Mengakrabi Masalah, Menjauhkan Amarah
Sejak kecil saya dibiasakan ikut pengajian atau ceramah agama, yang hampir setiap saat diselenggarakan, baik oleh masjid, langgar, sekolah, maupun perorangan. Musim peringatan hari besar Islam, hampir selalu menghadirkan penceramah dari kampung luar.
Kadang emak memergoki saya tidak hadir acara tersebut. Emak tentu menegur, "jauh-jauh didatangkan kiai, kok gak datang." begitu kira-kira teguran emak suatu saat. Memang, saya kadang bosan mendengar ceramah agama, yang materinya hampir sudah pernah saya simak. Intinya, kita diajak berbuat baik, untuk diri sendiri dan orang lain, serta tidak boleh menyakiti diri dan orang lain. Dan tentu kita diajak hidup di dunia dan di akhirat secara baik. Dikemas apapun, diisi apapun, intinya itu. Kadang saya melihat, tidak ada persoalan lain sepenting itu di dunia ini.
Begitulah saat anak-anak hingga remaja saya melihat lingkungan di kampung halaman. Mungkin karena kampung halamanku sangat kental kesantriannya dan makmur saat itu. Saking makmurnya, banyak temannya teman-teman saya yang berkunjung ke kampung halaman saya terheran-heran. Ya, mereka heran melihat warga kampung tampak santai di rumah sejak pagi hingga malam hari.
Temannya teman-teman saya membandingkan dengan kampung halamannya masing-masing yang sepi, tidak ada warga nongkrong, atau leye-leye di rumah, khususnya laki-laki. Seperti kampung pengangguran saja desa saya waktu itu. Jika dibandingkan waktu santai dengan waktu kerjanya, selisihnya sangat jauh, lebih banyak santai. Meski demikian, mereka tidak tampak miskin atau kurang sejahtera. Bahkan setiap tahun jemaah haji selalu ada. Banyak pula. Tidak tahu sekarang seperti apa.
Orang luar yang tidak tahu cara kerja warga desa kampung halaman saya, memang wajar heran. Mungkin karena saking banyaknya waktu santai atau luang, kegiatan yang berorientasi keagamaan lebih banyak. Mulai dari tahlil setiap habis magrib malam jumat, dilanjutkan Dibaan, hadrah, manaqib, selamatan, istighatsa, khatmil Qur'an hingga ceramah agama. Hampir terjadi setiap hari.
Berbeda ketika saya di kota. Orang-orang sibuk bekerja, dari matahari belum terbit, hingga larut malam. Alih-alih ikut tahlil malam jumat atau manaqib, shalat lima waktu saja harus ditinggalkan. Wajar saja temannya teman-teman saya heran. Jadinya, warga desa saya menilai aktivitas keagamaan adalah hal sehari-hari. Sementara orang kota atau daerah-daerah lain melihat aktivitas keagamaan adalah kehidupan yang tersendiri. Agama ditempatkan di ruang-ruang khusus, suci, seperti masjid, mushalla, dan ketika ada kematian.
Jika pakaian masyarakat desa kami sehari-hari adalah sarung dan peci, sehingga cepat lusuh, orang lain memakai sarung dan peci hanya seminggu sekali atau setahun dua kali. Sedangkan sarung dan peci selalu diidentikkan sebagai pakaian untuk aktivitas keagamaan. Tidak mengherankan, bagi orang yang tidak akrab dengan aktivitas keagamaan mereka suka kagetan, mudah terprovokasi atasnama agama.
Sebagaimana mereka sangat sayang terhadap sarung dan pecinya, jangan sampai cepat lusuh, urusan keagamaannya juga disimpan dalam lemari jangan sampai mudah terkotori. Ketika sarung dan peci mereka kotor akibat permainan anak-anaknya, mereka cepat marah sebagaimana mereka segera marah ketika simbol-simbol keagamaan mereka tercemari.
Begitu juga orang-orang yang sedang kasmaran dengan isu-isu toleransi, pluralisme, keadilan, feminisme, dan sebagainya yang baru dikenalnya. Mereka sangat mudah tersinggung, mudah marah, dan darah tinggi. Coba saja cek apakah mereka yang mudah marah-marah itu sangat akrab dengan kehidupannya? Yang jelas, orang pemarah adalah penakut. Mereka tidak terbiasa bergumul dengan masalah itu secara akrab. Mereka cenderung melihat maslah dari jauh, dari teori-teori yang mereka baca di buku atau dengar dari ceramah.
Bagi orang yang sangat akrab dengan masalah, mereka menghadapinya dengan tenang, senyum-senyum, ketawa-ketawa, ledek-ledekan, dan kesantaian yang lain. Karena mereka tahu sumber masalahnya di mana, dan bagaimana cara menyelesaikannya. Tidak perlu mereka memperumit masalah yang dihadapi.
