Prostitusi (Tidak) Diperbolehkan secara Hukum di Indonesia(?)
Persoalan prostitusi adalah salah satu persoalan purba di dunia ini. Mungkin tidak ada negara yang benar-benar bersih dari keberadaan prostitusi. Karena sudah tuanya usia prostitusi, tentu kondisi dan tanggapannya pun beragam. Ada negara yang mengatur dan ada juga yang membiarkan.
Istilah-istilah prostitusi juga sangat beragam, yang paling umum adalah pelacuran. Istilah prostusi dalam KBBI diartikan sebagai pertukaran hubungan seksual dengan uang atau hadiah sebagai transaksi perdagangan. Ada istilah wanita tuna susila (WTS), pekerja seks komersial (PSK), pelacur, gembrik, lonte, gigolo dan sebagainya yang disebut aktor pertama prostitusi. Ada juga istilah germo, mucikari dan lain-lain yang disebut perantara (pihak ketiga) prostitusi. Ada istilah rumah bordil, lokalisasi, dan sebagainya yang disebut sebagai tempat praktik prostitusi.
Hingga saat ini di Indonesia sendiri tidak ada kebijakan yang secara khusus mengatur tentang prostitusi secara lengkap. Tidak ada ketentuan hukum yang mendefinisikan apa itu prostitusi dan bagaimana mengaturnya. Apakah negara melarang atau memperbolehkan prostitusi? Tampaknya, prostitusi lebih dilihat secara budaya atau agama saja, sehingga prostitusi di negeri ini "seakan-akan" dilarang.
Memang lamat-lamat ada ketentuan tentang "prostitusi" dalam KUHP, namun masih sangat parsial. Dalam Pasal 506 KUHP, misalnya, hanya berbunyi: ”Barang siapa menarik keuntungan dari perbuatan cabul seorang wanita dan menjadikan sebagai pencarian diancam hukuman paling lama satu tahun”. Lalu Pasal 296 yang berbunyi “Barang siapa dengan sengaja menghubungkan atau memudahkan perbuatan cabul oleh orang lain, dan menjadikannya sebagai pencarian atau kebiasaan diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan.”
Meski pasal-pasal tersebut menunjukkan sebuah larangan, namun yang dilarang dalam peraturan tersebut hanyalah "pihak ketiga" pelaku prostitusi. Untuk pihak pertama dan pihak kedua dalam prostitusi ini mungkin dikaitkan dengan perbuatan "zina". Meski demikian, pelaku perzinaan yang diatur dalam Pasal 284 KUHP adalah salah seorang dari wanita atau pria atau juga kedua-duanya dalam status sudah kawin.
Konsep "Zina" dengan "Prostitusi" di Indonesia ini tampaknya memang berbeda. Dalam pemahaman umum, "Prostitusi" merupakan praktik usaha atau bisnis tukar-menukar hubungan seksual dengan uang atau sesuatu yang berharga lainnya tanpa ada ikatan perkawinan. Pelaku prostitusi adalah semua orang, tanpa ada kriteria khusus, usia maupun status perkawinan. Sedangkan "zina" dalam hukum positif, adalah praktik hubungan seksual bukan suami-istri, namun yang dilakukan oleh orang-orang yang berstatus menikah.
Artinya, dengan melihat peraturan-peraturan yang ada, tidak ada larangan seseorang untuk menjalankan praktik prostitusi, kecuali prostitusi tersebut dikelola oleh orang lain. Kasus Tata, yang buka praktik sendiri di rumah kontrakannya, dan menjajakan secara online, atau para pelaku prostitusi yang berdiri di pinggir-pinggir jalan secara mandiri sebenarnya tidak diatur di negeri ini.
Saya tidak tahu apakah tidak diaturnya secara khusus tentang prostitusi dalam hukum positif nasional (undang-undang), beberapa daerah sudah membuat peraturan daerah, berarti negara memperbolehkan praktik ini atau sebenarnya negara sudah melarangnya melalui peraturan perundangan yang lain? Bukankah prostitusi itu sesuatu yang berbeda? Silahkan negara memikirkannya.
