Nawa
Hal-hal tak terduga bisa muncul dan hadir di mana-mana saja. Entah kenyataan ini diakibatkan oleh kekayaan realitas dunia atau sempitnya pandangan kita sendiri.
Sebuah kisah terkesan aneh dan tidak logis dalam pandangan kita, bukan berarti kisah tersebut benar-benar tidak masuk akal. Bagi penutur atau aktor dalam kisah itu, peristiwa yang dialami atau diamati benar-benar fakta, bukan fiksi. Irrasional bagi kita, rasional bagi mereka. Akal sehat bagi kita, akal kacau bagi mereka.
Ada satu kisah yang tak terduga dibangun oleh anak saya Nawa, usia 5 tahun. Entah darimana gagasan atau unsur-unsur cerita yang dia bangun, yang jelas ini adalah fakta yang kudengar. Bagi saya gagasan dan elemen-elemen dalam cerita yang dia sampaikan aneh, di luar anggapan saya bahwa dia bisa menghadirkannya.
Meski tidak terlalu jelas artikulasinya, Nawa bercerita bahwa dia pernah hidup di langit. Dia bernama "Nawah". Ketika di bumi, namanya berubah menjadi "Nawa", tanpa huruf "H" di akhir.
"Di langit aku tinggal bersama papi. Papi orangnya sangat baik.
Di sana segalanya ada. Mau apa saja ada. Mainan apa saja ada."
Dari cerita yang dipaparkan, tampak sekali dia membedakan alam ide dan alam nyata. Baginya, alam nyata merupakan alam yang sangat tidak ideal. Berbagai keterbatasan menghambat keinginannya. Berbeda dengan alam ide, yang berada di langit, merupakan alam di mana segala keinginannya bisa diraih tanpa masalah.
Asumsi yang muncul setelah mendengar ceritanya, dia pasti pernah mendapatkan cerita dari orang lain sebagai "input", dan cerita tersebut sebagai "output". Lalu siapa yang bercerita? Rasanya saya tidak pernah mendoktrinnya dengan isu tersebut. Saya dan istri saya tidak pernah menyatakan secara eksplisit bahwa "Nawa dulu itu hidup di langit", tetapi kami lebih sering menyatakan, "Waktu Nawa di dalam perut mama..." ungkapan yang standar saja. Tetapi kenapa bisa muncul istilah "Langit"?
Mungkin, kami pernah bercerita tentang "Surga". Tetapi, konsep waktu tentang "Surga" yang kami ceritakan bukan dalam konteks "masa lalu", tetapi dalam konteks "masa depan". Bisa jadi, kami bercerita tentang Nabi Adam di Surga. Surga yang kami ceritakan memang menggambarkan tentang segala keinginan bisa terpenuhi. Lagi-lagi, kenapa bisa muncul istilah "Langit" di situ?
Karena terheran-heran dengan bangunan ceritanya, saya bertanya, "Kok bisa kamu cerita dulu pernah hidup di langit?"
"Tahu sendiiri," katanya.
"Cerita di film kartun, kali?" desak saya.
"Nggak, tahu sendiri!!!" dia mengelak.
Kenapa saya mendesaknya dari film kartun? Sebab, hampir tiap hari Nawa menonton film kartun, dalam durasi waktu yang cukup panjang. Jenis kartun yang ditonton pun, bagi saya, bukan jenis kartun normal. Dia cenderung menyukai kartun-kartun yang memiliki dimensi alam yang lebih fleksibel, seperti mermeid, Gumbal, Uncle Granpa, Phineas and Ferb, dll. Bisa jadi, sepanjang hari dia menonton kartun-kartun tersebut secara khusyuk.
Oleh karena inputnya adalah film yang aneh-aneh, outputnya pun terasa aneh. Dan saya kira ini adalah Alam Nawa. Saya tak berdaya untuk mengungkap secara meyakinkan bagaimana dia membangun cerita itu.
Sebuah kisah terkesan aneh dan tidak logis dalam pandangan kita, bukan berarti kisah tersebut benar-benar tidak masuk akal. Bagi penutur atau aktor dalam kisah itu, peristiwa yang dialami atau diamati benar-benar fakta, bukan fiksi. Irrasional bagi kita, rasional bagi mereka. Akal sehat bagi kita, akal kacau bagi mereka.
Ada satu kisah yang tak terduga dibangun oleh anak saya Nawa, usia 5 tahun. Entah darimana gagasan atau unsur-unsur cerita yang dia bangun, yang jelas ini adalah fakta yang kudengar. Bagi saya gagasan dan elemen-elemen dalam cerita yang dia sampaikan aneh, di luar anggapan saya bahwa dia bisa menghadirkannya.
Meski tidak terlalu jelas artikulasinya, Nawa bercerita bahwa dia pernah hidup di langit. Dia bernama "Nawah". Ketika di bumi, namanya berubah menjadi "Nawa", tanpa huruf "H" di akhir.
"Di langit aku tinggal bersama papi. Papi orangnya sangat baik.
Di sana segalanya ada. Mau apa saja ada. Mainan apa saja ada."
Dari cerita yang dipaparkan, tampak sekali dia membedakan alam ide dan alam nyata. Baginya, alam nyata merupakan alam yang sangat tidak ideal. Berbagai keterbatasan menghambat keinginannya. Berbeda dengan alam ide, yang berada di langit, merupakan alam di mana segala keinginannya bisa diraih tanpa masalah.
Asumsi yang muncul setelah mendengar ceritanya, dia pasti pernah mendapatkan cerita dari orang lain sebagai "input", dan cerita tersebut sebagai "output". Lalu siapa yang bercerita? Rasanya saya tidak pernah mendoktrinnya dengan isu tersebut. Saya dan istri saya tidak pernah menyatakan secara eksplisit bahwa "Nawa dulu itu hidup di langit", tetapi kami lebih sering menyatakan, "Waktu Nawa di dalam perut mama..." ungkapan yang standar saja. Tetapi kenapa bisa muncul istilah "Langit"?
Mungkin, kami pernah bercerita tentang "Surga". Tetapi, konsep waktu tentang "Surga" yang kami ceritakan bukan dalam konteks "masa lalu", tetapi dalam konteks "masa depan". Bisa jadi, kami bercerita tentang Nabi Adam di Surga. Surga yang kami ceritakan memang menggambarkan tentang segala keinginan bisa terpenuhi. Lagi-lagi, kenapa bisa muncul istilah "Langit" di situ?
Karena terheran-heran dengan bangunan ceritanya, saya bertanya, "Kok bisa kamu cerita dulu pernah hidup di langit?"
"Tahu sendiiri," katanya.
"Cerita di film kartun, kali?" desak saya.
"Nggak, tahu sendiri!!!" dia mengelak.
Kenapa saya mendesaknya dari film kartun? Sebab, hampir tiap hari Nawa menonton film kartun, dalam durasi waktu yang cukup panjang. Jenis kartun yang ditonton pun, bagi saya, bukan jenis kartun normal. Dia cenderung menyukai kartun-kartun yang memiliki dimensi alam yang lebih fleksibel, seperti mermeid, Gumbal, Uncle Granpa, Phineas and Ferb, dll. Bisa jadi, sepanjang hari dia menonton kartun-kartun tersebut secara khusyuk.
Oleh karena inputnya adalah film yang aneh-aneh, outputnya pun terasa aneh. Dan saya kira ini adalah Alam Nawa. Saya tak berdaya untuk mengungkap secara meyakinkan bagaimana dia membangun cerita itu.
siapa bilang anak didikan televisi gak bisa cerdas.... hehehehe
BalasHapus