"Jurnalisme Gosip"
"Konon", "Menurut Berbagai Sumber", "Menurut Sumber Terpercaya," dan kata atau frase lain yang merujuk subyek yang kabur tersebut kini banyak menghiasi laporan "jurnalistik". Saya tidak mengerti betul apakah laporan yang menggunakan terma-terma ini masih masuk dalam kategori jurnalisme atau tidak?
Saya jadi teringat kepada pendapat (alm) Budiman S. Hartoyo, wartawan senior ketika mengisi pelatihan jurnalistik. Menurutnya, "Konon" dan konco-konco itu bukan ciri jurnalisme karena tidak memenuhi unsur akurat. Penggunaan term tersebut menunjukkan informasi tersebut yang tidak jelas juntrung asal-usulnya. Dampak dari informasi yang tidak jelas sumbernya tersebut bisa berakibat pada fitnah dan sejenisnya.
Oleh karena itu, tantangan bagi jurnalis alias kuli warta ini adalah bagaimana bisa memperjelas sumber yang spesifik atas informasi tersebut. Investigasi reporting menjadi metode penting dalam mengejar informasi tersebut hingga ketemu ujung pangkalnya. Jika diketahui bahwa informasi tersebut ternyata tidak benar keberadaannya, harus secara jujur dikatakan tidak ditemukan. Inilah etika yang saya pahami.
Reportase Investigasi tentu saja mempunyai alat ukur yang jelas. Fakta adalah hal yang utama. Untuk menunjukkan bahwa fakta itu benar-benar ada ukurannya jelas: "dapat dilihat" dan/atau "dapat didengar". Jika tidak ada unsur tersebut, bisa dikatakan sebagai Fiktif alias Hoax. Lalu apakah setiap apa yang bisa dilihat dan/atau didengar itu merupakan sesuatu yang benar? Apakah yang hoax atau fiktif tersebut bisa dimasukkan dalam kategori berita?
Di sinilah tantangan jurnalistik, yang diatur dengan kode etik, menyajikan informasi faktual yang dia peroleh. Di sini juga tampak bahwa media yang menyiarkan (seluruh bagian: wartawan, editor, redaktur) tersebut bertanggung jawab atas apa yang disiarkan kepada publik.
Saya kira, media massa yang tidak bisa mengungkap fakta informasi yang benar adalah media pemalas yang hanya menyebarkan gosip-gosip. Seperti ibu-ibu digardu, yang terus memproduksi gosip-gosip sebagai hiburan santai mereka. Padahal media massa selalu memiliki dampak luas, dibanding gosip-gosip para ibu. Media massa mencari uang dengan informasi tersebut, sedang ibu-ibu ikhlas tidak memungut uang.
Jika media massa hanya memproduksi gosip, mestinya malu, disebut hanya menjalankan "jurnalisme gosip". Bagi saya, "jurnalisme gosip" adalah jurnalisme pemalas. Media pemalas. Bodoh. Miskin. Dan sebaiknya enyah.. Kalau pingin tetap menyampaikan informasi tersebut, pakailah media yang tidak secara formal mengaku sebagai pers. Cukup media persetan.
Saya jadi teringat kepada pendapat (alm) Budiman S. Hartoyo, wartawan senior ketika mengisi pelatihan jurnalistik. Menurutnya, "Konon" dan konco-konco itu bukan ciri jurnalisme karena tidak memenuhi unsur akurat. Penggunaan term tersebut menunjukkan informasi tersebut yang tidak jelas juntrung asal-usulnya. Dampak dari informasi yang tidak jelas sumbernya tersebut bisa berakibat pada fitnah dan sejenisnya.
Oleh karena itu, tantangan bagi jurnalis alias kuli warta ini adalah bagaimana bisa memperjelas sumber yang spesifik atas informasi tersebut. Investigasi reporting menjadi metode penting dalam mengejar informasi tersebut hingga ketemu ujung pangkalnya. Jika diketahui bahwa informasi tersebut ternyata tidak benar keberadaannya, harus secara jujur dikatakan tidak ditemukan. Inilah etika yang saya pahami.
Reportase Investigasi tentu saja mempunyai alat ukur yang jelas. Fakta adalah hal yang utama. Untuk menunjukkan bahwa fakta itu benar-benar ada ukurannya jelas: "dapat dilihat" dan/atau "dapat didengar". Jika tidak ada unsur tersebut, bisa dikatakan sebagai Fiktif alias Hoax. Lalu apakah setiap apa yang bisa dilihat dan/atau didengar itu merupakan sesuatu yang benar? Apakah yang hoax atau fiktif tersebut bisa dimasukkan dalam kategori berita?
Di sinilah tantangan jurnalistik, yang diatur dengan kode etik, menyajikan informasi faktual yang dia peroleh. Di sini juga tampak bahwa media yang menyiarkan (seluruh bagian: wartawan, editor, redaktur) tersebut bertanggung jawab atas apa yang disiarkan kepada publik.
Saya kira, media massa yang tidak bisa mengungkap fakta informasi yang benar adalah media pemalas yang hanya menyebarkan gosip-gosip. Seperti ibu-ibu digardu, yang terus memproduksi gosip-gosip sebagai hiburan santai mereka. Padahal media massa selalu memiliki dampak luas, dibanding gosip-gosip para ibu. Media massa mencari uang dengan informasi tersebut, sedang ibu-ibu ikhlas tidak memungut uang.
Jika media massa hanya memproduksi gosip, mestinya malu, disebut hanya menjalankan "jurnalisme gosip". Bagi saya, "jurnalisme gosip" adalah jurnalisme pemalas. Media pemalas. Bodoh. Miskin. Dan sebaiknya enyah.. Kalau pingin tetap menyampaikan informasi tersebut, pakailah media yang tidak secara formal mengaku sebagai pers. Cukup media persetan.
Post a Comment