Motor dan Wajah Kebijakan Kota
Seperti air yang jatuh dari langit, terburai oleh angin, menjadi hujan, para pengendara motor segera mengeber motornya masing-masing, meninggalkan terowongan. Siang itu memang hujan deras, dan pengendara motor segera mencari tempat berteduh. Terowongan adalah tempat paling nyaman.
Jumlah motor di jalanan yang makin meningkat, membuat terowongan musim hujan seringkali mampat. Saya membayangkan betapa banjir itu terjadi mirip dengan situasi itu. Gorong-gorong yang makin menyempit oleh lumpur, makin muak air di sana. Air meluap, menggenangi jalan-jalan.
Jika lumpur harus dikeruk secara rutin agar air tidak melimpah di jalan-jalan, rasanya tidak mungkin mengeruk kendaraan dari kota Jakarta. Kalau toh mungkin, tentu harus serius menyediakan angkutan umum yang longgar, murah, dan cepat. Tidak cukup itu, tetapi juga harus dekat dengan tempat tujuan. Yang terakhir ini tidak kalah pentingnya dengan sekadar murah.
Saya pernah tinggal di sebuah kawasan "tengah kota" di Jakarta, dan bekerja tidak terlalu jauh jaraknya, kurang lebih hanya 5 km. Namun untuk mencapai tempat kerja itu, saya terpaksa harus berganti 3 angkutan umum agar sampai lokasi, dan masih perlu jalan kaki 500 meter. Ketika itu tarif angkutan umum Rp 3.000. Berarti sekali berangkat bayar Rp. 9.000, hampir Rp. 20.000 per hari. Jika naik ojek, PP sekitar Rp 20.000 juga. Tetapi kalau saya bawa motor sendiri, uang Rp. 20.000 bisa seminggu ke kantor itu. Belum lagi jika ada keperluan-keperluan lain, tidak perlu repot menunggu angkutan datang, ganti-ganti, dan seterusnya.
Motor memang memang jauh lebih ramah duit dibanding angkutan umum. Apalah artinya melarang motor masuk kota Jakarta jika dihitung efektivitas dan efisiensinya tidak sebanding dengan solusi yang ditawarkan.
Bagi saya, kesemrawutan lalu lintas motor di Jakarta ada wajah kebijakan kota Jakarta itu sendiri. Karakter Pemerintah Jakarta tampaknya tidak terlalu jauh dengan karakter lalu lintas motor di jalanan, berupaya untuk merangsek setiap peluang yang ada.
Bisa jadi bukan hanya di Jakarta. Wajah-wajah kebijakan setiap kota, jangan-jangan sama dengan karakter lalu lintas motor di kota itu sendiri...
Jumlah motor di jalanan yang makin meningkat, membuat terowongan musim hujan seringkali mampat. Saya membayangkan betapa banjir itu terjadi mirip dengan situasi itu. Gorong-gorong yang makin menyempit oleh lumpur, makin muak air di sana. Air meluap, menggenangi jalan-jalan.
Jika lumpur harus dikeruk secara rutin agar air tidak melimpah di jalan-jalan, rasanya tidak mungkin mengeruk kendaraan dari kota Jakarta. Kalau toh mungkin, tentu harus serius menyediakan angkutan umum yang longgar, murah, dan cepat. Tidak cukup itu, tetapi juga harus dekat dengan tempat tujuan. Yang terakhir ini tidak kalah pentingnya dengan sekadar murah.
Saya pernah tinggal di sebuah kawasan "tengah kota" di Jakarta, dan bekerja tidak terlalu jauh jaraknya, kurang lebih hanya 5 km. Namun untuk mencapai tempat kerja itu, saya terpaksa harus berganti 3 angkutan umum agar sampai lokasi, dan masih perlu jalan kaki 500 meter. Ketika itu tarif angkutan umum Rp 3.000. Berarti sekali berangkat bayar Rp. 9.000, hampir Rp. 20.000 per hari. Jika naik ojek, PP sekitar Rp 20.000 juga. Tetapi kalau saya bawa motor sendiri, uang Rp. 20.000 bisa seminggu ke kantor itu. Belum lagi jika ada keperluan-keperluan lain, tidak perlu repot menunggu angkutan datang, ganti-ganti, dan seterusnya.
Motor memang memang jauh lebih ramah duit dibanding angkutan umum. Apalah artinya melarang motor masuk kota Jakarta jika dihitung efektivitas dan efisiensinya tidak sebanding dengan solusi yang ditawarkan.
Bagi saya, kesemrawutan lalu lintas motor di Jakarta ada wajah kebijakan kota Jakarta itu sendiri. Karakter Pemerintah Jakarta tampaknya tidak terlalu jauh dengan karakter lalu lintas motor di jalanan, berupaya untuk merangsek setiap peluang yang ada.
Bisa jadi bukan hanya di Jakarta. Wajah-wajah kebijakan setiap kota, jangan-jangan sama dengan karakter lalu lintas motor di kota itu sendiri...
Post a Comment