Belajar Bersepeda
Bersepeda awal kali terasa begitu susah. Saya memakai sepeda bekas kakak ketigaku, yang lama tak terpakai lagi, untuk belajar. Sebuah sepeda mini warna merah. Bannya sambungan, karena sudah tak ada lagi ukurannya yang sama dengan velgnya di toko. Bapak saya sempat berpikir menggantinya dengan roda motor, tapi terlalu lebar. Akhirnya tetap saja pakai ban sambungan sendiri. Lebih murah dan gampang.
Jatuh bangun saya belajar, waktu itu. Sampai suatu hari ada sepupu saya Atok, dari Kranji, berkunjung ke rumah. Saya ingin menunjukkan bahwa saya sudah bisa bersepeda. Dipegangi kakak kelima saya, saya mengebut. Tepat di rumah Mak Bi, jalannya bertonjolan. Saya pun jatuh tak bisa mengendalikan sepeda.
Ban sepeda mini merah kembali bermasalah. Tak dibiarkan tak berfungsi lagi. Saya belajar sepeda besar, yang ada palang menghubungkan bawah sadel dengan bawah setir yang biasa kami sebut "sepeda watangan". Kalau tubuh saya di atas palang itu, kaki saya tidak sampai ke pedal. Saya belajar dengan tubuh agak miring, menjalankan roda sepeda dengan menginjak pedal tak penuh berputar, istilahnya "srek tok".
Lama-lama saya bisa menguasai sepeda ukuran besar itu. Lama-lama kaki saya pun sampai pada ujung pedal ketika tubuh saya di atas batangan, walaupun hanya srek tok, sepeda bisa berjalan. Rasanya begitu susah belajar bersepeda, karena ukuran dan jenis sepeda yang ada. Sehingga kalau jatuh, benturannya lebih hebat, belum lagi tertimpa besi rangkanya.
Tak jarang pula, sarung yang saya pakai banyak rusak akibat belajar sepeda. Saya memang pemakai sarung sejak kecil. Ke mana-mana pakai sarung. Ketika bersepeda, sarung saya kadang terjepit di antara rantai dan duri-duri gear. Kalau terkena oli memang sudah pasti.
Kini, sepeda ukuran sangat mini sudah diproduksi. Anak-anak setinggi 70 cm pun bisa memakainya. Apalagi di kedua sisi roda belakang dipasang dua roda kecil untuk menyangga. Tinggal seberapa kuat kaki anak menginjak pedal untuk menggerakkan sepeda sekaligus pengendaranya.
Jatuh bangun bersepeda adalah hal biasa. Berulangkali saya merasakan. Pernah juga jatuh terperosok ke tambak air payau. Tanahnya memang sangat licin ketika habis hujan. Ketika sudah Aliyah pernah mematahkan garpu sepeda teman, ketika berboncengan pulang dari Pasar Legi, bahkan tangan saya sekarang kadang masih terasa ngilu akibat jatuh masa itu.
Jatuh bangun saya belajar, waktu itu. Sampai suatu hari ada sepupu saya Atok, dari Kranji, berkunjung ke rumah. Saya ingin menunjukkan bahwa saya sudah bisa bersepeda. Dipegangi kakak kelima saya, saya mengebut. Tepat di rumah Mak Bi, jalannya bertonjolan. Saya pun jatuh tak bisa mengendalikan sepeda.
Ban sepeda mini merah kembali bermasalah. Tak dibiarkan tak berfungsi lagi. Saya belajar sepeda besar, yang ada palang menghubungkan bawah sadel dengan bawah setir yang biasa kami sebut "sepeda watangan". Kalau tubuh saya di atas palang itu, kaki saya tidak sampai ke pedal. Saya belajar dengan tubuh agak miring, menjalankan roda sepeda dengan menginjak pedal tak penuh berputar, istilahnya "srek tok".
Lama-lama saya bisa menguasai sepeda ukuran besar itu. Lama-lama kaki saya pun sampai pada ujung pedal ketika tubuh saya di atas batangan, walaupun hanya srek tok, sepeda bisa berjalan. Rasanya begitu susah belajar bersepeda, karena ukuran dan jenis sepeda yang ada. Sehingga kalau jatuh, benturannya lebih hebat, belum lagi tertimpa besi rangkanya.
Tak jarang pula, sarung yang saya pakai banyak rusak akibat belajar sepeda. Saya memang pemakai sarung sejak kecil. Ke mana-mana pakai sarung. Ketika bersepeda, sarung saya kadang terjepit di antara rantai dan duri-duri gear. Kalau terkena oli memang sudah pasti.
Jatuh bangun bersepeda adalah hal biasa. Berulangkali saya merasakan. Pernah juga jatuh terperosok ke tambak air payau. Tanahnya memang sangat licin ketika habis hujan. Ketika sudah Aliyah pernah mematahkan garpu sepeda teman, ketika berboncengan pulang dari Pasar Legi, bahkan tangan saya sekarang kadang masih terasa ngilu akibat jatuh masa itu.
Post a Comment