Disiplin Ala Sawabi Ichsan
Meskipun kata "disiplin" sudah saya kenal sejak pramuka, tapi saya sangat terkesan terhadap penjelasan Pak Sawabi Ichsan (alm.) waktu di bangku kuliah, sekitar akhir 90-an. Ketika di pramuka, istilah "disiplin", dalam pemahaman saya, adalah tepat waktu. Dalam konteks inilah saya terkesan dengan kategori-kategori yang dibikin oleh Pak Sawabi.
Disiplin, dalam pengertian tepat waktu, menurut Pak Sawabi dapat dibagi dalam beberapa jenis: pertama Disiplin mekanik, yaitu sebuah bentuk perilaku yang menjadi kebiasaan sehari. Beliau mencontohkan, "saya bangun tidur, ke kamar mandi (buang air, mandi, dan wudlu), memakai baju, salat subuh, baca Qur'an, bikin kopi dan bakar roti, sarapan sambil baca buku, jalan ke stasiun, tepat kerta datang, masuk kereta, sampai kampus." Apa yang dilakukan tersebut berulang-ulang dan tak ada yang terlewatkan, sehingga menjadi kebiasaan mekanis.
Kedua, Disiplin Milter. Beliau mengilustrasikan, ketika di ruang kelas tidak ada suara sebisikpun. Peserta belajar (siswa/mahasiswa) tidak berkutik karena takut terhadap pengajarnya (guru/dosen) yang meletakkan pistol di meja. Artinya orang disiplin harus dipaksa dengan rasa ketakutan.
Ketiga, Disiplin mesin. Pak Sawabi menjelaskan bahwa mesin itu bergerak secara otomatis sesuai dengan waktu yang telah ditentukan. Ketika tepat pukul 07:00 pintu diatur akan menutup sendiri, maka tidak ada toleransi sedikit pun terhadap aturan tersebut. Siapapun, tidak peduli guru atau murid, yang terlambat tidak akan bisa masuk.
Waktu menyampaikan penjelasan disiplin tersebut posisi beliau adalah dosen bahasa Inggris di PTIQ. Entah apakah ini adalah bentuk kekesalan beliau terhadap gejala mahasiswa yang diajarnya selalu telat datang, atau gejala umum molor di negeri ini. Yang jelas, rumusan kategori disiplin beliau adalah hasil dari pengalaman empirik yang dia temui di Indonesia, dan dibandingkan dengan pengalamannya (kalau tidak salah) ketika kuliah di Mesir atau di Amerika, atau saat menjadi penyiar Radio BBC.
Bagi saya, sosok Pak Sawabi Ichsan ini adalah salah satu sosok unik yang pernah saya temui. Senyum dan gesturnya yang khas masih terngiang dalam benak saya. Saya bertemu beliau pertama ya pada waktu perkenalan masuk kelas pertama kali. Waktu itu usianya mungkin sudah 70an. Walaupun mengajar bahasa Inggris, beliau hafidz Al-Qur'an dan pernah menjabat Sebagai Ketua Lajnah Tashih Al-Qur'an. Beliaulah yang merumuskan konsep Al-Qur'an Standar Indonesia. Dan terakhir saya berjumpa beliau sekitar tahun 2003, ketika saya diminta menuliskan beberapa juz Al-Qur'an sebagai model standar penulisan Al-Qur'an Sab'ah. Entahlah, apakah gagasan beliau sudah terwujud atau belum.
Selaku dosen bahasa Inggris, metodenya juga menurut saya unik. Dia mengajarkan beberapa topik Grammer, lalu ulangan. Setiap kali ulangan, waktunya ditentukan cuma 10-14 menit sesuai dengan jumlah soal. Jika soalnya 40, maka waktunya 14 menit. Lembar soalnya juga unik. Tidak ada nomor di setiap soal. Walaupun multiple choice atau pilihan ganda, beliau tidak memakai kode a, b, c, dan d, tetapi langsung kata pilihannya. "Ini untuk menghindari contekan," katanya. Bagi mahasiswa yang secara berturut-turut mendapat nilai A atau B ketika ulangan harian, kelak ujian UTS dan UAS tidak boleh ikut. Hanya orang yang nilainya C dan D yang boleh ada dalam kelas. "Biar tidak mengganggu," katanya.
Hasil evaluasi beliau memang tidak jauh meleset. Ketika mahasiswa yang rata-rata mendapat nilai A/B dalam ulangan harian, ketika ikut ujian lain nilainya juga seperti itu. Dan beberapa buku bahasa Inggris yang dijadikan pegangan mahasiswa di PTAI ada nama beliau.
Usaha-usaha kreatif pak Sawabi ini tampak sekali sebagai bentuk kedisiplinan beliau, sehingga menemukan pola-pola perilaku yang beliau amati. Beliau memang lebih menyukai terhadap model disiplin mekanis dalam menjalani hidup.
