Karena Bukan Karakter Petani
Memang dalam KTP almarhum Bapak saya tertulis pekerjaan petani. Namun saya tidak merasakan sebagai putra anak petani. Beberapa kali memang saya diajak ke sawah, dibonceng sepeda ontel. Hanya beberapa kali saya bermain-main di sawah, membersihkan rumput setelah sawah kebanjiran, menunggu sawah untuk mengusir burung, dan menyaksikan panen. Hal ini karena Bapak saya lebih konsen menjalani tugasnya sebagai guru.
Sekitar saya berusia enam tahun, Bapak sudah meninggalkan kami semua di usia ke-48 tahun. Pengelolaan sawah diserahkan kepada orang dengan sistem sewa. Selain memiliki sawah, keluarga saya waktu itu juga memiliki tambak ikan. Nah tambak ikan itu kemudian dikelola oleh Cacak saya yang kedua. Sejak itu, hampir saya tidak pernah tahu kondisi sawah keluarga saya. Saya lebih sering bermain ke tambak.
Dari kelima orang bersaudara yang laki-laki, termasuk saya, ternyata hanya Cacak kedua yang masih menyentuh sawah secara langsung. Meski demikian, walaupun tidak mengelola sendiri, saya, Cacak pertama, dan Cacak ketiga masih mempunyai sawah sendiri. Kami memang tidak punya pengalaman mengurusi sawah secara langsung. Tiga saudara laki-laki saya tampaknya mengikuti jejak Bapak saya, lebih banyak bergelut di bidang pendidikan.
Dari gambaran di atas, saya hanya mengilustrasikan betapa penyusutan jumlah petani terus terjadi. Masih mending jika lahan sawahnya belum berubah bentuk menjadi kompleks perumahan atau pabrik. Berdasarkan hasil sensus penduduk 2010, dari 107,41 juta orang yang bekerja, paling banyak bekerja di sektor pertanian yaitu 42,83 juta orang (39,88 persen), disusul sektor perdagangan sebesar 22,21 juta orang (20,68 persen), dan sektor jasa kemasyarakatan sebesar 15,62 juta orang (14,54 persen). Bagaimana dengan kondisi 5 tahun kemudian dan seterusnya?
Seorang peneliti pertanian bercerita kepada saya bahwa produksi padi di Indonesia hingga saat ini tidak menunjukkan tren naik sama sekali, sebaliknya cenderung turun. Di sisi lain, penggunaan pestisida dalam pertanian mengalami lonjakan kenaikan yang sangat tajam. Lalu apa tindakan negara menghadapi persoalan ini?
Beberapa rencana program yang pernah saya dengar adalah penambahan lahan pertanian, membuat irigasi, pemberian alat-alat berat pertanian kepada petani, dan sebagainya. Mendengar Program-program tersebut saya membayangkan akan banyak petani miskin, buruh tani, dan orang-orang miskin yang mau bertani, tapi tidak memiliki lahan (yang cukup). Saya juga memimpikan para petani akan kaya, seperti petani di Jerman, Australia, Amerika, dan lain-lain yang tanahnya berhektar-hektar per petani. Saya tidak tahu apakah bayangan saya itu tidak terganggu oleh kerakusan tuan-tuan tanah dan kelemahan orang-orang miskin, serta cara berpikir praktis, sehingga lahan pertanian yang dibagikan kepada orang-orang miskin akhirnya tetap dikuasai tuan tanah juga.
Ketika saya teringat ada kampus-kampus yang punya jurusan pertanian, tentu terbayang kita memiliki pertanian yang canggih, menghasilkan varietas padi-padi hebat, dan sebagainya. Bahkan seorang presiden dengan gagahnya menyelesaikan kuliah doktornya di kampus itu saat akan menjadi presiden, terlepas model teoritiknya konon tidak reliable. Sayangnya, ada anak petani yang alumni kampus tersebut, begitu pulang kampung lebih memilih jadi PNS Dinas Pertanian daripada mengembangkan pertanian di kampungnya. Ada juga seorang teman dari kampus itu bilang secara kelakar, hampir semua profesi digeluti oleh teman-temannya dari kampus pertanian, terutama perbankan, kecuali urusan pertanian. Meski itu hanya guyonan, tetapi juga bisa dilihat dari kinerja SBY di bidang pertanian sepanjang 2 periode. Apa peningkatan yang dihasilkan? Ternyata peningkatannya pada impor bahan makanan dan impor berbagai pendukung pertanian, bukan peningkatan hasil pertanian itu sendiri.
Seorang teman, dengan menyebut nama James Scott, mengatakan bahwa sebenarnya karakter kebanyak orang Indonesia bukanlah petani (farmer), tetapi peisan (peasant). Jika petani adalah orang yang bercocok tanam bukan sekadar untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, tetapi juga sebagai bisnis, namun yang namanya peisan hanyalah petani gurem atau buruh tani yang bertani untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Karena itu, problem pertanian bukan semata persoalan kecukupan lahan atau alat-alat canggih semata, tetapi juga cara berpikir dan gaya hidupnya.
Mungkinkah pertanian akan maju pada masa kepemimpinan presiden baru ini? Tampaknya mimpi itu masih sangat panjang. Kalau pun periode ini mau bangun waduk-waduk dan penambahan lahan pertanian, teman saya bertanya, lahan mana yang akan dipakai? Dan siapa yang mau mengerjakan? Kalau yang ditawarkan adalah pekerjaan "buruh tani", ini mungkin akan lebih menarik bagi masyarakat daripada menjadi mereka didorong untuk menjadi "petani".