Kadang emak memergoki saya tidak hadir acara tersebut. Emak tentu menegur, "jauh-jauh didatangkan kiai, kok gak datang." begitu kira-kira teguran emak suatu saat. Memang, saya kadang bosan mendengar ceramah agama, yang materinya hampir sudah pernah saya simak. Intinya, kita diajak berbuat baik, untuk diri sendiri dan orang lain, serta tidak boleh menyakiti diri dan orang lain. Dan tentu kita diajak hidup di dunia dan di akhirat secara baik. Dikemas apapun, diisi apapun, intinya itu. Kadang saya melihat, tidak ada persoalan lain sepenting itu di dunia ini.
Begitulah saat anak-anak hingga remaja saya melihat lingkungan di kampung halaman. Mungkin karena kampung halamanku sangat kental kesantriannya dan makmur saat itu. Saking makmurnya, banyak temannya teman-teman saya yang berkunjung ke kampung halaman saya terheran-heran. Ya, mereka heran melihat warga kampung tampak santai di rumah sejak pagi hingga malam hari.
Temannya teman-teman saya membandingkan dengan kampung halamannya masing-masing yang sepi, tidak ada warga nongkrong, atau leye-leye di rumah, khususnya laki-laki. Seperti kampung pengangguran saja desa saya waktu itu. Jika dibandingkan waktu santai dengan waktu kerjanya, selisihnya sangat jauh, lebih banyak santai. Meski demikian, mereka tidak tampak miskin atau kurang sejahtera. Bahkan setiap tahun jemaah haji selalu ada. Banyak pula. Tidak tahu sekarang seperti apa.
Orang luar yang tidak tahu cara kerja warga desa kampung halaman saya, memang wajar heran. Mungkin karena saking banyaknya waktu santai atau luang, kegiatan yang berorientasi keagamaan lebih banyak. Mulai dari tahlil setiap habis magrib malam jumat, dilanjutkan Dibaan, hadrah, manaqib, selamatan, istighatsa, khatmil Qur'an hingga ceramah agama. Hampir terjadi setiap hari.
Berbeda ketika saya di kota. Orang-orang sibuk bekerja, dari matahari belum terbit, hingga larut malam. Alih-alih ikut tahlil malam jumat atau manaqib, shalat lima waktu saja harus ditinggalkan. Wajar saja temannya teman-teman saya heran. Jadinya, warga desa saya menilai aktivitas keagamaan adalah hal sehari-hari. Sementara orang kota atau daerah-daerah lain melihat aktivitas keagamaan adalah kehidupan yang tersendiri. Agama ditempatkan di ruang-ruang khusus, suci, seperti masjid, mushalla, dan ketika ada kematian.
Jika pakaian masyarakat desa kami sehari-hari adalah sarung dan peci, sehingga cepat lusuh, orang lain memakai sarung dan peci hanya seminggu sekali atau setahun dua kali. Sedangkan sarung dan peci selalu diidentikkan sebagai pakaian untuk aktivitas keagamaan. Tidak mengherankan, bagi orang yang tidak akrab dengan aktivitas keagamaan mereka suka kagetan, mudah terprovokasi atasnama agama.
Sebagaimana mereka sangat sayang terhadap sarung dan pecinya, jangan sampai cepat lusuh, urusan keagamaannya juga disimpan dalam lemari jangan sampai mudah terkotori. Ketika sarung dan peci mereka kotor akibat permainan anak-anaknya, mereka cepat marah sebagaimana mereka segera marah ketika simbol-simbol keagamaan mereka tercemari.
Begitu juga orang-orang yang sedang kasmaran dengan isu-isu toleransi, pluralisme, keadilan, feminisme, dan sebagainya yang baru dikenalnya. Mereka sangat mudah tersinggung, mudah marah, dan darah tinggi. Coba saja cek apakah mereka yang mudah marah-marah itu sangat akrab dengan kehidupannya? Yang jelas, orang pemarah adalah penakut. Mereka tidak terbiasa bergumul dengan masalah itu secara akrab. Mereka cenderung melihat maslah dari jauh, dari teori-teori yang mereka baca di buku atau dengar dari ceramah.
Bagi orang yang sangat akrab dengan masalah, mereka menghadapinya dengan tenang, senyum-senyum, ketawa-ketawa, ledek-ledekan, dan kesantaian yang lain. Karena mereka tahu sumber masalahnya di mana, dan bagaimana cara menyelesaikannya. Tidak perlu mereka memperumit masalah yang dihadapi.
Post a Comment