Olahraga itu Relaksasi
Baru sejak akhir-akhir Tsanawiyah saya merasa perlu berolahraga. Motif waktu itu karena saya belajar tilawah, butuh nafas panjang. Untuk melatih nafas panjang saya disarankan berolahraga, setidaknya lari pagi. Motif lainnya karena saya ingin tumbuh lebih normal, sebab tubuh saya waktu itu terlampau kecil dan kurus.
Ada dua lokasi utama tempat saya berolahraga: di halaman sekolah dan di lapangan Munggul. Hari andalan untuk berolahraga tentu hari Jumat, sebab Jumat is holiday, hari suci. Biasanya saya berlari kecil mengeliling sekolah atau lapangan sepak bola. Entah berapa kali, saya lupa. Setidaknya sih rata-rata 3 km saya berlari ringan. Enaknya memang tanahnya datar, sehingga energinya juga normal.
Ketika masuk Aliyah, tubuh saya menjulur, memanjang, tetapi tidak melebar. Hingga akhirnya, saya termasuk tertinggi di antara saudara-saudara yang lain. Karena lingkungan saya lebih aktif di dunia bola volley, saya pun lebih memilih bola volley sebagai olahraga hobi. Sayangnya, walaupun saya tampak tinggi menjulur otot saya tidak terlalu kuat. Ketika melakukan smash, pukulannya terlalu lemah.
Saya ikut penggemblengan fisik yang dilatih oleh Pak Syukur. Kadang pagi, kadang siang, kadang malam saya ikut berlatih. Jika pagi hari, saya ikut lari sekitar 3-5 km melewati bukit-bukit, lalu bersenam dan sebagainya. Ketika ikut agak siang, larinya tidak terlalu jauh. tetapi terik matahari sangat menyengat dan gerakan-gerakannya sedikit lebih berat. Ketika malam hari, gerakan yang harus saya ikuti jauh lebih berat.
Permainan bola volly saya memang agak terasa berbeda ketika bermain di lapangan belakang langgar. Smashing saya terasa lebih menghujam dan terasa lebih kuat. Namun di lapangan besar, tetap saja kurang maksimal meski ada perubahan. Lompatan saya mungkin lebih tinggi.
Ketika pindah di Semarang, saya masih melanjutkan kebiasaan joging, pagi hari. Dari jalan Pemuda, melintasi jalan Gajahmada, saya mengelilingi lapangan Simpang Lima. Karena sudah terbiasa, saya tidak merasa terlalu lelah.
Sayangnya, ketika berpindah ke Jakarta hingga lebih dari 10 tahun, saya sudah tidak pernah lagi lari pagi. Gaya dan orientasi hidup saya cukup berubah. Olahraga tampaknya bukan lagi sebagai kebutuhan untuk mendapatkan tubuh sehat. Tidur larut malam, bahkan pagi hari baru tidur. Semangat olahraga beralih pada semangat olahpikir dan olahraga. Olahraga karena tak sengaja, misal longmarch waktu demonstrasi atau jalan kaki karena tidak punya uang naik taksi. Mungkin karena dulunya biasa lari pagi, saya jalan jauh waktu demonstrasi dan tak punya uang taksi terasa biasa saja. Tidak terlalu merasa capek.
Barulah tahun 2010-an kadang saya memutari Monumen Nasional. Awal-awal saya berlari, rasanya sangat berat. Tenggorokan terasa kering banget. Nafas benar-benar ngos-ngosan. Tapi kegiatan berolahraga ini memang sangat jarang. Saya hanya mengandalkan jalan kaki ketika menuju suatu tempat tertentu. Itung-itung gantinya olahraga.
Suatu ketika saya ngobrol dengan Prof. Soedijarto. Saya ditanya, apakah suka olahraga? Saya jawab, sudah tidak pernah lagi. Paling jalan kaki waktu pergi kerja. Beliau menilai, bahwa jalan kaki yang bukan diniati olahraga itu berbeda dengan olahraga. Menurut beliau, olahraga itu memang khusus olahraga, tidak bisa dibaringkan dengan yang lain. Hasilnya tetap beda.
Ketika saya berolahraga, setelah mendengar penjelasan Prof. Soedijarto, ternyata rasanya berbeda. Olahraga yang benar-benar niatnya olahraga bukan saja sekadar olahraga, tetapi juga tamasya, sehingga berdampak pada kesegaran tubuh dan jiwa. Ketika berolahraga yang diniati olahraga, sesuatu yang bergejolak dalam pikiran benar-benar diabaikan. Pikiran benar-benar diajak relaks. Ketegangan, stres, diabaikan sementara. Oksigen yang masuk dalam otak juga bertambah.
