Water Closet atau Kakus
Lain padang lain belalang. Ungkapan tersebut adalah ilustrasi perbandingan. Apakah ungkapan tersebut juga berlaku terhadap keberadaan Water Closet (WC)? Bisa jadi iya, bisa jadi tidak. Saya katakan iya, karena pengalaman saya menunjukkan demikian. Di rumah sendiri, saya menggunakan WC jongkok. Tapi di tempat lain saya kadang menggunakan WC duduk dan WC nangkring. Bisa jadi tidak, karena banyak orang yang awalnya tidak punya WC di dalam rumahnya, kemudian membikin WC dalam rumah dengan model jongkok. Artinya, bentuk WC itu mengalami perkembangan.
Sepanjang hidup saya hingga saat ini, saya sudah menemui beberapa model WC. Saya jadi agak ragu, apakah penggunaan istilah WC ini jadi relevan dengan bentuk-bentuk yang saya temui. Tampaknya istilah "Kakus" bisa lebih umum dan bisa menggambarkan pengalaman saya. Oke, sebut saja kakus, yang berarti tempat membuang air besar, apapun bentuknya. Jadi, sepanjang hidup saya hingga saat ini, saya sudah menemui beberapa model kakus.
Pertama, model kakus jongkok. Meski tidak selalu terbuat dari keramik mengkilap, bentuk kakus jongkok yang saya temui juga beragam bentuk. Sewaktu masih kanak-kanak, kakus jongkok yang saya temui pertama terbuat dari bahan semen. Mungkin waktu itu bikin sendiri. Kakus ini terletak di ruang tersendiri, di samping kamar mandi. Bentuknya tidak jauh berbeda dengan kakus-kakus jongkok yang dijual bebas, terbuat dari keramik. Ada dua bidang sebagai tempat kaki menginjak, terpaut sekitar 30 cm berhadap-hadapan, di tengah-tengahnya terdapat bagian yang agak melengkung dan belakangnya terdapat lubang berdiameter sekitar 10 cm. Model kakus jongkok ini paling banyak saya temui di rumah-rumah penduduk dan tempat-tempat umum lainnya. Biasanya, ada tempat air entah itu bak mandi, atau ember, atau sekadar keran yang berada di samping kakus itu.
Suatu ketika, saya berkunjung ke rumah teman dan merasa butuh ke kakus. Ternyata, saya diajak ke luar rumahnya, bagian belakang. Karena malam, saya tidak tahu apakah itu kebun atau lahan kosong biasa. Kira-kira beberapa meter dari rumahnya, terdapat sebuah gubuk terbuat dari anyaman bambu atau anyaman daun kelapa, saya lupa, berbentuk seperti bilik telepon umum. Waduh, bau semerbak menyeruak dari dalam bilik itu. Rupanya, kakusnya terbuat dari kayu yang dilubangi. Ketika saya jongkok dan mengeluarkan isi perut, langsung masuk lubang itu, tanpa ada bunyi air. Berbeda dengan pengalaman saya ke rumah teman yang bagian belakangnya berdiri di atas sungai, suaranya langsung masuk ke dalam air.
Kedua, model kakus nangkring. Jenis kakus nangkring ini saya temui tidak jauh dari rumah saya sendiri, yaitu di tambak belakang langgar. Jenis ini memang bukan jenis kakus domestik, yang berada di dalam rumah. Ini adalah jenis kakus di luar rumah, biasanya ada di pinggir tambak atau pinggir sungai. Kakus ini terbuat dari sebatang kayu yang menjulur dari bibir tambak atau sungai ke tengah tambak atau sungai kira-kira 2-3 meter. Sekitar 1-1,5 meter di ujungnya yang berada di tengah tambak atau sungai ditutup dengan papan atau anyaman bambu atau apa saja yang bisa menutup sebentuk kubus. Di dalam kubus itu sesorang bisa membuang hajatnya dengan tenang, sambil melihat fesesnya dimakan ikan. Bisa juga membuang hajat sambil memancing ikan, asal ikannya sendiri, atau ikan liar atau tidak ketahuan pemiliknya.
Ketiga, model kakus duduk. Menggunakan jenis kakus ini seperti duduk di atas kursi. Bokong kita langsung ditempelkan di antara lubang yang tersedia. Saya menemui jenis kakus ini pertama kali di rumah orang kaya, lalu di hotel-hotel, dan di tempat-tempat umum lainnya yang tampaknya banyak uangnya. Pertama kali beol di kakus ini saya butuh adaptasi yang cukup. Sebab, pengalaman sebelumnya posisi bokong dalam kakus jongkok dan nangkring lebih enak untuk melakukan tekanan. Maklum saya punya kendala pencernaan.
