Titilis
Fenomena Bank Titil saya kenal sejak belia di kampung kelahiran. Saat main ke rumah saudara, di mejanya banyak terserak potongan kertas kecil-kecil serupa materai. Potongan kertas tersebut merupakan bukti pembayaran cicilan utang pada Bank Titil. Saya tidak mengerti betul bagaimana sistem Bank Titil waktu itu beroperasi. Saya hanya tahu bahwa kerabat saya itu berutang dan membayar secara mencicil. Karena dititili sedikit-demi-sedikit itulah mungkin kenapa disebut titil.
Pemahaman saya tentang Bank Titil terus bertambah. Kenapa Bank Titil memiliki nasabah yang cukup luas? Rupanya cukup lama saya bisa memakluminya, terutama setelah berkeluarga. Sebelumnya, saya lebih memaklumi bahwa membayar utang itu harus sekaligus sesuai dengan jumlah uang yang diutang. Utang Rp 1.000 harus dibayar Rp 1.000 secara langsung. Mungkin karena pemahaman ini, saya memukuli Umar (alm.) saat kelas 3 Ibtidaiyah, yang berutang Rp 15, tetapi tidak kunjung bayar. Umar menangis. Orangtuanya pun datang ke sekolah.
"Leh, gak oleh tukaran, yo..." tegur orangtuanya pada saya. Mungkin dia agak tidak enak kepada saya, karena saya anak Ibu guru.
"Salahe, utang gak dibayar-bayar.." elak saya agak kecewa.
Saya lupa bagaimana perasaan dan pikiran saya waktu itu. Kalau diingat-ingat, lucu juga. Rupanya waktu kecil saya punya nyali juga. hahaha.
Nah, pemahaman tentang Bank Titil juga saya cicil juga. Pada waktu pelajaran tentang Riba, disebut juga istilah Bank Titil. Dikatakan bahwa Bank Titil juga termasuk praktik riba. Sebab dalam praktiknya, konon, orang berutang Rp 1.000 harus bayar hingga Rp 1.500. Uang Rp 500 di sini dikategorikan Riba.
Di sinilah saya sedikit memahami ketika Gus Dur mengusung Bank Perkreditan Rakyat mendapat perlawanan dari beberapa ulama. Sebab bukan hanya urusan "kredit" yang masalah, tetapi juga pada konsep "Bank"nya yang sarat dengan praktik Riba.
Yang menarik dari praktik Bank Titil, bagi saya adalah para penyalur Bank Titil mendatangi para nasabah. Nasabah mendapat pelayanan tanpa harus jalan ke tempat yang jauh dari rumahnya. Mereka cukup tinggal di rumah, para penagih datang ke rumahnya.
Suatu kali saya dipanggil Kiai saya, Abdullah Umar ke kediamannya. Setiba di sana, ada Ibu penjual makanan dekat pesantren saya. Rupanya Ibu itu sedang ribut dengan penagih dari Bank Titil. Gara-garanya, Ibu itu merasa sudah membayar cicilan, tetapi si penagih merasa tidak menerima. Mereka saling mencocokkan catatannya. Ribut punya ribut, Abuya Abdullah Umar menanyakan kekurangannya. Beliau masuk kamar dan melunasinya.
"Sekarang sudah saya bayar. Lain kali kalau utang harus dicatat dengan teliti. Dicocokkan dengan catatan yang diutangi/pengutang. Jangan sampai beda..." ujar Abuya.
Di kalangan pedagang kecil, kredit pada Bank Titil tampaknya hal yang biasa. Kasus lain saya temui di warung kopi Lina di terminal Lebak Bulus. Konon mereka sampai ribut dengan para awak angkot yang membela Lina.
Begitulah. Kesan saya terhadap Bank Titil itu menyengsarakan orang kecil. Untuk mendapatkan uang tidak terlalu banyak, resiko yang mereka hadapi cukup besar. Saya belum tahu apakah Program Kredit untuk Rakyat itu bisa berjalan dengan baik? Yang menarik lagi, banyak kredit macet di mana-mana. Jadi model kredit yang bagaimana yang cocok untuk orang Indonesia?
Saya kira, agunan kredit yang perlu dikembangkan adalah berupa jasa atau tenaga, bukan hanya barang. Misal, saya punya kemampuan menjahit, maka saya bisa utang Rp 10.000. Saya tidak perlu mencicil uang untuk membayarnya.
