Holy Day is Holiday
Hari libur di bulan Mei 2015 ini rupanya lebih banyak dibanding bulan-bulan lain. Diawali dengan May Day pada 1 Mei untuk memperingati Hari Buruh Internasional, lalu 14 Mei Hari Kenaikan Al-Masih, dan 16 Mei Peringatan Isra' Mi'raj. Dengan demikian, Bulan Mei mengalahkan Januari dan Desember 2015 yang masing-masing terdapat dua hari libur: Tahun Baru dan Maulid Nabi serta Natal dan Maulid Nabi.
Liburan dalam bahasa Inggris biasa menggunakan istilah Holiday. Saya menduga istilah Holiday berasal dari dua kata: Holy dan Day yang berarti Hari Suci. Istilah Suci biasanya terkait dengan perkara agama. Bagi umat Islam: hari suci mingguan jatuh pada hari Jumat; tahunan terjadi dalam beberapa bulan, yaitu Idul Fitri, Idul Adha. Di Indonesia ada beberapa tambahan lagi, yaitu: Maulid Nabi Muhammad, Isra' dan Mi'raj, dan Tahun Baru Hijriyah. Bagi Kristiani, hari suci mingguan jatuh pada hari Minggu dan untuk tahunan terjadi pada Hari Natal dan Kenaikan Isa Al-Masih.
Hari suci mingguan yang paling berpengaruh di dunia ini adalah hari Minggu dan hari Jumat. Namun hari Minggu pengaruhnya lebih luas dibanding hari Jumat. Di Timur Tengah hari Jum'at lebih berpengaruh, tetapi di Eropa, Amerika, dan Asia pada umumnya hari Jumat tetap masuk.
Menariknya, jika ada transaksi antara negara dalam kondisi hari suci mingguan yang berbeda, seperti yang dialami teman saya, Zaini Rahman. Suatu ketika Zaini bersama rombongannya sampai di Qatar pada hari Jum'at. Di negara tersebut hari Jum'at adalah hari libur mingguan. Zaini menanti transfer uang yang melebihi batas pengiriman melalui ATM, sehingga harus transaksi antar bank. Karena di Qatar libur, terpaksa menunggu esok harinya. Naasnya, transaksi di Indonesia hanya bisa pada hari Senin, karena hari Minggu di Indonesia adalah masuk hari suci mingguan. Akhirnya, Zaini baru bisa menerima uang pada hari Selasa. Lima hari Zaini bersama rombongan terkatung-katung di bandara Qatar akibat perbedaan libur hari suci.
Soal hari suci yang meliburkan hari kerja dan sekolah menunjukkan bahwa bangsa-bangsa di seluruh dunia menjunjung tinggi agama umatnya. Menariknya, Indonesia pernah mengatur peliburan hari-hari suci tahunan tersebut disesuaikan dengan hari suci mingguan. Hari-hari suci yang menyebabkan libur pada hari kerja digeser-geser mendekati hari libur mingguan sehingga liburan menjadi panjang. Kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Presiden Gus Dur tersebut menuai pro-kontra. Bagi kalangan umum, libur panjang memang dinantikan. Tetapi bagi kalangan agamawan tertentu, penggeseran libur itu dianggap merusak kesucian hari suci. Kalau saya sih lebih setuju liburannya digabungkan dengan hari suci mingguan. Hehehe..
Saya kira, orang-orang yang merasa paling dirugikan akibat liburan hari suci ini adalah kelompok orang buruh harian dan kelompok orang yang memproduksi barang, seperti pabrik. Dengan adanya libur, produksi mereka berkurang. Tetapi tentunya pihak perusahaan sudah punya perhitungan tersendiri, termasuk adanya hari libur. Jika dalam satu tahun terdapat 15 hari libur, tentu target produksi tertentu dikurangi hasil 15 hari produksi. Jika sehari targetnya 1.000 barang, misalnya, setahun berarti 365.000 barang dikurangi 15.000 barang. Jadi target produksi per tahun hanyalah 350.0000. Kalau ingin lebih, tentu membuat piket kerja lembur, yang berarti menambah biaya gaji buruh.
Nah, apakah sedikit-banyaknya libur di suatu negara mempengaruhi kesejahteraan rakyatnya? Saya kira ini perlu kajian yang lebih jauh. Yang jelas, kesejahteraan itu tidak melulu dilihat secara matrial. Kebahagian dan ketenangan hati juga bagian dari indikator kesejahteraan. Jika orang-orang libur bisa menurunkan tingkat kestresan, kenapa tidak, atau sebaliknya jika libur seseorang bisa menjadi stres. Karena itu, pembuat kebijakan libur karena hari Buruh Internasional bukan persoalan sepele. Lobi-lobi di antara para pengusaha, buruh, dan politisi terjadi cukup kencang. Namun bargain buruh berhasil menaklukkan. Toh, ketika tidak diliburkan, banyak juga yang meliburkan diri, ruginya malah berlipat.