Sekitar saya berusia enam tahun, Bapak sudah meninggalkan kami semua di usia ke-48 tahun. Pengelolaan sawah diserahkan kepada orang dengan sistem sewa. Selain memiliki sawah, keluarga saya waktu itu juga memiliki tambak ikan. Nah tambak ikan itu kemudian dikelola oleh Cacak saya yang kedua. Sejak itu, hampir saya tidak pernah tahu kondisi sawah keluarga saya. Saya lebih sering bermain ke tambak.
Dari kelima orang bersaudara yang laki-laki, termasuk saya, ternyata hanya Cacak kedua yang masih menyentuh sawah secara langsung. Meski demikian, walaupun tidak mengelola sendiri, saya, Cacak pertama, dan Cacak ketiga masih mempunyai sawah sendiri. Kami memang tidak punya pengalaman mengurusi sawah secara langsung. Tiga saudara laki-laki saya tampaknya mengikuti jejak Bapak saya, lebih banyak bergelut di bidang pendidikan.
Dari gambaran di atas, saya hanya mengilustrasikan betapa penyusutan jumlah petani terus terjadi. Masih mending jika lahan sawahnya belum berubah bentuk menjadi kompleks perumahan atau pabrik. Berdasarkan hasil sensus penduduk 2010, dari 107,41 juta orang yang bekerja, paling banyak bekerja di sektor pertanian yaitu 42,83 juta orang (39,88 persen), disusul sektor perdagangan sebesar 22,21 juta orang (20,68 persen), dan sektor jasa kemasyarakatan sebesar 15,62 juta orang (14,54 persen). Bagaimana dengan kondisi 5 tahun kemudian dan seterusnya?
Seorang peneliti pertanian bercerita kepada saya bahwa produksi padi di Indonesia hingga saat ini tidak menunjukkan tren naik sama sekali, sebaliknya cenderung turun. Di sisi lain, penggunaan pestisida dalam pertanian mengalami lonjakan kenaikan yang sangat tajam. Lalu apa tindakan negara menghadapi persoalan ini?
Beberapa rencana program yang pernah saya dengar adalah penambahan lahan pertanian, membuat irigasi, pemberian alat-alat berat pertanian kepada petani, dan sebagainya. Mendengar Program-program tersebut saya membayangkan akan banyak petani miskin, buruh tani, dan orang-orang miskin yang mau bertani, tapi tidak memiliki lahan (yang cukup). Saya juga memimpikan para petani akan kaya, seperti petani di Jerman, Australia, Amerika, dan lain-lain yang tanahnya berhektar-hektar per petani. Saya tidak tahu apakah bayangan saya itu tidak terganggu oleh kerakusan tuan-tuan tanah dan kelemahan orang-orang miskin, serta cara berpikir praktis, sehingga lahan pertanian yang dibagikan kepada orang-orang miskin akhirnya tetap dikuasai tuan tanah juga.
Ketika saya teringat ada kampus-kampus yang punya jurusan pertanian, tentu terbayang kita memiliki pertanian yang canggih, menghasilkan varietas padi-padi hebat, dan sebagainya. Bahkan seorang presiden dengan gagahnya menyelesaikan kuliah doktornya di kampus itu saat akan menjadi presiden, terlepas model teoritiknya konon tidak reliable. Sayangnya, ada anak petani yang alumni kampus tersebut, begitu pulang kampung lebih memilih jadi PNS Dinas Pertanian daripada mengembangkan pertanian di kampungnya. Ada juga seorang teman dari kampus itu bilang secara kelakar, hampir semua profesi digeluti oleh teman-temannya dari kampus pertanian, terutama perbankan, kecuali urusan pertanian. Meski itu hanya guyonan, tetapi juga bisa dilihat dari kinerja SBY di bidang pertanian sepanjang 2 periode. Apa peningkatan yang dihasilkan? Ternyata peningkatannya pada impor bahan makanan dan impor berbagai pendukung pertanian, bukan peningkatan hasil pertanian itu sendiri.
Seorang teman, dengan menyebut nama James Scott, mengatakan bahwa sebenarnya karakter kebanyak orang Indonesia bukanlah petani (farmer), tetapi peisan (peasant). Jika petani adalah orang yang bercocok tanam bukan sekadar untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, tetapi juga sebagai bisnis, namun yang namanya peisan hanyalah petani gurem atau buruh tani yang bertani untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Karena itu, problem pertanian bukan semata persoalan kecukupan lahan atau alat-alat canggih semata, tetapi juga cara berpikir dan gaya hidupnya.
Mungkinkah pertanian akan maju pada masa kepemimpinan presiden baru ini? Tampaknya mimpi itu masih sangat panjang. Kalau pun periode ini mau bangun waduk-waduk dan penambahan lahan pertanian, teman saya bertanya, lahan mana yang akan dipakai? Dan siapa yang mau mengerjakan? Kalau yang ditawarkan adalah pekerjaan "buruh tani", ini mungkin akan lebih menarik bagi masyarakat daripada menjadi mereka didorong untuk menjadi "petani".
Post a Comment