Meski olahraga adalah relaksasi yang murah, kapanpun bisa, tetapi butuh niat yang kuat. Untuk beniat olahraga btuh kesadaran yang tinggi bahwa kita butuh. Malah, lebih memilih relaksasi yang berbayar mahal. Hahaha....
Ada dua lokasi utama tempat saya berolahraga: di halaman sekolah dan di lapangan Munggul. Hari andalan untuk berolahraga tentu hari Jumat, sebab Jumat is holiday, hari suci. Biasanya saya berlari kecil mengeliling sekolah atau lapangan sepak bola. Entah berapa kali, saya lupa. Setidaknya sih rata-rata 3 km saya berlari ringan. Enaknya memang tanahnya datar, sehingga energinya juga normal.
Ketika masuk Aliyah, tubuh saya menjulur, memanjang, tetapi tidak melebar. Hingga akhirnya, saya termasuk tertinggi di antara saudara-saudara yang lain. Karena lingkungan saya lebih aktif di dunia bola volley, saya pun lebih memilih bola volley sebagai olahraga hobi. Sayangnya, walaupun saya tampak tinggi menjulur otot saya tidak terlalu kuat. Ketika melakukan smash, pukulannya terlalu lemah.
Saya ikut penggemblengan fisik yang dilatih oleh Pak Syukur. Kadang pagi, kadang siang, kadang malam saya ikut berlatih. Jika pagi hari, saya ikut lari sekitar 3-5 km melewati bukit-bukit, lalu bersenam dan sebagainya. Ketika ikut agak siang, larinya tidak terlalu jauh. tetapi terik matahari sangat menyengat dan gerakan-gerakannya sedikit lebih berat. Ketika malam hari, gerakan yang harus saya ikuti jauh lebih berat.
Permainan bola volly saya memang agak terasa berbeda ketika bermain di lapangan belakang langgar. Smashing saya terasa lebih menghujam dan terasa lebih kuat. Namun di lapangan besar, tetap saja kurang maksimal meski ada perubahan. Lompatan saya mungkin lebih tinggi.
Ketika pindah di Semarang, saya masih melanjutkan kebiasaan joging, pagi hari. Dari jalan Pemuda, melintasi jalan Gajahmada, saya mengelilingi lapangan Simpang Lima. Karena sudah terbiasa, saya tidak merasa terlalu lelah.
Sayangnya, ketika berpindah ke Jakarta hingga lebih dari 10 tahun, saya sudah tidak pernah lagi lari pagi. Gaya dan orientasi hidup saya cukup berubah. Olahraga tampaknya bukan lagi sebagai kebutuhan untuk mendapatkan tubuh sehat. Tidur larut malam, bahkan pagi hari baru tidur. Semangat olahraga beralih pada semangat olahpikir dan olahraga. Olahraga karena tak sengaja, misal longmarch waktu demonstrasi atau jalan kaki karena tidak punya uang naik taksi. Mungkin karena dulunya biasa lari pagi, saya jalan jauh waktu demonstrasi dan tak punya uang taksi terasa biasa saja. Tidak terlalu merasa capek.
Barulah tahun 2010-an kadang saya memutari Monumen Nasional. Awal-awal saya berlari, rasanya sangat berat. Tenggorokan terasa kering banget. Nafas benar-benar ngos-ngosan. Tapi kegiatan berolahraga ini memang sangat jarang. Saya hanya mengandalkan jalan kaki ketika menuju suatu tempat tertentu. Itung-itung gantinya olahraga.
Suatu ketika saya ngobrol dengan Prof. Soedijarto. Saya ditanya, apakah suka olahraga? Saya jawab, sudah tidak pernah lagi. Paling jalan kaki waktu pergi kerja. Beliau menilai, bahwa jalan kaki yang bukan diniati olahraga itu berbeda dengan olahraga. Menurut beliau, olahraga itu memang khusus olahraga, tidak bisa dibaringkan dengan yang lain. Hasilnya tetap beda.
Ketika saya berolahraga, setelah mendengar penjelasan Prof. Soedijarto, ternyata rasanya berbeda. Olahraga yang benar-benar niatnya olahraga bukan saja sekadar olahraga, tetapi juga tamasya, sehingga berdampak pada kesegaran tubuh dan jiwa. Ketika berolahraga yang diniati olahraga, sesuatu yang bergejolak dalam pikiran benar-benar diabaikan. Pikiran benar-benar diajak relaks. Ketegangan, stres, diabaikan sementara. Oksigen yang masuk dalam otak juga bertambah.
Meski olahraga adalah relaksasi yang murah, kapanpun bisa, tetapi butuh niat yang kuat. Untuk beniat olahraga btuh kesadaran yang tinggi bahwa kita butuh. Malah, lebih memilih relaksasi yang berbayar mahal. Hahaha....
Post a Comment