Berbeda dengan libur yang diakibatkan oleh hari suci. Bargain agama sangat kuat dan sulit untuk ditolak.
Liburan dalam bahasa Inggris biasa menggunakan istilah Holiday. Saya menduga istilah Holiday berasal dari dua kata: Holy dan Day yang berarti Hari Suci. Istilah Suci biasanya terkait dengan perkara agama. Bagi umat Islam: hari suci mingguan jatuh pada hari Jumat; tahunan terjadi dalam beberapa bulan, yaitu Idul Fitri, Idul Adha. Di Indonesia ada beberapa tambahan lagi, yaitu: Maulid Nabi Muhammad, Isra' dan Mi'raj, dan Tahun Baru Hijriyah. Bagi Kristiani, hari suci mingguan jatuh pada hari Minggu dan untuk tahunan terjadi pada Hari Natal dan Kenaikan Isa Al-Masih.
Hari suci mingguan yang paling berpengaruh di dunia ini adalah hari Minggu dan hari Jumat. Namun hari Minggu pengaruhnya lebih luas dibanding hari Jumat. Di Timur Tengah hari Jum'at lebih berpengaruh, tetapi di Eropa, Amerika, dan Asia pada umumnya hari Jumat tetap masuk.
Menariknya, jika ada transaksi antara negara dalam kondisi hari suci mingguan yang berbeda, seperti yang dialami teman saya, Zaini Rahman. Suatu ketika Zaini bersama rombongannya sampai di Qatar pada hari Jum'at. Di negara tersebut hari Jum'at adalah hari libur mingguan. Zaini menanti transfer uang yang melebihi batas pengiriman melalui ATM, sehingga harus transaksi antar bank. Karena di Qatar libur, terpaksa menunggu esok harinya. Naasnya, transaksi di Indonesia hanya bisa pada hari Senin, karena hari Minggu di Indonesia adalah masuk hari suci mingguan. Akhirnya, Zaini baru bisa menerima uang pada hari Selasa. Lima hari Zaini bersama rombongan terkatung-katung di bandara Qatar akibat perbedaan libur hari suci.
Soal hari suci yang meliburkan hari kerja dan sekolah menunjukkan bahwa bangsa-bangsa di seluruh dunia menjunjung tinggi agama umatnya. Menariknya, Indonesia pernah mengatur peliburan hari-hari suci tahunan tersebut disesuaikan dengan hari suci mingguan. Hari-hari suci yang menyebabkan libur pada hari kerja digeser-geser mendekati hari libur mingguan sehingga liburan menjadi panjang. Kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Presiden Gus Dur tersebut menuai pro-kontra. Bagi kalangan umum, libur panjang memang dinantikan. Tetapi bagi kalangan agamawan tertentu, penggeseran libur itu dianggap merusak kesucian hari suci. Kalau saya sih lebih setuju liburannya digabungkan dengan hari suci mingguan. Hehehe..
Saya kira, orang-orang yang merasa paling dirugikan akibat liburan hari suci ini adalah kelompok orang buruh harian dan kelompok orang yang memproduksi barang, seperti pabrik. Dengan adanya libur, produksi mereka berkurang. Tetapi tentunya pihak perusahaan sudah punya perhitungan tersendiri, termasuk adanya hari libur. Jika dalam satu tahun terdapat 15 hari libur, tentu target produksi tertentu dikurangi hasil 15 hari produksi. Jika sehari targetnya 1.000 barang, misalnya, setahun berarti 365.000 barang dikurangi 15.000 barang. Jadi target produksi per tahun hanyalah 350.0000. Kalau ingin lebih, tentu membuat piket kerja lembur, yang berarti menambah biaya gaji buruh.
Nah, apakah sedikit-banyaknya libur di suatu negara mempengaruhi kesejahteraan rakyatnya? Saya kira ini perlu kajian yang lebih jauh. Yang jelas, kesejahteraan itu tidak melulu dilihat secara matrial. Kebahagian dan ketenangan hati juga bagian dari indikator kesejahteraan. Jika orang-orang libur bisa menurunkan tingkat kestresan, kenapa tidak, atau sebaliknya jika libur seseorang bisa menjadi stres. Karena itu, pembuat kebijakan libur karena hari Buruh Internasional bukan persoalan sepele. Lobi-lobi di antara para pengusaha, buruh, dan politisi terjadi cukup kencang. Namun bargain buruh berhasil menaklukkan. Toh, ketika tidak diliburkan, banyak juga yang meliburkan diri, ruginya malah berlipat.
Berbeda dengan libur yang diakibatkan oleh hari suci. Bargain agama sangat kuat dan sulit untuk ditolak.
Post a Comment