Tetap Saja Jumat itu Terasa Libur
Di kampung kelahiran saya, hari Jumat adalah hari libur. Karena sejak kecil sudah terekam kuat bahwa hari Jumat adalah hari libur, hingga kini, saya masih menganggapnya libur. Sulit rasanya menganggap sebaliknya. Dan jadwal acara libur biasanya, joging, kerjabakti, dan acara ekstra kurikuler.
Ketika pindah hidup di Semarang, tetap saja suasana batin saya menganggap hari Jumat itu libur. Walaupun pagi hari tetap setoran kepada Abuya, tetapi sangat jarang. Abuya Abdullah Umar sering meliburkannya. Namun siang hari, setelah Jumatan, ada acara tadarus, sebagai acara ekstra kurikuler.
Ketika awal-awal pindah ke Jakarta, suasana hari Jumat tetap sama, libur. Namun ada acara ekstra kurikuler juga. Bedanya, saya hanya awal-awal saja mengikuti acara ekstra kurikuler tersebut. Lama-lama ada sistem yang memaksa mengubah suasana hari Jumat sebagai hari libur. Dengan berat hati saya menjadikan Jumat sebagai hari aktif.
Ketika Jumat saya paksa menjadikan Jumat sebagai hari aktif, tetap saja terasa janggal. Jumlah jam di hari ini terasa jauh lebih pendek. Pukul 10 atau 11 rasanya harus sudah menghentikan aktivitas. Jika dipaksa, bisa-bisa tidak ikut Jumatan, karena kebablasan.
Sejak kecil, Emak menyediakan makanan khusus untuk dimakan setelah jumatan: yang paling sering berupa kolak. Mungkin karena kebiasaan itu, habis jumatan saya makan.
Yang agak mengherankan, bagi saya, cuaca pada hari Jumat terasa lebih sering panas daripada mendung, apalagi hujan. Tidak seperti hari-hari lain. Karena itu, saya jarang sekali membawa payung waktu jumatan. Apakah Tuhan memang menyediakan hari Jumat sebagai hari jarang hujan?
Yang jelas, dalam saya sering diajarkan bahwa hari Jumat atau sayyidul ayyam alias tuan dari berbagai hari. Hari Jumat merupakan hari dengan penuh doa, hari untuk beribadah, dan hari penuh pahala. Malam harinya, habis Maghrib, Emak selalu menyuruh saya dan saudara-saudara membaca Surat Yasin, Surat Kahfi, Surat Sajadah, Surat Al-Mulk, dan sebagainya. Tetapi saya lebih memilih hanya baca surat Yasin dan Kahfi. Habis Isya', saya disuruh ikut Dibaan, alias baca shalawat nabi. Dan orang yang meninggal pada hari Jumat, sering dinilai sebagai meninggalnya orang baik.
Dari kebiasaan, waktu, dan ajaran yang saya alami dan pelajari, saya tetap merasakan hari Jumat adalah hari libur.
Ketika pindah hidup di Semarang, tetap saja suasana batin saya menganggap hari Jumat itu libur. Walaupun pagi hari tetap setoran kepada Abuya, tetapi sangat jarang. Abuya Abdullah Umar sering meliburkannya. Namun siang hari, setelah Jumatan, ada acara tadarus, sebagai acara ekstra kurikuler.
Ketika awal-awal pindah ke Jakarta, suasana hari Jumat tetap sama, libur. Namun ada acara ekstra kurikuler juga. Bedanya, saya hanya awal-awal saja mengikuti acara ekstra kurikuler tersebut. Lama-lama ada sistem yang memaksa mengubah suasana hari Jumat sebagai hari libur. Dengan berat hati saya menjadikan Jumat sebagai hari aktif.
Ketika Jumat saya paksa menjadikan Jumat sebagai hari aktif, tetap saja terasa janggal. Jumlah jam di hari ini terasa jauh lebih pendek. Pukul 10 atau 11 rasanya harus sudah menghentikan aktivitas. Jika dipaksa, bisa-bisa tidak ikut Jumatan, karena kebablasan.
Sejak kecil, Emak menyediakan makanan khusus untuk dimakan setelah jumatan: yang paling sering berupa kolak. Mungkin karena kebiasaan itu, habis jumatan saya makan.
Yang agak mengherankan, bagi saya, cuaca pada hari Jumat terasa lebih sering panas daripada mendung, apalagi hujan. Tidak seperti hari-hari lain. Karena itu, saya jarang sekali membawa payung waktu jumatan. Apakah Tuhan memang menyediakan hari Jumat sebagai hari jarang hujan?
Yang jelas, dalam saya sering diajarkan bahwa hari Jumat atau sayyidul ayyam alias tuan dari berbagai hari. Hari Jumat merupakan hari dengan penuh doa, hari untuk beribadah, dan hari penuh pahala. Malam harinya, habis Maghrib, Emak selalu menyuruh saya dan saudara-saudara membaca Surat Yasin, Surat Kahfi, Surat Sajadah, Surat Al-Mulk, dan sebagainya. Tetapi saya lebih memilih hanya baca surat Yasin dan Kahfi. Habis Isya', saya disuruh ikut Dibaan, alias baca shalawat nabi. Dan orang yang meninggal pada hari Jumat, sering dinilai sebagai meninggalnya orang baik.
Dari kebiasaan, waktu, dan ajaran yang saya alami dan pelajari, saya tetap merasakan hari Jumat adalah hari libur.
Koyok nang Arab cak
BalasHapusHehehe
HapusWah, kayaknya lebih menarik deh jikalau ada yang berani mencetuskan kalender baru terus tanggal merahnya diubah hari kamis & jum'at. Biar pas hari kamis bisa ziarah kubur, bersih2 makam, tahlilan, dan aktifitas religi lainnya. Hari jum'at nggak perlu takut dosa karena absen sholat jum'at. Weekend lah yaa. Heuheu..
BalasHapus