Mengenang Emak (2)
Sabtu menjelang siang, 10 April 2010, matahari sedang bebas-bebasnya memelototi kota Jakarta, hingga keringat membasahi kaosku. Hari itu tim redaksi tabloid mengundang untuk rapat pukul 14:00 WIB seperti biasa. Roda motor smash silverku sedang bermasalah.
Sekitar pukul 10-11 aku pamit berangkat meninggalkan istri dan anakku yang masih 9 bulan untuk menghadiri rapat itu, tapi mampir dulu ke bengkel untuk mereparasi roda motor. Motor telah dibongkar. Satu per satu jeruji roda distel dan velgnya dipukul-pukul oleh pegawai bengkel. Tiba-tiba dering telepon tentengku memanggil-panggil aku.
"Cak, kondisi emak, cak..." suara adikku dengan terisak.
Aku segera mencari tempat yang lebih tenang. Suara adikku kurang begitu jelas, tersaingi oleh deru mobil dan motor yang lebih keras. Sedikit masuk ke halaman orang, aku baru bisa mendengar agak jelas. Air mataku meleleh. Adikku mengabarkan kondisi emak sedang kritis. Dia menyuruhku dan meminta kakak ketigaku untuk segera pulang.
Ketak-ketok velg masih berlangsung. Aku menghubungi istri dan kakakku melalui telepon. Tidak lama kemudian nomor telepon adikku kembali berdering. Suara adikku lebih tenang, tetapi kabar yang disampaikan begitu menekan. Emak telah pergi meninggalkan kami semua. "Innalillahi wainna ilaihi rajiun..."
Beberapa hari sebelumnya, saya hanya sempat menelepon. Emak mengabarkan bahwa beliau sudah tinggal di rumah, setelah beberapa hari di rumah pengobatan. Beliau menyampaikan rasa terima kasih atas sumbangan biaya pengobatan yang aku kirimkan, walau sangat tidak seberapa. Beliau juga bilang, "Awakmu wis gak usah pengen moleh. Awakku wis enak..."
Tenang rasanya hati, saat beliau merasa sudah sehat. Sudah lama beliau sakit-sakitan, terutama batuk yang menahun. Berulangkali datang ke balai pengobatan, baik modern maupun tradisional, tetapi batuknya tak kunjung hilang. Entah berapa hari sekali beliau datang ke mantri kesehatan di kampung. Entah berapa ribu butir obat yang telah masuk dalam tubuhnya.
Kami, anak-anaknya, sempat berbahagia sebab akhirnya beliau bisa menunaikan ibadah haji. Walaupun waktu di rumah kurang begitu sehat, tetapi konon di Tanah Suci, beliau sangat bugar menjalankan ibadah. Banyak teman-teman jamaah haji lainnya sangat khawatir, tetapi emak benar-benar nekat, memanfaat waktu untuk beribadah. Saat tiba di Asramah haji Surabaya, emak langsung menangis. Mendoakan kami, anak-anaknya, semoga bisa berangkat haji bersama pasangannya masing-masing.
Emak memang tidak berangkat haji bersama Bapak, yang telah mendahuluinya. Bapak berangkat haji tahun 1974 atas biaya orangtuanya. Bapak berangkat sendirian, tidak bersama emak, naik kapal. Emak tinggal di rumah bersama kelima anaknya.
1981, Bapak pulang ke rahmatullah, meninggalkan 5 putra dan 2 putri. Anak pertama berusia 21 tahun, anak terakhir berusia 3 tahun. Aku sendiri berusia 6 tahun, dan Emak berusia 42 tahun.
Sebagai single parent, Emak mengasuh sendiri ketujuh anaknya. (Cerita lain dikisahkan adikku dalam Mengenang Emak). Aku merasa Emak begitu keras dalam menempah hidupku dan saudara/riku. Hampir tiap hari beliau menegerku untuk mengurus keperluanku sendiri. Aku harus mencuci dan merapikan baju-baju sendiri sejak belia. Aku pun menjadi terbiasa belanja bumbu di warung. Aku juga menjadi akrab dengan dapur.
Dalam hal mengaji, Emak sangat disiplin. Berulangkali aku menangis karena dipaksa mengaji. Telingaku tak jarang kesakitan karena dijewer. Bahkan aku pernah diikat di kaki meja, pernah juga dijeburkan bak mandi, agar mau mengaji.
