Asbak
Ketika di suatu tempat, yang saya cari adalah asbak. Ya, saya adalah perokok aktif, bahkan aktivis perokok. Sebagai aktivis perokok, saya juga menghormati perokok pasif. Karena itu, asbak adalah bagian penting bagi saya.
Sebagaimana dinyatakan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 57/PUU-IX/2011, bahwa merokok adalah hak setiap orang. Karena itu, setiap tempat yang memberlakukan larangan merokok wajib menyediakan area untuk merokok. Putusan MK itu tampaknya memang kontroversial, di satu sisi ada gerakan luar biasa untuk melarang merokok, tapi di sisi lain jumlah perokok di negara ini sangat besar. Perkara rokok ini memang bukan sekadar kesehatan, tetapi juga perkara ekonomi. Sebagaimana diketahui, bahwa pendapatan negara dari rokok cukup besar dibandingkan dengan komoditas lainnya. Perputaran uang dari komoditas rokok di tengah masyarakat juga tidak sedikit, baik bagi para petani tembakau dan cengkih, buruh pabrik rokok, maupun pedagang atau warung-warung yang menjual rokok, serta hal-hal lain terkait rokok, termasuk komoditas asbak. Karena itu, melarang kegiatan merokok secara sekaligus bukanlah perkara mudah.
Kehadiran asbak tidak bisa dipisahkan dari keberadaan rokok. Walaupun asbak ada akibat rokok, tetapi produksi asbak bukan perkara yang bisa diremehkan. Industri asbak muncul di mana-mana, dengan bahan yang beraneka ragam, mulai dari bahan kayu, keramik, sampai stainlees steel. Bentuknya pun bermacam-macam. Bahkan saya pernah mendapat sebuah asbak berbentuk penis berbahan kayu dari seorang gadis. Bisnis asbak saya kira tampaknya juga cukup menarik, walaupun tidak seekonomis rokok itu sendiri.
Bagi orang-orang tertentu, asbak bukan hanya untuk keperluan menampung abu rokok. Asbak banyak juga dipergunakan sekadar hiasan dan juga souvenir. Perusahaan-perusahaan rokok besar juga tidak jarang memberikan asbak cuma-cuma pada warung-warung atau rumah makan yang tidak melarang konsumennya merokok. Saya termasuk orang yang tidak pernah beli asbak, karena beberapa kali diberi penjaga rumah makan.
Kadang saya heran dan sekaligus merasa lucu ada kafe yang tidak mempunyai asbak. Mungkin mereka menganggap asbak bukan barang penting, padahal dia tidak melarang konsumennya merokok. Bagi saya, asbak dan rokok adalah pasangan penting selain pasangan rokok dan korek. Memang, asbak tak perlu dibawa bersamaan dengan rokok seperti korek, tetapi di tempat-tempat tertentu asbak sangat penting dalam konteks etika merokok.
Saya punya teman, senior saya, yang sangat memperhatikan kebersihan ruangnya. Sebutir percikan abu rokok pun akan dia ambil, dan dimasukkan ke dalam asbak. Ada juga teman yang tidak pernah tahan melihat asbak di hadapannya penuh dengan putung rokok, sehingga jika ada beberapa putung rokok dalam asbak akan segera dibuang ke tempat sampah.
Asbak memang tempat sampah, tapi lebih terkhusus untuk sampah rokok. Di beberapa kontrakan teman-teman, asbak kadang seadanya, tapi pasti ada. Ada yang bikin sendiri dari kaleng, ada yang dari kardus rokok, ada pula terpaksa melipat kertas seadanya. Yang jelas asbak sangat membutuhkan rokok. Kalau rokok sudah tidak ada, buat apa lagi asbak?
Sebagaimana dinyatakan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 57/PUU-IX/2011, bahwa merokok adalah hak setiap orang. Karena itu, setiap tempat yang memberlakukan larangan merokok wajib menyediakan area untuk merokok. Putusan MK itu tampaknya memang kontroversial, di satu sisi ada gerakan luar biasa untuk melarang merokok, tapi di sisi lain jumlah perokok di negara ini sangat besar. Perkara rokok ini memang bukan sekadar kesehatan, tetapi juga perkara ekonomi. Sebagaimana diketahui, bahwa pendapatan negara dari rokok cukup besar dibandingkan dengan komoditas lainnya. Perputaran uang dari komoditas rokok di tengah masyarakat juga tidak sedikit, baik bagi para petani tembakau dan cengkih, buruh pabrik rokok, maupun pedagang atau warung-warung yang menjual rokok, serta hal-hal lain terkait rokok, termasuk komoditas asbak. Karena itu, melarang kegiatan merokok secara sekaligus bukanlah perkara mudah.
Kehadiran asbak tidak bisa dipisahkan dari keberadaan rokok. Walaupun asbak ada akibat rokok, tetapi produksi asbak bukan perkara yang bisa diremehkan. Industri asbak muncul di mana-mana, dengan bahan yang beraneka ragam, mulai dari bahan kayu, keramik, sampai stainlees steel. Bentuknya pun bermacam-macam. Bahkan saya pernah mendapat sebuah asbak berbentuk penis berbahan kayu dari seorang gadis. Bisnis asbak saya kira tampaknya juga cukup menarik, walaupun tidak seekonomis rokok itu sendiri.
Bagi orang-orang tertentu, asbak bukan hanya untuk keperluan menampung abu rokok. Asbak banyak juga dipergunakan sekadar hiasan dan juga souvenir. Perusahaan-perusahaan rokok besar juga tidak jarang memberikan asbak cuma-cuma pada warung-warung atau rumah makan yang tidak melarang konsumennya merokok. Saya termasuk orang yang tidak pernah beli asbak, karena beberapa kali diberi penjaga rumah makan.
Kadang saya heran dan sekaligus merasa lucu ada kafe yang tidak mempunyai asbak. Mungkin mereka menganggap asbak bukan barang penting, padahal dia tidak melarang konsumennya merokok. Bagi saya, asbak dan rokok adalah pasangan penting selain pasangan rokok dan korek. Memang, asbak tak perlu dibawa bersamaan dengan rokok seperti korek, tetapi di tempat-tempat tertentu asbak sangat penting dalam konteks etika merokok.
Saya punya teman, senior saya, yang sangat memperhatikan kebersihan ruangnya. Sebutir percikan abu rokok pun akan dia ambil, dan dimasukkan ke dalam asbak. Ada juga teman yang tidak pernah tahan melihat asbak di hadapannya penuh dengan putung rokok, sehingga jika ada beberapa putung rokok dalam asbak akan segera dibuang ke tempat sampah.
Asbak memang tempat sampah, tapi lebih terkhusus untuk sampah rokok. Di beberapa kontrakan teman-teman, asbak kadang seadanya, tapi pasti ada. Ada yang bikin sendiri dari kaleng, ada yang dari kardus rokok, ada pula terpaksa melipat kertas seadanya. Yang jelas asbak sangat membutuhkan rokok. Kalau rokok sudah tidak ada, buat apa lagi asbak?
Post a Comment