Jokowi Resmikan Biang Kemacetan

Siang tadi (Sabtu, 14/3) Presiden Jokowi meresmikan biang kemacetan di Jakart yang lebih parah lagi. Memang, berita dan fakta yang tampak adalah meresmikan gedung tertinggi dan terluas di Indonesia, yaitu gedung Sudirman Sahid Center. Gedung itu tingginya mencapai 225 meter. Berdiri di atas lahan seluas 1 hektar, di atasnya berdiri bangunan setinggi 52 lantai struktur terdiri dari 5 lapis lantai parkir di bawah tanah, 7 lapis lantai parkir di atas tanah, 45 lapis lantai di atas tanah, ditunjang dengan 22 lift penumpang, 3 lift parkir, 2 lift service, dan   toilet VIP di tiap lantai.

Asusmi kendaraan yang bisa parkir di gedung itu diperkirakan 1.500 kendaraan. Kalau mobil itu berbaris di jalan raya, tinggal menghitung saja, berapa kilometer jalan itu akan dipenuhi? Kalau rata-rata panjang mobil itu 2 meter, akan ketemu angka 3 kilometer mobil antrian. 

Okelah ada 6 lajur jalan yang akan dipakai, sehingga rata-rata menjadi 500 meter antrian mobil. Tapi jangan lupa, mobil-mobil yang sudah macat sekarang itu tidak pernah dikurangi. Artinya, gedung ini hanya menambah kemacetan Jakarta. Lalu kenapa Jokowi mau memberikan izin pendirian gedung itu, semasa menjadi Gubernur DKI? Apakah Gubernur Foke yang memberikan izin? Tapi kenapa Jokowi yang meresmikan? Tanya saja kepada beliau.

Bagi saya, pembangunan jalan flyover, subway dan sebagainya hanya menunda kemacetan saja. Rumus sederhana kemacetan adalah jumlah mobil lebih banyak dari ruas jalan yang ada. Masalahnya kenapa bisa banyak mobil di sana? Jawabnya sederhana juga, karena tujuannya ada di sana. Kalau tujuannya di tempat lain, mobilnya akan berkumpul ke tempat lain.

Kenapa Jakarta menjadi tujuan mobil-mobil? Jawaban sederhananya, karena di sana ada banyak peluang pekerjaan. Lalu kenapa peluang pekerjaan tidak dibuang saja ke kota lain? Memangnya di daerah lain tidak ada lahan lagi? Memangnya orang-orang akan tetap balik ke Jakarta kalau pekerjaannya ada di daerah lain?

Saya kira, orang bekerja di mana saja tempatnya tetap sama. Kalau pekerjaan menghitung duit, kan bisa juga dilakukan di kamar tidur masing-masing. Toh, sekarang sudah internet. Klik. Terkirim. Kalau kurang jelas, klik. telepon. Kenapa harus bangun gedung setinggi dan seluas itu di jantung Ibukota? Idenya kok ndeso banget. Kalau gak di Jakarta kayaknya orang tidak bisa bekerja. Padahal, waktu tempuh yang dibutuhkan pegawai atau karyawan yang harus absen jauh lebih banyak.

Coba kalau gedung itu dibangun di kawasan kosong, di situ juga dibangun komplek perumahan bagi pegawainya, apakah itu tidak lebih efektif dan efisien? Biaya beli dan pajak tanah di Jakarta saja bisa untuk membangun 3 kali lipat gedung di daerah yang kosong, toh?

Tidak ada komentar