Ketika aku mengaji, beliau menyimak sambil memasak. Walaupun sambil memasak, beliau bisa mengoreksi bacaanku. Dan koreksi itu kadang bikin aku menangis. "Ngaji kok salah terus..." Gara-gara pernah mengaji sambil menangis, tetanggaku meledek, "Hayo sopo sing mari ngaji karo nangiss.." hehehe.
Peristiwa yang paling bikin aku jengkel adalah ketika aku hendak ikut MTQ anak-anak tingkat kecamatan. Aku sudah berlatih semampuku, diajari kakak pertamaku. Namun tiba pada hari pelaksanaan, tampaknya Emak kurang puas. Kalau tidak salah aku dilarang ikut, takut memalukan. Tentu saja aku menangis sekencang-kencangnya, sebab aku sudah bersiap berangkat. Emak hendak memanggil guru qori' lain agar aku bisa tampil lebih bagus. Tapi waktunya sudah tidak mungkin. Meski demikian, akhirnya aku meraih juara harapan, juara terakhir. Hahaha.
Di saat yang lain, aku membuat Emak dua kali menangis kecewa. Aku membuat ulah di sekolah. Pertama, aku menolak ikut ujian pelajaran sejarah karena aku tidak suka pada gurunya. Bahkan sebenarnya aku tidak pernah masuk kelas sejarah, sejak guru sejarah meremas-remas kertas ujianku karena ketahuan contekan dengan teman dan aku disuruh keluar kelas. Meskipun ternyata waktu itu kertas ujian itu masih dikasih nilai, dan bagus. Tapi saya terlanjur marah, dan bersumpah tak akan masuk sejarah.
Kedua, Emak menangis kecewa karena saya mengembalikan naskah ujian Bahasa Indonesia yang bernilai 90 lebih ke pintu rumah guru Bahasa Indonesia dengan aku tulisi, kalau tidak salah, "Kalau tidak ikhlas kasih nilai, naskah ini saya kembalikan."
Rupanya, kedua kasus itu dibahas dalam rapat guru. Emak adalah salah satu guru yang ikut dalam rapat itu. Tentu emak sangat malu dengan kejadian itu. Sepulang dari rapat, aku dipanggil. Dengan menangis beliau menasihati aku, dan menyuruh aku minta maaf kepada guru tersebut.
Di akhir hayatnya, aku tak sempat melihat wajah tenangnya menghadap ilahi. Perjalanan pulangku tak mampu mengejar beliau bersemayam di liang lahat sendirian. Semoga Allah senantiasa mengampuni dosa dan kesalahannya. Semoga didikan dan perbuatan baiknya terus bermanfaat dan menjadi amal jariyah. Al-Fatihah..
Sekitar pukul 10-11 aku pamit berangkat meninggalkan istri dan anakku yang masih 9 bulan untuk menghadiri rapat itu, tapi mampir dulu ke bengkel untuk mereparasi roda motor. Motor telah dibongkar. Satu per satu jeruji roda distel dan velgnya dipukul-pukul oleh pegawai bengkel. Tiba-tiba dering telepon tentengku memanggil-panggil aku.
"Cak, kondisi emak, cak..." suara adikku dengan terisak.
Aku segera mencari tempat yang lebih tenang. Suara adikku kurang begitu jelas, tersaingi oleh deru mobil dan motor yang lebih keras. Sedikit masuk ke halaman orang, aku baru bisa mendengar agak jelas. Air mataku meleleh. Adikku mengabarkan kondisi emak sedang kritis. Dia menyuruhku dan meminta kakak ketigaku untuk segera pulang.
Ketak-ketok velg masih berlangsung. Aku menghubungi istri dan kakakku melalui telepon. Tidak lama kemudian nomor telepon adikku kembali berdering. Suara adikku lebih tenang, tetapi kabar yang disampaikan begitu menekan. Emak telah pergi meninggalkan kami semua. "Innalillahi wainna ilaihi rajiun..."
Tenang rasanya hati, saat beliau merasa sudah sehat. Sudah lama beliau sakit-sakitan, terutama batuk yang menahun. Berulangkali datang ke balai pengobatan, baik modern maupun tradisional, tetapi batuknya tak kunjung hilang. Entah berapa hari sekali beliau datang ke mantri kesehatan di kampung. Entah berapa ribu butir obat yang telah masuk dalam tubuhnya.