Dari setidaknya jenis kakus ini, tampaknya kakus mengalami perkembangan. Jika masyarakat yang tidak menetap menggunakan kakus sembarangan, lalu berkembang model jongkok, tanpa air, lalu ada airnya, ada yang memanfaatkan sungai atau tambak, dan terakhir model kakus duduk. Kakus ini juga menjadi salah satu indikator kemiskinan masyarakat. Bagi masyarakat yang tidak memiliki kakus dalam rumah, termasuk bagian dari masyarakat miskin.
Sepanjang hidup saya hingga saat ini, saya sudah menemui beberapa model WC. Saya jadi agak ragu, apakah penggunaan istilah WC ini jadi relevan dengan bentuk-bentuk yang saya temui. Tampaknya istilah "Kakus" bisa lebih umum dan bisa menggambarkan pengalaman saya. Oke, sebut saja kakus, yang berarti tempat membuang air besar, apapun bentuknya. Jadi, sepanjang hidup saya hingga saat ini, saya sudah menemui beberapa model kakus.
Pertama, model kakus jongkok. Meski tidak selalu terbuat dari keramik mengkilap, bentuk kakus jongkok yang saya temui juga beragam bentuk. Sewaktu masih kanak-kanak, kakus jongkok yang saya temui pertama terbuat dari bahan semen. Mungkin waktu itu bikin sendiri. Kakus ini terletak di ruang tersendiri, di samping kamar mandi. Bentuknya tidak jauh berbeda dengan kakus-kakus jongkok yang dijual bebas, terbuat dari keramik. Ada dua bidang sebagai tempat kaki menginjak, terpaut sekitar 30 cm berhadap-hadapan, di tengah-tengahnya terdapat bagian yang agak melengkung dan belakangnya terdapat lubang berdiameter sekitar 10 cm. Model kakus jongkok ini paling banyak saya temui di rumah-rumah penduduk dan tempat-tempat umum lainnya. Biasanya, ada tempat air entah itu bak mandi, atau ember, atau sekadar keran yang berada di samping kakus itu.
Suatu ketika, saya berkunjung ke rumah teman dan merasa butuh ke kakus. Ternyata, saya diajak ke luar rumahnya, bagian belakang. Karena malam, saya tidak tahu apakah itu kebun atau lahan kosong biasa. Kira-kira beberapa meter dari rumahnya, terdapat sebuah gubuk terbuat dari anyaman bambu atau anyaman daun kelapa, saya lupa, berbentuk seperti bilik telepon umum. Waduh, bau semerbak menyeruak dari dalam bilik itu. Rupanya, kakusnya terbuat dari kayu yang dilubangi. Ketika saya jongkok dan mengeluarkan isi perut, langsung masuk lubang itu, tanpa ada bunyi air. Berbeda dengan pengalaman saya ke rumah teman yang bagian belakangnya berdiri di atas sungai, suaranya langsung masuk ke dalam air.
Kedua, model kakus nangkring. Jenis kakus nangkring ini saya temui tidak jauh dari rumah saya sendiri, yaitu di tambak belakang langgar. Jenis ini memang bukan jenis kakus domestik, yang berada di dalam rumah. Ini adalah jenis kakus di luar rumah, biasanya ada di pinggir tambak atau pinggir sungai. Kakus ini terbuat dari sebatang kayu yang menjulur dari bibir tambak atau sungai ke tengah tambak atau sungai kira-kira 2-3 meter. Sekitar 1-1,5 meter di ujungnya yang berada di tengah tambak atau sungai ditutup dengan papan atau anyaman bambu atau apa saja yang bisa menutup sebentuk kubus. Di dalam kubus itu sesorang bisa membuang hajatnya dengan tenang, sambil melihat fesesnya dimakan ikan. Bisa juga membuang hajat sambil memancing ikan, asal ikannya sendiri, atau ikan liar atau tidak ketahuan pemiliknya.
Ketiga, model kakus duduk. Menggunakan jenis kakus ini seperti duduk di atas kursi. Bokong kita langsung ditempelkan di antara lubang yang tersedia. Saya menemui jenis kakus ini pertama kali di rumah orang kaya, lalu di hotel-hotel, dan di tempat-tempat umum lainnya yang tampaknya banyak uangnya. Pertama kali beol di kakus ini saya butuh adaptasi yang cukup. Sebab, pengalaman sebelumnya posisi bokong dalam kakus jongkok dan nangkring lebih enak untuk melakukan tekanan. Maklum saya punya kendala pencernaan.
Dari setidaknya jenis kakus ini, tampaknya kakus mengalami perkembangan. Jika masyarakat yang tidak menetap menggunakan kakus sembarangan, lalu berkembang model jongkok, tanpa air, lalu ada airnya, ada yang memanfaatkan sungai atau tambak, dan terakhir model kakus duduk. Kakus ini juga menjadi salah satu indikator kemiskinan masyarakat. Bagi masyarakat yang tidak memiliki kakus dalam rumah, termasuk bagian dari masyarakat miskin.
Post a Comment