Pemahaman saya tentang Bank Titil terus bertambah. Kenapa Bank Titil memiliki nasabah yang cukup luas? Rupanya cukup lama saya bisa memakluminya, terutama setelah berkeluarga. Sebelumnya, saya lebih memaklumi bahwa membayar utang itu harus sekaligus sesuai dengan jumlah uang yang diutang. Utang Rp 1.000 harus dibayar Rp 1.000 secara langsung. Mungkin karena pemahaman ini, saya memukuli Umar (alm.) saat kelas 3 Ibtidaiyah, yang berutang Rp 15, tetapi tidak kunjung bayar. Umar menangis. Orangtuanya pun datang ke sekolah.
"Leh, gak oleh tukaran, yo..." tegur orangtuanya pada saya. Mungkin dia agak tidak enak kepada saya, karena saya anak Ibu guru.
"Salahe, utang gak dibayar-bayar.." elak saya agak kecewa.
Saya lupa bagaimana perasaan dan pikiran saya waktu itu. Kalau diingat-ingat, lucu juga. Rupanya waktu kecil saya punya nyali juga. hahaha.
Nah, pemahaman tentang Bank Titil juga saya cicil juga. Pada waktu pelajaran tentang Riba, disebut juga istilah Bank Titil. Dikatakan bahwa Bank Titil juga termasuk praktik riba. Sebab dalam praktiknya, konon, orang berutang Rp 1.000 harus bayar hingga Rp 1.500. Uang Rp 500 di sini dikategorikan Riba.
Di sinilah saya sedikit memahami ketika Gus Dur mengusung Bank Perkreditan Rakyat mendapat perlawanan dari beberapa ulama. Sebab bukan hanya urusan "kredit" yang masalah, tetapi juga pada konsep "Bank"nya yang sarat dengan praktik Riba.
Yang menarik dari praktik Bank Titil, bagi saya adalah para penyalur Bank Titil mendatangi para nasabah. Nasabah mendapat pelayanan tanpa harus jalan ke tempat yang jauh dari rumahnya. Mereka cukup tinggal di rumah, para penagih datang ke rumahnya.
Suatu kali saya dipanggil Kiai saya, Abdullah Umar ke kediamannya. Setiba di sana, ada Ibu penjual makanan dekat pesantren saya. Rupanya Ibu itu sedang ribut dengan penagih dari Bank Titil. Gara-garanya, Ibu itu merasa sudah membayar cicilan, tetapi si penagih merasa tidak menerima. Mereka saling mencocokkan catatannya. Ribut punya ribut, Abuya Abdullah Umar menanyakan kekurangannya. Beliau masuk kamar dan melunasinya.
"Sekarang sudah saya bayar. Lain kali kalau utang harus dicatat dengan teliti. Dicocokkan dengan catatan yang diutangi/pengutang. Jangan sampai beda..." ujar Abuya.
Di kalangan pedagang kecil, kredit pada Bank Titil tampaknya hal yang biasa. Kasus lain saya temui di warung kopi Lina di terminal Lebak Bulus. Konon mereka sampai ribut dengan para awak angkot yang membela Lina.
Begitulah. Kesan saya terhadap Bank Titil itu menyengsarakan orang kecil. Untuk mendapatkan uang tidak terlalu banyak, resiko yang mereka hadapi cukup besar. Saya belum tahu apakah Program Kredit untuk Rakyat itu bisa berjalan dengan baik? Yang menarik lagi, banyak kredit macet di mana-mana. Jadi model kredit yang bagaimana yang cocok untuk orang Indonesia?
Saya kira, agunan kredit yang perlu dikembangkan adalah berupa jasa atau tenaga, bukan hanya barang. Misal, saya punya kemampuan menjahit, maka saya bisa utang Rp 10.000. Saya tidak perlu mencicil uang untuk membayarnya.
BalasHapusHalo,
Kami menerima email Anda dan kami ingin menyatakan bahwa konten tercatat dengan baik dan dipahami, karena transaksi ini adalah 100% sah dan menjamin sehingga merasa bebas dan bertransaksi bisnis dengan kami karena kami adalah perlindungan keuangan dan rumah kekuatan untuk semua individu yang membutuhkan pembiayaan yang memadai untuk membantu memecahkan kebutuhan keuangan mereka dan mengurangi stres mereka.
Kami memberikan jumlah pinjaman mulai dari 1.000 - 50,000.000.00 dengan tingkat bunga tetap sebesar 3% secara tahunan. Layanan kami diberikan kepada semua lokasi meskipun lokasi untuk individu yang serius, badan perusahaan dan organisasi yang membutuhkan jujur dari loan.Kindly mengakui penerimaan email ini yang memerlukan peminjam Anda "s informasi yang sehingga kita dapat memulai pengolahan pinjaman Anda sehingga kami akan menghargai tanggapan Anda ke email kami ditambah dengan peminjam pribadi Anda "s informasi yang demikian dinyatakan di bawah untuk penyajian: ferdinandleofinance@gmail.com