Kami, anak-anaknya, sempat berbahagia sebab akhirnya beliau bisa menunaikan ibadah haji. Walaupun waktu di rumah kurang begitu sehat, tetapi konon di Tanah Suci, beliau sangat bugar menjalankan ibadah. Banyak teman-teman jamaah haji lainnya sangat khawatir, tetapi emak benar-benar nekat, memanfaat waktu untuk beribadah. Saat tiba di Asramah haji Surabaya, emak langsung menangis. Mendoakan kami, anak-anaknya, semoga bisa berangkat haji bersama pasangannya masing-masing.
Emak memang tidak berangkat haji bersama Bapak, yang telah mendahuluinya. Bapak berangkat haji tahun 1974 atas biaya orangtuanya. Bapak berangkat sendirian, tidak bersama emak, naik kapal. Emak tinggal di rumah bersama kelima anaknya.
1981, Bapak pulang ke rahmatullah, meninggalkan 5 putra dan 2 putri. Anak pertama berusia 21 tahun, anak terakhir berusia 3 tahun. Aku sendiri berusia 6 tahun, dan Emak berusia 42 tahun.
Sebagai single parent, Emak mengasuh sendiri ketujuh anaknya. (Cerita lain dikisahkan adikku dalam Mengenang Emak). Aku merasa Emak begitu keras dalam menempah hidupku dan saudara/riku. Hampir tiap hari beliau menegerku untuk mengurus keperluanku sendiri. Aku harus mencuci dan merapikan baju-baju sendiri sejak belia. Aku pun menjadi terbiasa belanja bumbu di warung. Aku juga menjadi akrab dengan dapur.
Dalam hal mengaji, Emak sangat disiplin. Berulangkali aku menangis karena dipaksa mengaji. Telingaku tak jarang kesakitan karena dijewer. Bahkan aku pernah diikat di kaki meja, pernah juga dijeburkan bak mandi, agar mau mengaji.
Ketika aku mengaji, beliau menyimak sambil memasak. Walaupun sambil memasak, beliau bisa mengoreksi bacaanku. Dan koreksi itu kadang bikin aku menangis. "Ngaji kok salah terus..." Gara-gara pernah mengaji sambil menangis, tetanggaku meledek, "Hayo sopo sing mari ngaji karo nangiss.." hehehe.
Peristiwa yang paling bikin aku jengkel adalah ketika aku hendak ikut MTQ anak-anak tingkat kecamatan. Aku sudah berlatih semampuku, diajari kakak pertamaku. Namun tiba pada hari pelaksanaan, tampaknya Emak kurang puas. Kalau tidak salah aku dilarang ikut, takut memalukan. Tentu saja aku menangis sekencang-kencangnya, sebab aku sudah bersiap berangkat. Emak hendak memanggil guru qori' lain agar aku bisa tampil lebih bagus. Tapi waktunya sudah tidak mungkin. Meski demikian, akhirnya aku meraih juara harapan, juara terakhir. Hahaha.
Di saat yang lain, aku membuat Emak dua kali menangis kecewa. Aku membuat ulah di sekolah. Pertama, aku menolak ikut ujian pelajaran sejarah karena aku tidak suka pada gurunya. Bahkan sebenarnya aku tidak pernah masuk kelas sejarah, sejak guru sejarah meremas-remas kertas ujianku karena ketahuan contekan dengan teman dan aku disuruh keluar kelas. Meskipun ternyata waktu itu kertas ujian itu masih dikasih nilai, dan bagus. Tapi saya terlanjur marah, dan bersumpah tak akan masuk sejarah.
Kedua, Emak menangis kecewa karena saya mengembalikan naskah ujian Bahasa Indonesia yang bernilai 90 lebih ke pintu rumah guru Bahasa Indonesia dengan aku tulisi, kalau tidak salah, "Kalau tidak ikhlas kasih nilai, naskah ini saya kembalikan."
Rupanya, kedua kasus itu dibahas dalam rapat guru. Emak adalah salah satu guru yang ikut dalam rapat itu. Tentu emak sangat malu dengan kejadian itu. Sepulang dari rapat, aku dipanggil. Dengan menangis beliau menasihati aku, dan menyuruh aku minta maaf kepada guru tersebut.
Di akhir hayatnya, aku tak sempat melihat wajah tenangnya menghadap ilahi. Perjalanan pulangku tak mampu mengejar beliau bersemayam di liang lahat sendirian. Semoga Allah senantiasa mengampuni dosa dan kesalahannya. Semoga didikan dan perbuatan baiknya terus bermanfaat dan menjadi amal jariyah. Al-Fatihah..
Jadi inget emak di rumah :'(
BalasHapus