Menilik Kuasa Ketua Umum Suatu Partai Politik

Seperti biasa, suasana kantor pimpinan pusat Partai Politik A sore itu tampak cukup ramai. Satu per satu aktivis partai telah berdatangan dengan berbagai maksud dan tujuan. Ada yang sekadar ingin menggosip, merokok, minum kopi. Ada yang sedang berjanjian dengan salah satu pembesar partai untuk sekadar berdiskusi. Ada yang memang bertugas piket menunggu kantor sekretariat. Bermacam-macam.

Musim pemilu masih lebih dua tahun lagi. Kasak kusuk untuk menjadi calon anggota legislatif (caleg) sudah mulai menghangat. Gosip sundul-menyundul nomor urut daftar caleg tak bisa terhindarkan. Termasuk penyesalan atas pencalegan musim pemilu sebelumnya akibat ketiadaan dana kampanye, ketidakkompakan sesama caleg satu partai dalam satu dapil, dan sebagainya.

Tiba-tiba salah seorang seperti tergopoh-gopoh mendatangi kerumunan-kerumunan kecil dan orang-orang yang sedang merokok. Dia mengabarkan bahwa ketua umum segera datang, oleh karena itu semua rokok harus dimatikan. Situasi yang sama, ketika para pekerja partai berjibaku entri data partai politik dalam rangka verifikasi oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), tiba-tiba seseorang mengabarkan bahwa ketua umum segera hadir dan semua rokok harus di matikan.

Dalam dua peristiwa itu, kebetulan saya hadir di antara para perokok menjadi terkesima. Dalam pikiran dan hati saya bertanya-tanya, "Apa yang sebenarnya terjadi di partai ini?" Saya tidak mempersoalkan tentang larangan merokok atau kabar tentang kehadiran ketua umum. Bagi saya, kehadiran ketua umum ke kantor sekretariatnya adalah sesuatu yang mestinya sangat wajar. Begitu juga persoalan larangan merokok, saat ini di Indonesia memang sedang galak-galaknya melarang warganya merokok, terutama dalam ruangan. Namun, yang menarik adalah ada gejala "menyembunyikan sesuatu" di kalangan partai itu sendiri.

"Menyembunyikan sesuatu" di kalangan internal partai seperti dalam ilustrasi di atas hanyala perkara kecil dan sepele dari jenis-jenis yang besar, terutama masalah keuangan. "Menyembunyikan sesuatu" di kalangan partai politik bisa jadi adalah aktivitas yang sangat lazim. Tidak mengherankan, ketika lembaga Transparansi Internasional Indonesia mencoba mempertanyakan akuntabilitas partai tersebut masuk dalam kategori tidak transparan. Begitu juga dalam hal penetapan caleg-caleg yang akan dikirim ke KPU, aktivitas "menyembunyikan sesuatu" itu terasa sangat kental.

Penerapan transparansi dan akuntabilitas partai politik memang bukan perkara muda. Kultur organisasi partai tersebut harus dibongkar total oleh sebuah kuasa yang sangat kuat, dalam hal ini biasanya Ketua Umum Partai tersebut. Situasi feodalisme yang masih cukup kental sebenarnya potensi yang menguntungkan bagi Ketua Umum untuk mengubah budaya organisasinya. Namun demikian, kekuasaan tersebut masih perlu ditinjau lagi, apakah kuasa ketua umum benar-benar penuh atau di bawa bayang kekuatan tertentu dalam partai tersebut. Kadang terlalu mudanya ketua umum, seperti kasus Partai Demokrat, mudah tersungkur karena adanya faktor kekuasaan di atasnya atau bisa juga karena senioritas.

Sistem kekuasaan dalam partai politik memang selalu menarik untuk ditelisik, terutama dilihat dari aspek kekuasaan kulturalnya, bukan kekuasaan "struktural"nya. Kalau melihat kekuasaan sebagaimana tergambar dalam anggaran dasarnya memang menarik secara yuridis, di mana ada konflik kekuasaan partai yang tampaknya berkutat dalam lingkup konstitusinya, meskipun sebenarnya konteks kulturalnya lebih determinan. Motif dan sumber kekuasaan di partai politik tertentu rupanya banyak juga yang dipengaruhi oleh faktor eksternal partai itu sendiri. Ketika seseorang pada akhirnya terpilih sebagai ketua umum partai, bukan berarti orang tersebut "kuat" dalam kalangan mereka sendiri, tetapi faktor eksternal lebih menentukan daripada faktor internal partai itu sendiri.

Untuk menguji bahwa seorang ketua umum benar-benar kuat dalam kalangannya sendiri, salah satunya melihat "resistensi" yang dilakukan oleh orang-orang di sekelilingnya. "Resistensi" di sini bukanlah bentuk perlawanan terbuka atau pemberontakan saja, tetapi bagaimana fenomena ketidakpatuhan orang-orang di sekitar ketua umum terjadi di belakang ketua umum terjadi. Di hadapan ketua umum memang orang-orang tampak merunduk-runduk, tetapi di belakangnya terjadi gosip, ungkapan-ungkapan yang mencibir, tidak menjalankan perintah dengan sepenuhnya, dan sebagainya. Praktik "menyembunyikan sesuatu" dari ketua umum, seperti yang tergambar di atas, adalah salah satu bentuk resistensi yang sangat konkret di partai tersebut. Dengan model seperti itu, ketua umum menjadi buta terhadap realitas obyektif yang terjadi di kalangannya sendiri. Bahkan, kejadian semacam itu sangat mungkin terjadi antara ketua umum dengan orang yang menjadi kepercayaannya. Dari praktik-praktik inilah kekuasaan ketua umum yang sebenarnya dapat dihitung.

Penggulingan atau pengebiran kuasa ketua umum dengan metode "menyembunyikan sesuatu" merupakan cara yang tampaknya efektif. Hal ini sekaligus membuktikan bahwa kuasa ketua umum tidak selamanya benar-benar "kuat" secara internal. Ketua umum bisa sangat mudah dijungkalkan dalam satu jurus yang dilakukan oleh orang-orang kepercayaannya. Apalagi relasi-relasi kekuasaan ketua umum di eksternal, yang biasanya telah diketahui secara detail oleh orang-orang kepercayaannya, telah dilumpuhkan secara perlahan, maka kuasa ketua umum menjadi ompong.

Ketidakberdayaan ketua umum partai politik sebagaimana di atas, tampak memiliki ketergantungan terhadap faktor eksternal. Sumberdaya eksternal memang beragam, namun yang cukup signifikan adalah ketergantungan pada sumberdaya dana dan legitimasi hukum, dalam kasus negara modern. Dalam hal ketergantungan terhadap sumberdaya dana, banyak partai politik yang akhirnya berada dalam genggaman oligark. Ketua umum yang terkuasai oleh sistem oligarki memiliki kecenderungan tidak efektif dalam bekerja, kreatifitasnya rendah, dan perolehan suaranya pas-pasan. 

Tidak ada komentar