Ketika Jodoh Tidak Pasti
Banyak anak muda bingung setengah mati gara-gara jomblo. Bagi yang punya pacar jangan dikira mereka semua senang dan bahagia. Bahkan tidak kurang anak-anak muda malah menyesal punya pacar, yang makan ati. Sebelum jadi pacar saja mereka mengejar sampai ke rumah dukun, bahkan hartanya habis demi meraih cinta si dia. Begitu kena, jadian, ternyata perang tiada henti.
Semasa ibtidaiyah, terus terang saya juga mengidamkan seorang gadis kelas saya. Saya membayangkan yang ada rasa senang dan bahagia jika bersama gadis itu. Begitu saya ketemu gadis itu, ternyata saya takut. Begitu juga ketika Tsanawiyah, saya juga punya bayangan yang sama. Rasanya senang sekali senyumanku disambut oleh senyumnya. Bahkan, ketika Aliyah pun tidak jauh berbeda.
Masa-masa aliyah, konon, masa-masa melewati puncak puber. Di malam-malam menjelang tidur, rasanya di kelopak mataku selalu tergambar sosok gadis yang kusuka. Gadis itu adik kelas saya. Entah cinta saya terkoneksi atau tidak, saya tidak pernah tahu. Ketika bertemu, kami tampak sama-sama malu. Jantungku terasa berdetak lebih kencang daripada biasanya. Hati terasa aneh, antara ciut dan ingin. Antara berani dan sungkan. Maklum, saya orang kampung yang menilai tabu tentang pacaran.
Ketika malam, menjelang tidur, saat bayangannya melayang-layang di pikiran, ternyata muncul juga pikiran lain. "Sepertinya tidak mungkin saya menikah dengannya," begitu di antara pikiran yang muncul. Terpikir dalam benak bahwa saya masih aliyah, usia masih 16-18 tahun. Sementara usia orang menikah di kampung saya rata-rata sudah di atas usia 25 tahun. Setidaknya saya butuh waktu 7 tahun untuk menikahinya. Saya tidak terbayang apa yang bakal terjadi sepanjang waktu itu. Karena saya berpikir demikian, saya tidak terlalu serius mengejarnya. Ternyata benar, belum 5 tahun, gadis pujaan saya itu dinikahkan orangtuanya dengan pelayar. Saya tahunya dari senior saya, sebab saya sudah merantau.
Sejak punya pikiran tentang ketidakpastian jodoh di masa yang akan datang, terus terang, saya tidak pernah serius mencari pacar. Bahkan saya memperteguh keyakinan tentang ketidakpastian jodoh. Saya menyaksikan bukan hanya orang pacaran saja yang bisa putus sia-sia, bahkan pasangan kakek-nenek pun bisa tercerai berai meninggalkan janji sucinya yang sudah terjalin lima-puluhan tahun. Karena itu saya heran saja jika dengar atau melihat ada pasangan pacaran perang hebat, bahkan cakar-cakaran secara fisik. "Masih pacaran saja sudah begitu, apalagi kalau menikah?" pikir saya.
Secara verbal, terus terang, saya pernah pacaran sekali. Walaupun pacaran, tapi pacaran saya sifatnya kontrak. Kesannya main-main juga. Waktu itu, kalau tidak salah 11 Mei 1999, saya membuat perjanjian pacaran dengan seorang gadis untuk jangka waktu satu bulan. Dalam perjanjian itu juga dinyatakan, apabila setelah satu bulan masih ingin berlanjut, maka hanya bisa ditambah satu bulan.
Dalam kenyataannya, belum satu bulan saya sudah tidak betah. Saya merasa benar-benar jatuh cinta dengan gadis itu. Saya merasa terganggu dengan bayangan-bayangan dia di setiap saat. Waktu tidur, ingat. Waktu makan, ingat. Bahkan waktu mandi, juga ingat dia. Rasanya hati saya capek oleh kerinduan-kerinduan yang menggebu-gebu itu. Saya pun putus. Menurut pengakuan kami dalam surat laporan pertanggungjawaban selama satu bulan kontrak, ternyata kami sama-sama cinta. Tapi gadis itu akhirnya dilamar orang juga, apalagi didesak orangtuanya untuk segera menikah.
Hingga akhirnya, bulan Juni 2007 saya berkenalan dengan seorang gadis di sebuah acara di Malang. Perkenalan biasa saja, tanpa ada perasaan serius. Sempat kontak lagi di bulan Agustus 2007, lalu ketemu pada Desember 2007 kebetulan gadis itu ada acara di kota tempat saya tinggal. Telepon dan sms mulai sering. Bertemu lagi pada Februari atau Maret 2008. Sejak itu terbesit saya ingin menikahinya. Barulah dalam telepon dan sms Mei 2008 saya putuskan untuk menyampaikan keinginan menikahinya. Terjadilah, 20 Mei saya berhasil menyatakan, 5 Juni bersama kakak ke rumah orang tuanya, dan 8 Juli keluarga saya melamar, hingga 12 Oktober kami menikah. Kami terpaut oleh jarak wilayah yang cukup jauh. Dan jodoh itu kini sudah 7 tahun terikat, semoga tetap langgeng.
Memang, ada orang yang berpandangan bahwa dengan pacaran, keduanya saling mengenal, agar siap saat menikah. Bahkan ada yang 20 tahun pacaran, tapi usia perkawinannya hanya 3 bulan. Saya kira, perkenalan mereka gagal. Jangan-jangan, walaupun 20 tahun pacaran, mereka saling pura-pura atau tidak saling jujur atau bisa jadi salah obyek yang dikenali. Mestinya, kira-kira, obyek yang dikenali bukan hanya fisiknya, tetapi karakter dan kebiasaan-kebiasaannya. Jika dalam pengenalan karakter dan kebiasaan itu dinilai ada ketidakcocokan yang mendasar, berarti harus siap dengan akibat-akibatnya. Kalau tidak siap, kenapa harus maksa?
