Makanan Bukan Sekadar Urusan Perut
Saya baru saja menyadari bahwa makanan merupakan sumber masalah sangat-sangat serius di dunia ini. Dari urusan makanan inilah orang bunuh-bunuhan, bahkan menjajah negeri lain. Makanan menjadi obyek bisnis yang luar biasa.
Sejarah penjajahan di Indonesia, urusannya juga makanan. Para pedagang Eropa berbondong-bondong datang ke Ternate, Jawa, Sumatra, dan sebagainya demi makanan. Mereka berperang saling bertarung untuk menguasai komoditas-komoditas bahan makanan di negeri yang subur ini.
Tahun 1767, Jawa telah memasok sebanyak 14.000 ton beras untuk kebutuhan pangan di Batavia, Ceylon, dan Banda. Tahun 1768 Batavia dan sekitarnya mampu menghasilkan 5.897 ton dan menjual kopi sejumlah 2.025 ton kepada VOC. Itu baru di Jawa. Belum lagi di daerah-daerah lainnya, dengan komoditas lebih bervariasi lagi.
Kini, urusan makanan ini tampaknya lebih gila lagi. Bagaimana bisnis-bisnis makanan itu merajalela di sini. Makanan anak-anak membanjiri warung-warung di pelosok kampung. Rak-rak di swalayan, mulai dari yang imut-imut hingga raksasa seperti Giant, Hypermart, dan seterusnya, penuh dengan makanan. Lalu siapa yang memproduksi itu semua?
Selain itu, ada jenis makanan yang menyehatkan dan makanan yang menyakitkan. Konon, makin ke sini, sekarang, makanan cenderung merusak kesehatan masyarakat. Akibat makanan, orang-orang ternjangkit penyakit hipertensi, kanker, dan sebagainya.
Malah sekarang ada kecenderungan makin orang lebih memilih makan dari makanan-makanan instan. Sementara lingkungannya makin habis. Masih beruntunglah orang-orang yang makan dari lingkungannya sendiri. Kemungkinan lebih menyehatkan.
Makanan ternyata bukan sekadar urusan perut. Tapi juga urusan kantong. Urusan nyawa. Urusan negara. Urusan pasar. Urusan lahan. Urusan perang. Urusan rumah sakit. Urusan politik. Urusan agama. Dan juga urusan kebudayaan.
Sejarah penjajahan di Indonesia, urusannya juga makanan. Para pedagang Eropa berbondong-bondong datang ke Ternate, Jawa, Sumatra, dan sebagainya demi makanan. Mereka berperang saling bertarung untuk menguasai komoditas-komoditas bahan makanan di negeri yang subur ini.
Tahun 1767, Jawa telah memasok sebanyak 14.000 ton beras untuk kebutuhan pangan di Batavia, Ceylon, dan Banda. Tahun 1768 Batavia dan sekitarnya mampu menghasilkan 5.897 ton dan menjual kopi sejumlah 2.025 ton kepada VOC. Itu baru di Jawa. Belum lagi di daerah-daerah lainnya, dengan komoditas lebih bervariasi lagi.
Kini, urusan makanan ini tampaknya lebih gila lagi. Bagaimana bisnis-bisnis makanan itu merajalela di sini. Makanan anak-anak membanjiri warung-warung di pelosok kampung. Rak-rak di swalayan, mulai dari yang imut-imut hingga raksasa seperti Giant, Hypermart, dan seterusnya, penuh dengan makanan. Lalu siapa yang memproduksi itu semua?
Selain itu, ada jenis makanan yang menyehatkan dan makanan yang menyakitkan. Konon, makin ke sini, sekarang, makanan cenderung merusak kesehatan masyarakat. Akibat makanan, orang-orang ternjangkit penyakit hipertensi, kanker, dan sebagainya.
Malah sekarang ada kecenderungan makin orang lebih memilih makan dari makanan-makanan instan. Sementara lingkungannya makin habis. Masih beruntunglah orang-orang yang makan dari lingkungannya sendiri. Kemungkinan lebih menyehatkan.
Makanan ternyata bukan sekadar urusan perut. Tapi juga urusan kantong. Urusan nyawa. Urusan negara. Urusan pasar. Urusan lahan. Urusan perang. Urusan rumah sakit. Urusan politik. Urusan agama. Dan juga urusan kebudayaan.
Post a Comment