Saya baru tahu, ternyata beliau juga menjadi kerabat keluarga pak Kiai Djunaidi, Ayah Mahbub Djunaidi. Semoga amal baiknya diterima Allah SWT. Al-fatihah.
Disiplin, dalam pengertian tepat waktu, menurut Pak Sawabi dapat dibagi dalam beberapa jenis: pertama Disiplin mekanik, yaitu sebuah bentuk perilaku yang menjadi kebiasaan sehari. Beliau mencontohkan, "saya bangun tidur, ke kamar mandi (buang air, mandi, dan wudlu), memakai baju, salat subuh, baca Qur'an, bikin kopi dan bakar roti, sarapan sambil baca buku, jalan ke stasiun, tepat kerta datang, masuk kereta, sampai kampus." Apa yang dilakukan tersebut berulang-ulang dan tak ada yang terlewatkan, sehingga menjadi kebiasaan mekanis.
Kedua, Disiplin Milter. Beliau mengilustrasikan, ketika di ruang kelas tidak ada suara sebisikpun. Peserta belajar (siswa/mahasiswa) tidak berkutik karena takut terhadap pengajarnya (guru/dosen) yang meletakkan pistol di meja. Artinya orang disiplin harus dipaksa dengan rasa ketakutan.
Ketiga, Disiplin mesin. Pak Sawabi menjelaskan bahwa mesin itu bergerak secara otomatis sesuai dengan waktu yang telah ditentukan. Ketika tepat pukul 07:00 pintu diatur akan menutup sendiri, maka tidak ada toleransi sedikit pun terhadap aturan tersebut. Siapapun, tidak peduli guru atau murid, yang terlambat tidak akan bisa masuk.
Waktu menyampaikan penjelasan disiplin tersebut posisi beliau adalah dosen bahasa Inggris di PTIQ. Entah apakah ini adalah bentuk kekesalan beliau terhadap gejala mahasiswa yang diajarnya selalu telat datang, atau gejala umum molor di negeri ini. Yang jelas, rumusan kategori disiplin beliau adalah hasil dari pengalaman empirik yang dia temui di Indonesia, dan dibandingkan dengan pengalamannya (kalau tidak salah) ketika kuliah di Mesir atau di Amerika, atau saat menjadi penyiar Radio BBC.
Bagi saya, sosok Pak Sawabi Ichsan ini adalah salah satu sosok unik yang pernah saya temui. Senyum dan gesturnya yang khas masih terngiang dalam benak saya. Saya bertemu beliau pertama ya pada waktu perkenalan masuk kelas pertama kali. Waktu itu usianya mungkin sudah 70an. Walaupun mengajar bahasa Inggris, beliau hafidz Al-Qur'an dan pernah menjabat Sebagai Ketua Lajnah Tashih Al-Qur'an. Beliaulah yang merumuskan konsep Al-Qur'an Standar Indonesia. Dan terakhir saya berjumpa beliau sekitar tahun 2003, ketika saya diminta menuliskan beberapa juz Al-Qur'an sebagai model standar penulisan Al-Qur'an Sab'ah. Entahlah, apakah gagasan beliau sudah terwujud atau belum.
Selaku dosen bahasa Inggris, metodenya juga menurut saya unik. Dia mengajarkan beberapa topik Grammer, lalu ulangan. Setiap kali ulangan, waktunya ditentukan cuma 10-14 menit sesuai dengan jumlah soal. Jika soalnya 40, maka waktunya 14 menit. Lembar soalnya juga unik. Tidak ada nomor di setiap soal. Walaupun multiple choice atau pilihan ganda, beliau tidak memakai kode a, b, c, dan d, tetapi langsung kata pilihannya. "Ini untuk menghindari contekan," katanya. Bagi mahasiswa yang secara berturut-turut mendapat nilai A atau B ketika ulangan harian, kelak ujian UTS dan UAS tidak boleh ikut. Hanya orang yang nilainya C dan D yang boleh ada dalam kelas. "Biar tidak mengganggu," katanya.
Hasil evaluasi beliau memang tidak jauh meleset. Ketika mahasiswa yang rata-rata mendapat nilai A/B dalam ulangan harian, ketika ikut ujian lain nilainya juga seperti itu. Dan beberapa buku bahasa Inggris yang dijadikan pegangan mahasiswa di PTAI ada nama beliau.
Usaha-usaha kreatif pak Sawabi ini tampak sekali sebagai bentuk kedisiplinan beliau, sehingga menemukan pola-pola perilaku yang beliau amati. Beliau memang lebih menyukai terhadap model disiplin mekanis dalam menjalani hidup.
Saya baru tahu, ternyata beliau juga menjadi kerabat keluarga pak Kiai Djunaidi, Ayah Mahbub Djunaidi. Semoga amal baiknya diterima Allah SWT. Al-fatihah.
Post a Comment