Semasa ibtidaiyah, terus terang saya juga mengidamkan seorang gadis kelas saya. Saya membayangkan yang ada rasa senang dan bahagia jika bersama gadis itu. Begitu saya ketemu gadis itu, ternyata saya takut. Begitu juga ketika Tsanawiyah, saya juga punya bayangan yang sama. Rasanya senang sekali senyumanku disambut oleh senyumnya. Bahkan, ketika Aliyah pun tidak jauh berbeda.
Masa-masa aliyah, konon, masa-masa melewati puncak puber. Di malam-malam menjelang tidur, rasanya di kelopak mataku selalu tergambar sosok gadis yang kusuka. Gadis itu adik kelas saya. Entah cinta saya terkoneksi atau tidak, saya tidak pernah tahu. Ketika bertemu, kami tampak sama-sama malu. Jantungku terasa berdetak lebih kencang daripada biasanya. Hati terasa aneh, antara ciut dan ingin. Antara berani dan sungkan. Maklum, saya orang kampung yang menilai tabu tentang pacaran.
Ketika malam, menjelang tidur, saat bayangannya melayang-layang di pikiran, ternyata muncul juga pikiran lain. "Sepertinya tidak mungkin saya menikah dengannya," begitu di antara pikiran yang muncul. Terpikir dalam benak bahwa saya masih aliyah, usia masih 16-18 tahun. Sementara usia orang menikah di kampung saya rata-rata sudah di atas usia 25 tahun. Setidaknya saya butuh waktu 7 tahun untuk menikahinya. Saya tidak terbayang apa yang bakal terjadi sepanjang waktu itu. Karena saya berpikir demikian, saya tidak terlalu serius mengejarnya. Ternyata benar, belum 5 tahun, gadis pujaan saya itu dinikahkan orangtuanya dengan pelayar. Saya tahunya dari senior saya, sebab saya sudah merantau.
Sejak punya pikiran tentang ketidakpastian jodoh di masa yang akan datang, terus terang, saya tidak pernah serius mencari pacar. Bahkan saya memperteguh keyakinan tentang ketidakpastian jodoh. Saya menyaksikan bukan hanya orang pacaran saja yang bisa putus sia-sia, bahkan pasangan kakek-nenek pun bisa tercerai berai meninggalkan janji sucinya yang sudah terjalin lima-puluhan tahun. Karena itu saya heran saja jika dengar atau melihat ada pasangan pacaran perang hebat, bahkan cakar-cakaran secara fisik. "Masih pacaran saja sudah begitu, apalagi kalau menikah?" pikir saya.
Secara verbal, terus terang, saya pernah pacaran sekali. Walaupun pacaran, tapi pacaran saya sifatnya kontrak. Kesannya main-main juga. Waktu itu, kalau tidak salah 11 Mei 1999, saya membuat perjanjian pacaran dengan seorang gadis untuk jangka waktu satu bulan. Dalam perjanjian itu juga dinyatakan, apabila setelah satu bulan masih ingin berlanjut, maka hanya bisa ditambah satu bulan.
Dalam kenyataannya, belum satu bulan saya sudah tidak betah. Saya merasa benar-benar jatuh cinta dengan gadis itu. Saya merasa terganggu dengan bayangan-bayangan dia di setiap saat. Waktu tidur, ingat. Waktu makan, ingat. Bahkan waktu mandi, juga ingat dia. Rasanya hati saya capek oleh kerinduan-kerinduan yang menggebu-gebu itu. Saya pun putus. Menurut pengakuan kami dalam surat laporan pertanggungjawaban selama satu bulan kontrak, ternyata kami sama-sama cinta. Tapi gadis itu akhirnya dilamar orang juga, apalagi didesak orangtuanya untuk segera menikah.
Hingga akhirnya, bulan Juni 2007 saya berkenalan dengan seorang gadis di sebuah acara di Malang. Perkenalan biasa saja, tanpa ada perasaan serius. Sempat kontak lagi di bulan Agustus 2007, lalu ketemu pada Desember 2007 kebetulan gadis itu ada acara di kota tempat saya tinggal. Telepon dan sms mulai sering. Bertemu lagi pada Februari atau Maret 2008. Sejak itu terbesit saya ingin menikahinya. Barulah dalam telepon dan sms Mei 2008 saya putuskan untuk menyampaikan keinginan menikahinya. Terjadilah, 20 Mei saya berhasil menyatakan, 5 Juni bersama kakak ke rumah orang tuanya, dan 8 Juli keluarga saya melamar, hingga 12 Oktober kami menikah. Kami terpaut oleh jarak wilayah yang cukup jauh. Dan jodoh itu kini sudah 7 tahun terikat, semoga tetap langgeng.
Memang, ada orang yang berpandangan bahwa dengan pacaran, keduanya saling mengenal, agar siap saat menikah. Bahkan ada yang 20 tahun pacaran, tapi usia perkawinannya hanya 3 bulan. Saya kira, perkenalan mereka gagal. Jangan-jangan, walaupun 20 tahun pacaran, mereka saling pura-pura atau tidak saling jujur atau bisa jadi salah obyek yang dikenali. Mestinya, kira-kira, obyek yang dikenali bukan hanya fisiknya, tetapi karakter dan kebiasaan-kebiasaannya. Jika dalam pengenalan karakter dan kebiasaan itu dinilai ada ketidakcocokan yang mendasar, berarti harus siap dengan akibat-akibatnya. Kalau tidak siap, kenapa harus maksa?
Post a Comment