Berpuisi
Sejak belia, saya sudah terbiasa melihat orang menyair, atau lebih tepat membaca syair. Tiap malam Jum'at, tradisi membaca shalawat Dibaiyah merupakan kegiatan yang hampir wajib di mushalla belakang rumah saya. Jika waktu salat Isya' sudah tiba, anak-anak muda mulai berdatangan. Duduk mengeliling dampar, menirukan bacaan-bacaan yang berirama. Shalawat Dibaiyah, bagi saya adalah salah satu jenis syair atau puisi yang disusun oleh para ulama. Dari sisi bentuk dan iramanya jelas sekali itu tampak tertata rapi, yang dibangun melalui bahr tertentu. Begitu juga majaz dan metaforanya.
Selain Dibaiyah dan shalawat-shalawat lainnya, kami menghafalkan nadzam-nadzam ilmu Nahwu, Faraid, Ushul Fiqh, dan lain-lain. Semuanya adalah ringkasan dari hukum-hukum atau kaidah-kaidah yang disarikan dari kajian yang sangat luas dalam bentuk syair seperti halnya shalawat tadi. Sehingga telinga dan perasaan kami seperti dipatri dengan bunyi-bunyi yang serasi.
Sedangkan puisi-puisi modern juga biasa kami dengar dan baca, bukan hanya di sekolah, tetapi juga di lingkungan kampung. Masa-masa peringatan hari-hari besar nasional maupun peringata hari-hari besar keagamaan, pembacaan puisi sering dilantunkan dan dilombakan. Selain hari-hari besar, ketika masih belia, saya tak jarang menyaksikan pembacaan puisi dalam acara tahlil, yang diselenggarakan para remaja setiap malam Senin. Puisi andalan yang sering dibaca adalah puisi perjuangan, entah judulnya lupa, tapi petikan yang selalu saya ingat adalah:
Hidup adalah perjuangan
Perjuangan adalah ibadah
Dengan inilah kita merdeka.
Mungkin karena kebiasaan tersebut, di kampung saya muncul beberapa penyair, di antaranyata: Syihabuddin Dahlan, Jaka Islahuddin Yahya, Chusnul Fasikh, dan lain-lain. Kebetulan mereka adalah guru-guru Bahasa Indonesia saat itu. Ada juga yang lebih saya kenal sebagai deklamator, karena saya tidak pernah melihat karyanya, yaitu Abdul Kholiq Mudzakkir. Cak Kholiq inilah yang mengajari saya cara berdeklamasi, membacakan puisi di panggung dan saat berlomba. Dia memang sering juara lomba membaca puisi.
Ketika diadakan lomba-lomba baca puisi, selalu saja ramai peserta. Jika tidak salah, saya ikut dua kali lomba baca puisi. Pertama kali mengikuti lomba puisi adalah di sekolah, dan kedua ikut lomba di Kecamatan. Waktu di sekolah saya bukan apa-apa. Di sana banyak sekali deklamator yang luar biasa, seperti Umi Sholichah, teman sekelas saya. Ada juga deklamator senior saya, bernama Siti Aisyah, teman kelas kakak saya. Begitu juga yang laki-laki, melimpah dan hebat-hebat, seperti Aminin Kaes memiliki penghayatan yang kuat.
Satu kejadian menarik ketika ikut lomba baca puisi tingkat Kecamatan Bungah. Saya sudah bersiap sedemikian rupa. Saya belajar khusus pada Cak Kholiq. Sayangnya, ketika tiba di arena, giliran saya ditunda esok harinya. Akhirnya saya pulang. Esok harinya saya datang lagi, ternyata telat. Saya pun tidak jadi membacakan puisi yang sudah saya siapkan. Ketika pengumuman lomba, saya ikut hadir. Sebab, teman-teman sekolah saya yang perempuan dipastikan menjuarai lomba Kasidah. Saat pemenang pembacaan puisi diumumkan, eh.. ternyata saya yang juara. Padahal saya tidak tampil. Umi Sholichah mencak-mencak, karena dia yang sempat tampil. Saya menduga, sebenarnya Umi Sholichahlah yang juara. Bukan hanya karena tampil, tetapi dia memang memiliki kemampuan berdeklamasi yang baik waktu itu.
Begitulah... Ketika merantau di Semarang saya tidak lagi berhubungan dengan puisi, kecuali baca shalawat dan mengaji. Ya, mengaji juga seperti baca puisi. Bunyi-bunyi dalam Al-Qur'an begitu indah tersusun. Begitu pun ketika di Jakarta. Hampir saya tidak berhubungan lagi dengan puisi, hingga akhir Januari 2006.
Akhir Januari 2006 saya terpaksa membuat puisi di Komunitas Sepertiga Malam yang digagas oleh Kang Budi Syahbuddin. Setiap malam Jumat, kami berkumpul melingkar membacakan karya-karya sastra, puisi dan cerpen di Gedung PB PMII. Yang hadir biasanya adalah Mbak Winarti alias Wiwin, Titik Nurhidayati,Miksan Anshori, Emi Suhaemi, dan lain-lain, dan tentu Kang Budi.Sejak itu, saya mulai keranjingan menulis yang saya anggap puisi. Sejak itupula saya mulai berkenalan dengan banyak penyair. Dan entahlah... Semangat berpuisi saya terus menyurut, meski pernah melahirkan kumpulan 33 Puisi Dusta.
Jika ilmu disajikan ke bentuk puisi seperti para pendahulu, alangkah indahnya..
BalasHapusbiar puisi tidak hanya bicara soal ketek, selangkangan, susu, dan paha. biar Binhad ra payu, hhehe
Hehehe.. tantangan berat
Hapus