Pencarian Diri
(sebuah pencarian diri) Ini berawal dari sebuah pertanyaan sangat sederhana. Sebuah pertanyaan yang terlontar dari mulut seseorang yang sedikit lebih tua dari saya...
Ketika itu kami ngopi bareng di ruang tamu rumah beliau. Kami ngobrol tentang banyak hal. Ngobrol ngalor ngidul tanpa tema yang jelas. Itu hal lumrah dalam acara bertamu. Nggak penting temanya apa. Yang penting suasana hidup dan gayeng. Bila perlu ngakak bareng, he he he... Setelah terdiam sejenak, tuan rumah tiba-tiba melontarkan pertanyaan, ''Dik, jeneng (nama) sampean Mas'ud kan?''.
''nggeh...'' jawab saya.
''terus, yang diberi nama Mas'ud itu yang mana? Apa wajah sampean yang biasa dipampang di KTP itu? Atau yang mana?'' tanya beliau lagi. Saya spontan tercenung mendengar pertanyaan itu. Memang pertanyaannya sederhana. Tapi, butuh jawaban yang sangat tidak sederhana. Maka dengan senyum yang dipaksakan saya hanya bisa menjawab,
''waduh, maaf saya nggak faham...''.
Kini, setelah sholat isya', saya ngopi sendirian. Sambil menghisap beberapa batang rokok (meskipun teman-teman saya bilang, saya tidak pantas untuk merokok). Pertanyaan yang sudah berlalu sekitar 6 bulanan itu mengusik kesendirian saya. Sangat dipahami pertanyaan yang dimaksud bukanlah ''saya'' secara jasadi. Tapi lebih substantif dari itu atau tentang sesuatu yang terbungkus dalam jasad yang dikenal secara umum sebagai saya itu. Karena tak mungkin orang setua itu mempertanyakan pada saya tentang hal yang sudah jelas-jelas di depan mata. Yakni tubuh saya.
Meskipun begitu, penciptaan tubuh manusia oleh Tuhan sangat tidak patut dinafikan. Terbukti, berapa ratus (atau ribu?) ilmu yang diturunkan Tuhan demi kelangsungan tubuh kita agar tetap bugar dan beraktifitas. Mulai dari ilmu kedokteran, ilmu farmasi, ilmu biologi dan lain sebagainya. Dan hampir seisi bumi ini bisa dikatakan adalah fasilitas untuk pertumbuhan dan perkembangbiakan tubuh manusia. Air, angin, api, tumbuhan, gunung dan semua unsur bumi, kandungannya juga terdapat pada tubuh manusia. Bahkan, konon waktu pun juga diisyaratkan dalam tubuh kita. Semisal, potongan tulang kita jumlah keseluruhannya adalah 360. Sama dengan jumlah hari dalam setahun...
Dan, yang dimaksud juga bukan watak saya. Karena watak adalah bentukan lingkungan sejak dini yaang akhirnya melekat pada diri saya. Seperti halnya cara berpikir, emosi, obsesi, hobi, atau pun selera humor. Setahu saya itu semua bukanlah saya yang sebenarnya. Semua itu hanyalah sarana agar saya dikenal dan mengada di lingkungan saya.
Sampai di sini, otak saya mulai menghangat. Logika saya juga mulai tersendat-sendat. (Saya hisap dalam-dalam rokok filter beberapa kali, terus saya hembuskan kuat-kuat. Dan saya sruput kopi, lagi...). Alam bawah sadar saya mengulangi pertanyaan itu. ''Di manakah saya yang bernama Mas'ud itu?''. Dengan susah payah, saya terus berusaha mengorek semua yang di hadapan saya. Baik itu di depan mata ataupun di depan alam pikiran saya. Dan juga alam perasaan saya (walaupun tidak seberapa peka). Dengan belati analisa yang mulai berkarat dan agak tumpul ini, saya mencoba menggali, membelah, mencungkil apa saja untuk mencari paham di manakah yang saya cari ini berada.
Di menjelang titik jenuh, saya tersadarkan pada sumber segala rasa yakni hati. Dari hati inilah muncul berbagai pergolakan bathin. Rasa suka, duka, benci, rindu, cinta dan berbagai perasaan yang lainnya.
