Hak Merokok di Kereta
Pertama kali saya naik kereta terjadi pada tahun 1993, dari Stasiun Babat turun di Stasiun Jatinegara. Saya naik Kereta Gaya Baru bersama empat orang, yang bermula dari Pondok Pesantren Tarbiyatut Tholabah, Kranji, Paciran, Lamongan. Waktu itu, keberangkatan kami dilepas langsung oleh KH. Moh. Baqir Adelan, kakak kandung Ibu saya, Maimunah Adelan.
Lalu, naik kereta kedua kali berangkat dari Stasiun Jatinegara menuju Stasiun Babat bersama seorang teman yang saya kenal di Jakarta. Selanjutnya saya sudah lupa berapa kali saya naik kereta. Bahkan sehari-hari, kini saya lebih sering naik kereta dibanding moda transportasi umum lainnya. Ada yang menyebut penumpang aktif kereta ini ANKER alias Anak Kereta.
Naik kereta memang murah dan nyaman. Resiko rendah pula. Hitung saja, Surabaya-Jakarta hanya cukup mengeluarkan kocek Rp 7.000, pada waktu itu, sedangkan naik bus sudah mencapai puluhan ribu rupiah. Tentu saja yang ekonomi.
Karena sering naik kereta, saya mendapat pengalaman bagaimana bisa lebih murah lagi. Waktu itu, cukup dengan uang Rp 2.000-3.000 atau separuh tarif, saya bisa sampai Jakarta - Surabaya atau sebaliknya. Awalnya saya hanya mendengar caranya. Kemudian saya membuktikan waktu naik kereta. Ternyata benar. Ketika petugas keliling meminta tiket atau karcis, orang-orang langsung menyerahkan uang Rp 1.000 secara langsung. Tarikan ini dilaksanakan setelah Stasiun Semarang dan Stasiun Cirebon.
Setelah memraktikkan beberapa kali, saya ditegur teman Bapak saya, Pak Mufidz Hasan. Gara-garanya saya mengajak putranya tanpa membeli tiket, tapi membayar petugas. Saya benar-benar kapok, ketika menyaksikan ketegasan petugas dari Stasiun Semarang yang memukuli dan menurunkan orang-orang yang tidak membeli tiket. Kebetulan, waktu itu saya beli tiket bersama Abi, aktivis PMII Ciputat, saat pulang dari Mukernas PMII Semarang.
Sistem pertiketan kereta terus mengalami perubahan. Jika awalnya orang langsung beli ke loket di stasiun pada saat hendak berangkat, kemudian orang bisa pesan beberapa hari sebelum keberangkatan. Bahkan saat ini jika ingin beli tiket, cukup dengan tiduran di rumah, tanpa harus beranjak dari ranjang. Cukup klik-klik handphone, sebulan lagi kita sudah pastikan bisa naik kereta yang kita maksudkan. Sayangnya, harga tiket kereta sangat jauh tinggi melambung.
Perubahan kebijakan perkeretaan ini juga terjadi dalam hal pembatasan jumlah penumpang. Kalau dulu berapapun orang yang beli tiket saat itu bisa masuk, akibatnya kereta penuh sesak. Belum lagi para penjual asongan, pengamen, dan sebagainya. Kadang suasana ini menguntung penumpang, jika kelaparan tengah malam, bisa langsung beli dan murah. Namun kadang sangat mengganggu karena tidak bisa tidur. Kini jumlah penumpang kereta maksimal hanya sesuai dengan jumlah kursi yang tersedia. Pedagang asongan pun tidak bisa masuk.
Jadwal kereta makin banyak. Waktu tempuh pun kian cepat. Jika dulu mencapai 12 jam, kini menjadi 8 jam. Hal ini disebabkan rel yang tersedia sudah ganda. Satu lajur khusus dari arah Timur ke Barat, dan satu lajur lagi khusus dari arah sebaliknya. Pada waktu masih rel tunggal, penumpang sering mengeluh. Mulutnya celometan macam-macam, karena kereta yang mereka tumpangi ngetem di tengah perjalanan. Ada yang bilang, "Bannya kempis" lah, "Masinisnya kecapekan" lah.. Ini semua karena antrean jalan.
Perubahan-perubahan ini di satu sisi memang sangat diharapkan. Terutama masalah kenyamanan penumpang dan kecepatan/ketepatan waktu. Namun, perubahan yang menjengkelkan adalah masalah harga yang mahal. Dan yang paling menjengkelkan adalah penumpang tidak bisa merokok sama sekali. Padahal dalam bus saja, ada ruang merokok.
Ruang merokok bagi penumpang kereta bagi saya adalah keniscayaan. Apalagi Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan bahwa Merokok adalah Hak, dan setiap Gedung atau Fasilitas Umum lainnya yang memberlakukan aturan larangan merokok HARUS MENYEDIAKAN RUANG MEROKOK. Karena kereta adalah bagian yang ada dalam negeri ini, mestinya dia melaksanakan Amar Putusan MK ini.
Sebenarnya, saya kira, tidak repot untuk menyediakan area merokok di kereta. Bisa saja disediakan satu gerbong khusus untuk para perokok. Kalau perlu, dan ini adalah bisnis KAI, menyewakan ruang merokok tersebut.
