Biar Cacat Asal Melayang
Entah sudah sejak kapan masyarakat negeri ini mengalami kekecewaan akibat ulah aparat penegak hukum. Mulai dari polisi, pimpinan KPK, jaksa, hakim, bahkan advokat, telah berhasil menandai kesan buruk terhadap keadilan yang diperjuangkan. Dari berbagai kasus penanda kesan buruk penegakan hukum ini tampak penegak hukum tidak mampu benar-benar berintegritas, independen dan imparsial. Padahal moral penegak hukum sangat tergantung pada prinsip integritas, independen dan imparsialitas ini.
Polisi sering disebut sebagai kacung alias anjing peliharaan pemegang modal. Walaupun ketika istilah polisi tidak semata-mata merujuk kepada nama kelembagaan, tetapi sebutan polisi juga langsung merujuk pada orang-orang yang masuk dalam sistem kepolisian. Karena itu tidak heran jika ada aparat polisi yang baik pun telah menjadi bagian dari kesan buruk bagi polisi. Begitu juga jaksa, hakim dan advokat.
Saya sendiri sudah mencoba berusaha untuk bersikap fair dan obyektif untuk memilah dengan sebutan "oknum" agar tidak menggeralisasi seluruh anggota korps aparat penegak hukum. Namun, sikap fair dan obyektif itu sudah terlalu melelahkan. Terlalu banyak kasus aparat penegak hukum yang jumlahnya memang terbatas itu.
Isu potong generasi pada aparat penegak hukum tampaknya bukanlah hal yang tak wajar untuk diangkat. Generasi aparat penegak hukum yang masuk struktur hukum secara nyogok, kongkalikong, dan tidak fair harus dibuang jauh-jauh dari negeri ini. Biarkan generasi yang tampak lugu, lurus, dan berintegritas menguasai struktur hukum ini agar budaya hukum yang didambakan republik yang sudah 60 tahun lebih ini bisa terwujud.
Mungkin kita sudah punya substansi hukum dan sistem pengawalan substansi hukum yang bagus. Namun jika budaya hukum baik yang berlaku di kalangan masyarakat dan struktur hukumnya kacau, apa arti substansi hukum yang ideal? Memang, para aktor legislatif dan eksekutif yang suka mengintervensi sistem hukum di negeri ini tidak bisa diabaikan. Bagaimana kita bisa mempercayai sebuah proses peradilan dalam menangani kasus sengketa parpol, jika struktur hukum yang ada sangat rentan dan tak tahan godaan, bisa menghasilkan putusan yang berkeadilan?
Kadang ide potong generasi tidak cukup. Mungkin sebaiknya kita membuat sistem ketatanegaraan yang baru. Omong kosong penerapan sistem trias politika di negeri ini lagi. Sistem itu tampaknya sudah tidak kompatibel dengan gagasan demokrasi yang didambakan bangsa Indonesia. Praktik demokrasi yang sedang berjalan sekarang ini mungkin hanyalah upacara pemakaman cita-cita pembentukan negara Republik Indonesia.
Seperti mengurai benang kusut yang akut, mungkin kita sudah mengetahui mana ujung, mana pangkal. Tetapi kekusutan yang sudah saling mengikat tak mungkin lagi diurai secara konvensional. Pusat-pusat kekusutan itu kadang lebih baik dipotong saja, lalu disambung lagi, sehingga menghasilkan sebuah benang yang terurai panjang, walau ada cacat di tengah-tengah, yang penting layang-layang bisa terbang tinggi di angkasa.
Polisi sering disebut sebagai kacung alias anjing peliharaan pemegang modal. Walaupun ketika istilah polisi tidak semata-mata merujuk kepada nama kelembagaan, tetapi sebutan polisi juga langsung merujuk pada orang-orang yang masuk dalam sistem kepolisian. Karena itu tidak heran jika ada aparat polisi yang baik pun telah menjadi bagian dari kesan buruk bagi polisi. Begitu juga jaksa, hakim dan advokat.
Saya sendiri sudah mencoba berusaha untuk bersikap fair dan obyektif untuk memilah dengan sebutan "oknum" agar tidak menggeralisasi seluruh anggota korps aparat penegak hukum. Namun, sikap fair dan obyektif itu sudah terlalu melelahkan. Terlalu banyak kasus aparat penegak hukum yang jumlahnya memang terbatas itu.
Isu potong generasi pada aparat penegak hukum tampaknya bukanlah hal yang tak wajar untuk diangkat. Generasi aparat penegak hukum yang masuk struktur hukum secara nyogok, kongkalikong, dan tidak fair harus dibuang jauh-jauh dari negeri ini. Biarkan generasi yang tampak lugu, lurus, dan berintegritas menguasai struktur hukum ini agar budaya hukum yang didambakan republik yang sudah 60 tahun lebih ini bisa terwujud.
Mungkin kita sudah punya substansi hukum dan sistem pengawalan substansi hukum yang bagus. Namun jika budaya hukum baik yang berlaku di kalangan masyarakat dan struktur hukumnya kacau, apa arti substansi hukum yang ideal? Memang, para aktor legislatif dan eksekutif yang suka mengintervensi sistem hukum di negeri ini tidak bisa diabaikan. Bagaimana kita bisa mempercayai sebuah proses peradilan dalam menangani kasus sengketa parpol, jika struktur hukum yang ada sangat rentan dan tak tahan godaan, bisa menghasilkan putusan yang berkeadilan?
Kadang ide potong generasi tidak cukup. Mungkin sebaiknya kita membuat sistem ketatanegaraan yang baru. Omong kosong penerapan sistem trias politika di negeri ini lagi. Sistem itu tampaknya sudah tidak kompatibel dengan gagasan demokrasi yang didambakan bangsa Indonesia. Praktik demokrasi yang sedang berjalan sekarang ini mungkin hanyalah upacara pemakaman cita-cita pembentukan negara Republik Indonesia.
Seperti mengurai benang kusut yang akut, mungkin kita sudah mengetahui mana ujung, mana pangkal. Tetapi kekusutan yang sudah saling mengikat tak mungkin lagi diurai secara konvensional. Pusat-pusat kekusutan itu kadang lebih baik dipotong saja, lalu disambung lagi, sehingga menghasilkan sebuah benang yang terurai panjang, walau ada cacat di tengah-tengah, yang penting layang-layang bisa terbang tinggi di angkasa.
Post a Comment