Menyanyikan Al-Qur'an

Di antara isu kontroversial yang pernah saya dengar adalah menyanyikan Al-Qur'an. Berbagai pertanyaan juga masih muncul, bagaimana hukum menyanyikan Al-Qur'an? dan sebagainya. Boleh membaca Al-Qur'an diiringi dengan musik. Tentu saja ada beragam tanggapan, sebagaimana ragam pengetahuan yang beredar di bumi ini.

Pertama saya ingin mengemukakan pandangan saya tentang Al-Qur'an. Menurut saya, Al-Qur'an adalah gagasan, pengetahuan, dan aturan-aturan yang diturunkan Allah kepada manusia, dari lauhil mahfudz, dengan menggunakan bahasa Arab sebagai alat perantaranya. Saya ingin menekankan pada bahasa Arab di sini sebagai alat, sebab di salah satu ayat Al-Qur'an yang artinya, "Saya turunkan Al-Qur'an dengan bahasa Arab agar kalian berpikir" kata "agar kalian" dalam ayat tersebut menunjukkan bahwa bahasa di sini dipilih dari sekian banyak pilihan. Ketika Allah menentukan satu bahasa dari sekian banyak bahasa, maka yang lain harus berpikir bagaimana cara memahaminya sesuai dengan keragaman masing-masing. Saya kira inilah yang menjadikan banyak terjadi kontroversial.

Ketika mempersoalkan konsep bahasa terkait dengan Al-Qur'an, tentu persoalannya menjadi ke mana-mana. Jika demikian, apakah teks atau tulisan ayat-ayat Al-Qur'an, yang digores dengan tinta atau alat-alat tulis lain itu suci? Waah, ini kembali pada perdebatan kolobendu. Tinggal pilih, mau ikut yang mana. Kalau saya ikut yang umum, seperti dalam tafsir Jalalain, yang berpendapat, yang suci ada di lauh mahfudz. Selain teks adalah bunyi teks, yakni ketika teks/tulisan itu dibacakan akan melahirkan bunyi suara.

Bagi saya teks dan bunyi punya kedudukan yang sama. Persoalannya, bolehkah kita menulis atau membunyikan dengan salah? Tentu persoalannya berbeda. Sebagaimana bahasa-bahasa lain, kalau seseorang salah ucap atau salah tulis bisa menghasilkan arti atau makna yang berbeda dengan maksud atau idenya. Apabila tulisan dan bunyi Al-Qur'an disampaikan secara berbeda, bisa menghasilkan kesalahpahaman. Karena itu bertajwid dalam Al-Qur'an diwajibkan.

Lalu, bagaimana jika Al-Qur'an dinyanyikan? Dan apa sebenarnya nyanyian itu? Saya kira pertanyaan kedua harus dijelaskan terlebih dahulu. Bagi saya, nyanyian adalah membunyikan ide, gagasan, atau perasaan secara indah. Keindahan menjadi sangat relatif, tergantung pada pengalaman, suasana hati, dan pengetahuan masing-masing orang. Namun bagi pendengar, keindahan dan pesan dari maksud penyanyi bisa jadi saling terkait, bisa jadi terpisah satu sama lain. Seseorang kadang lebih menikmati keindahan nada nyanyian tersebut dan mengabaikan pesannya, namun ada yang lebih tertarik pada pesannya daripada nadanya.

Al-Qur'an, sebagaimana pengertian di atas, bisa dibunyikan dengan berbagai nada. Apalagi karakter bahasa Arab merupakan bahasa yang mudah untuk dinyanyikan. Tidak heran Nabi Muhammad menyukai bacaan-bacaan Al-Qur'an yang dibunyikan secara merdu. Persoalannya, apakah menyanyikan Al-Qur'an itu tetap bertajdwid atau tidak, sehingga pesannya (makna/artinya) berubah atau tidak? Karena Al-Qur'an ini tidak boleh disalahpahami, maka pesan itu harus tetap utuh. Ada banyak perubahan bunyi dalam Al-Qur'an yang mengakibatkan maknanya berbeda jauh.

Dalam tradisi menyanyikan Al-Qur'an, biasanya dikenal dengan banyak istilah: Tilawatil Qur'an bittaghanni, tilawatil Qur'an bilmujawwad, tilawatil Qur'an bittartil, namun yang umum di Indonesia adalah Qiroah. Mempelajari Qiroah ini banyak orang menggunakan lagu-lagu tertentu, seperti: Nahawan, Shobah, Rast, Jiharka, dan sebagainya.

Namun pengertian menyanyikan Al-Qur'an, dengan pengertian Al-Qur'an di atas, bisa meluas dari sekadar Qiroah atau Tartil, yang semata-mata merujuk pada Al-Qur'an yang menggunakan bahasa Arab. Bagi saya, menyanyikan ide-ide, gagasan, pengetahuan, dan hukum yang mengandung pesan-pesan sebagaimana yang terdapat dalam Al-Qur'an, termasuk menyanyikan Al-Qur'an.

2 komentar:

  1. Sudah maklum dalam kajian fiqih adalah membawakan dalil atau pendapat salaf, bukan, "Menurut saya,..."

    Imam Malik pun tak malu mengatakan, "Laa adri.."

    BalasHapus