Konon, segala perasaan itu timbul dari luar tubuh kita yang ditangkap oleh berbagai indera kita dan dimasukkan otak atau pikiran kita. Setelah itu diterima oleh wilayah hati kita. Dari sini, diproduksi berbagai rasa. Baik rasa fisik atau rasa bathin (perasaan). (ah, saya masih ingat juga pada pelajaran tsanawiyah ini) Segala pergolakan bathin inilah juga yang kemudian setiap orang punya karakter, cara pandang, sifat, hobi dan beberapa label lainnya. Selanjutnya, untuk menentukan kualitas seseorang adalah sekuat apa dia dalam mengolah batin dan seteguh apa batinnya mengkondisikan dirinya agar tetap menjadi baik dan berpengaruh baik pada lingkungannya. Barangkali ini sesuai dengan jargon yg disampaikan Kanjeng Nabi "Ingatlah sesungguhnya di dalam tubuh manusia terdapat segumpal daging. Jika segumpal daging itu baik, maka seluruh tubuh juga baik. Jika segumpal daging itu rusak, maka seluruh tubuh juga rusak. Ketahuilah, SEGUMPAL DAGING ITU ADALAH HATI". (HR Muslim)
Nah, untuk pengkondisian agar hati ini baik, tantangannya adalah menundukkan nafsu. Menundukkan nafsu inilah yang menentukan kita menjadi baik dalam arti yang sebenarnya. Konon, Sunan Kalijogo untuk itu harus bertapa bertahun-tahun. Mbah Mutamakkin sampai-sampai tidak makan berhari-hari dan mengikat dirinya di tiang. Kemudian istrinya disuruh mengiming-iming dirinya dengan berbagai makanan yang lezat-lezat. Itu semua demi menundukkan nafsu nggrangsangnya pada makanan. Dan banyak lagi tokoh-tokoh istimewa yang melakukan hal senada demi mencapai puncak penundukan tersebut. Saya yakin, beliau-beliau ini pasti adalah orang-orang yang sudah menemukan sejati dirinya. Bukan orang bingung kayak saya ini. Ah, betapa kecilnya saya kalau ditara-kan dengan beliau-beliau itu.
Tapi, HATI itukah (inti dari) SAYA? Bukankah hati saya butuh dikondisikan? Siapakah yg ditugaskan mengkondisikan?
"Saya!!"
Berarti hati bukanlah saya.
Di manakah saya?? Pertanyaan itu kembali menjadi "hantu" dalam pikiran saya...
Tiba-tiba saya teringat wejangan seorang tokoh yg sangat saya kagumi: 'ketika di alam ruh Tuhan berkata pada manusia, "He Menungso, kowe ta' paringi turonggo (kuda/kendaraan). Tugasmu ndoleki lan seboh menyang Aku. Yen awakmu sibuk ngelayani turanggamu, mongko awakmu dadi budake. Yen awakmu sibuk ngelayani Aku, bakal ta' cukupi sekabehe kebutuhanmu" Ternyata yang dimaksud turonggo itu adalah jasad kita...
Jadi, Siapa atau apakah ruh itu? mungkinkah ruh ini yang dibentengi hati, agar terselamatkan dari keburukan? Sehingga kalau hati tak mampu membendung pengaruh buruk maka buruk pula ruh. "Jika segumpal daging itu rusak, maka seluruh tubuh juga rusak."
RUH, itukah SAYA? Yang katanya di hari akhir nanti yang bertanggung jawab di hadapan Tuhan. Ah, saya nggak berani terlalu berspekulasi. Karena di sini terbentang garis tegas bahwa ruh adalah urusan Tuhan semata....
Saya sudah tak bisa berkutik lagi.
"Sopo wong kang mangerteni slirane bakal mangerteni Pengerane..."
Man ngarofah nafsah ngarofah robbah...
Siapa yang mengenal dirinya maka akan mengenal Tuhannya.
Dan, saya masih bimbang. Yang manakah saya? Di manakah saya?? Dan saya hanya bisa sekedar berusaha agar lebih baik dan terus mencari... Mudah2an di usia 45 tahun ini Alloh masih ridlo pada saya.
Tak terasa, tiba2 beduk subuh ditabuh bertalu-talu....
(Ditulis oleh Muhammad Mas'ud Ibnu Kuncoro di Musholla Rahmat, Simokerto-Surabaya; 16 April 2015)
Post a Comment