Lalu, naik kereta kedua kali berangkat dari Stasiun Jatinegara menuju Stasiun Babat bersama seorang teman yang saya kenal di Jakarta. Selanjutnya saya sudah lupa berapa kali saya naik kereta. Bahkan sehari-hari, kini saya lebih sering naik kereta dibanding moda transportasi umum lainnya. Ada yang menyebut penumpang aktif kereta ini ANKER alias Anak Kereta.
Naik kereta memang murah dan nyaman. Resiko rendah pula. Hitung saja, Surabaya-Jakarta hanya cukup mengeluarkan kocek Rp 7.000, pada waktu itu, sedangkan naik bus sudah mencapai puluhan ribu rupiah. Tentu saja yang ekonomi.
Karena sering naik kereta, saya mendapat pengalaman bagaimana bisa lebih murah lagi. Waktu itu, cukup dengan uang Rp 2.000-3.000 atau separuh tarif, saya bisa sampai Jakarta - Surabaya atau sebaliknya. Awalnya saya hanya mendengar caranya. Kemudian saya membuktikan waktu naik kereta. Ternyata benar. Ketika petugas keliling meminta tiket atau karcis, orang-orang langsung menyerahkan uang Rp 1.000 secara langsung. Tarikan ini dilaksanakan setelah Stasiun Semarang dan Stasiun Cirebon.
Setelah memraktikkan beberapa kali, saya ditegur teman Bapak saya, Pak Mufidz Hasan. Gara-garanya saya mengajak putranya tanpa membeli tiket, tapi membayar petugas. Saya benar-benar kapok, ketika menyaksikan ketegasan petugas dari Stasiun Semarang yang memukuli dan menurunkan orang-orang yang tidak membeli tiket. Kebetulan, waktu itu saya beli tiket bersama Abi, aktivis PMII Ciputat, saat pulang dari Mukernas PMII Semarang.
Sistem pertiketan kereta terus mengalami perubahan. Jika awalnya orang langsung beli ke loket di stasiun pada saat hendak berangkat, kemudian orang bisa pesan beberapa hari sebelum keberangkatan. Bahkan saat ini jika ingin beli tiket, cukup dengan tiduran di rumah, tanpa harus beranjak dari ranjang. Cukup klik-klik handphone, sebulan lagi kita sudah pastikan bisa naik kereta yang kita maksudkan. Sayangnya, harga tiket kereta sangat jauh tinggi melambung.
Perubahan kebijakan perkeretaan ini juga terjadi dalam hal pembatasan jumlah penumpang. Kalau dulu berapapun orang yang beli tiket saat itu bisa masuk, akibatnya kereta penuh sesak. Belum lagi para penjual asongan, pengamen, dan sebagainya. Kadang suasana ini menguntung penumpang, jika kelaparan tengah malam, bisa langsung beli dan murah. Namun kadang sangat mengganggu karena tidak bisa tidur. Kini jumlah penumpang kereta maksimal hanya sesuai dengan jumlah kursi yang tersedia. Pedagang asongan pun tidak bisa masuk.
Jadwal kereta makin banyak. Waktu tempuh pun kian cepat. Jika dulu mencapai 12 jam, kini menjadi 8 jam. Hal ini disebabkan rel yang tersedia sudah ganda. Satu lajur khusus dari arah Timur ke Barat, dan satu lajur lagi khusus dari arah sebaliknya. Pada waktu masih rel tunggal, penumpang sering mengeluh. Mulutnya celometan macam-macam, karena kereta yang mereka tumpangi ngetem di tengah perjalanan. Ada yang bilang, "Bannya kempis" lah, "Masinisnya kecapekan" lah.. Ini semua karena antrean jalan.
Perubahan-perubahan ini di satu sisi memang sangat diharapkan. Terutama masalah kenyamanan penumpang dan kecepatan/ketepatan waktu. Namun, perubahan yang menjengkelkan adalah masalah harga yang mahal. Dan yang paling menjengkelkan adalah penumpang tidak bisa merokok sama sekali. Padahal dalam bus saja, ada ruang merokok.
Ruang merokok bagi penumpang kereta bagi saya adalah keniscayaan. Apalagi Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan bahwa Merokok adalah Hak, dan setiap Gedung atau Fasilitas Umum lainnya yang memberlakukan aturan larangan merokok HARUS MENYEDIAKAN RUANG MEROKOK. Karena kereta adalah bagian yang ada dalam negeri ini, mestinya dia melaksanakan Amar Putusan MK ini.
Sebenarnya, saya kira, tidak repot untuk menyediakan area merokok di kereta. Bisa saja disediakan satu gerbong khusus untuk para perokok. Kalau perlu, dan ini adalah bisnis KAI, menyewakan ruang merokok tersebut.
Satu-satunya perubahan nyata pasca reformasi ya cuma kereta api cak.
BalasHapusEh.... Amar putusan MK yang mana? Minta dong......
iki cak... http://www.tobaccocontrollaws.org/files/live/litigation/1041/ID_Judicial%20Review%20of%20Law%20No.%2036%20.pdf
BalasHapus