Istilah-istilah prostitusi juga sangat beragam, yang paling umum adalah pelacuran. Istilah prostusi dalam KBBI diartikan sebagai pertukaran hubungan seksual dengan uang atau hadiah sebagai transaksi perdagangan. Ada istilah wanita tuna susila (WTS), pekerja seks komersial (PSK), pelacur, gembrik, lonte, gigolo dan sebagainya yang disebut aktor pertama prostitusi. Ada juga istilah germo, mucikari dan lain-lain yang disebut perantara (pihak ketiga) prostitusi. Ada istilah rumah bordil, lokalisasi, dan sebagainya yang disebut sebagai tempat praktik prostitusi.
Hingga saat ini di Indonesia sendiri tidak ada kebijakan yang secara khusus mengatur tentang prostitusi secara lengkap. Tidak ada ketentuan hukum yang mendefinisikan apa itu prostitusi dan bagaimana mengaturnya. Apakah negara melarang atau memperbolehkan prostitusi? Tampaknya, prostitusi lebih dilihat secara budaya atau agama saja, sehingga prostitusi di negeri ini "seakan-akan" dilarang.
Memang lamat-lamat ada ketentuan tentang "prostitusi" dalam KUHP, namun masih sangat parsial. Dalam Pasal 506 KUHP, misalnya, hanya berbunyi: ”Barang siapa menarik keuntungan dari perbuatan cabul seorang wanita dan menjadikan sebagai pencarian diancam hukuman paling lama satu tahun”. Lalu Pasal 296 yang berbunyi “Barang siapa dengan sengaja menghubungkan atau memudahkan perbuatan cabul oleh orang lain, dan menjadikannya sebagai pencarian atau kebiasaan diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan.”
Meski pasal-pasal tersebut menunjukkan sebuah larangan, namun yang dilarang dalam peraturan tersebut hanyalah "pihak ketiga" pelaku prostitusi. Untuk pihak pertama dan pihak kedua dalam prostitusi ini mungkin dikaitkan dengan perbuatan "zina". Meski demikian, pelaku perzinaan yang diatur dalam Pasal 284 KUHP adalah salah seorang dari wanita atau pria atau juga kedua-duanya dalam status sudah kawin.
Konsep "Zina" dengan "Prostitusi" di Indonesia ini tampaknya memang berbeda. Dalam pemahaman umum, "Prostitusi" merupakan praktik usaha atau bisnis tukar-menukar hubungan seksual dengan uang atau sesuatu yang berharga lainnya tanpa ada ikatan perkawinan. Pelaku prostitusi adalah semua orang, tanpa ada kriteria khusus, usia maupun status perkawinan. Sedangkan "zina" dalam hukum positif, adalah praktik hubungan seksual bukan suami-istri, namun yang dilakukan oleh orang-orang yang berstatus menikah.
Artinya, dengan melihat peraturan-peraturan yang ada, tidak ada larangan seseorang untuk menjalankan praktik prostitusi, kecuali prostitusi tersebut dikelola oleh orang lain. Kasus Tata, yang buka praktik sendiri di rumah kontrakannya, dan menjajakan secara online, atau para pelaku prostitusi yang berdiri di pinggir-pinggir jalan secara mandiri sebenarnya tidak diatur di negeri ini.
Saya tidak tahu apakah tidak diaturnya secara khusus tentang prostitusi dalam hukum positif nasional (undang-undang), beberapa daerah sudah membuat peraturan daerah, berarti negara memperbolehkan praktik ini atau sebenarnya negara sudah melarangnya melalui peraturan perundangan yang lain? Bukankah prostitusi itu sesuatu yang berbeda? Silahkan negara memikirkannya.
Post a Comment