Berburu Jambu Air di Musim Hujan
Dulu, ketika musim hujan tiba seringkali diiringi musim jambu air, yang biasa kami sebut jambu kelampok. Pada saat itu, hujan-hujanan sambil berburu jambu air menjadi kebiasaan yang menyenangkan. Setidaknya ada empat jenis jambu air yang tumbuh di desa saya, yaitu: jambu kelampok merah ukuran sedang, jambu kelampok merah ukuran kecil, jambu kelampok putih ukuran besar, jambu kelampok putih ukuran sedang, dan jambu kelampok putih ukuran kecil.
Jambu kelampok merah ukuran sedang tumbuh di halaman rumah bude saya. Konon, jenis jambu ini dibawah orangtua saya dari Paciran Lamongan. Tiga jenis jambu kelampok lainnya saya temukan di daerah Ngaren. Jambu-jambu itu saya tahu karena kami berburu ketika hujan.
Berburu jambu ketika hujan itu memang strategis. Pemiliknya tidak bisa berkutik ketika kami memetiknya atau melempari dengan batu. Walaupun pemiliknya marah-marah, tapi suaranya teredam oleh suara rinai hujan yang keras. Bisa jadi ada puluhan anak-anak yang punya hobi sama. Dengan santainya kami memboyong jambu-jambu itu untuk di makan bersama.
Problemnya, jambu-jambu air atau kelampok ketika sudah masuk musim hujan seringkali sudah banyak ulatnya. Rasanya juga tidak terlalu manis, karena kandungan airnya terlampau banyak.
Meski suka berburu jambu kelampok, sebenarnya saya juga tidak terlalu doyan. Mungkin sudah terlalu bosan. Apalagi kalau lihat jambu yang sudah dibawa codot alias kelelawar. Kesannya menjijikkan. Tapi saya selalu tergoda untuk memakan jenis jambu warna putih ukuran besar. Warnanya begitu menggoda. Sayangnya jenis ini cukup jarang. Sampai sekarang, saya pun enggan makan jambu air atau kelampok itu.
Saya tidak tahu, apakah anak-anak di desa saya masih suka hujan-hujan? Apalagi berburu jambu hingga jauh? Seperti sudah langka...
Jambu kelampok merah ukuran sedang tumbuh di halaman rumah bude saya. Konon, jenis jambu ini dibawah orangtua saya dari Paciran Lamongan. Tiga jenis jambu kelampok lainnya saya temukan di daerah Ngaren. Jambu-jambu itu saya tahu karena kami berburu ketika hujan.
Berburu jambu ketika hujan itu memang strategis. Pemiliknya tidak bisa berkutik ketika kami memetiknya atau melempari dengan batu. Walaupun pemiliknya marah-marah, tapi suaranya teredam oleh suara rinai hujan yang keras. Bisa jadi ada puluhan anak-anak yang punya hobi sama. Dengan santainya kami memboyong jambu-jambu itu untuk di makan bersama.
Problemnya, jambu-jambu air atau kelampok ketika sudah masuk musim hujan seringkali sudah banyak ulatnya. Rasanya juga tidak terlalu manis, karena kandungan airnya terlampau banyak.
Meski suka berburu jambu kelampok, sebenarnya saya juga tidak terlalu doyan. Mungkin sudah terlalu bosan. Apalagi kalau lihat jambu yang sudah dibawa codot alias kelelawar. Kesannya menjijikkan. Tapi saya selalu tergoda untuk memakan jenis jambu warna putih ukuran besar. Warnanya begitu menggoda. Sayangnya jenis ini cukup jarang. Sampai sekarang, saya pun enggan makan jambu air atau kelampok itu.
Saya tidak tahu, apakah anak-anak di desa saya masih suka hujan-hujan? Apalagi berburu jambu hingga jauh? Seperti sudah langka...
Post a Comment