Lahn Arab versus Langgam Jawa
Mumpung hari Jumat, hari suci alias holiday, membahas antara yang sakral dan profan rasanya kok mak-nyes. Salah satu isu kontroversial terkait sakral dan profan dalam beberapa hari terakhir ini adalah membaca Al-Qur'an dengan langgam Jawa di Istana Presiden dalam peringatan Isra'-Mi'raj. Sebenarnya ada dua hal yang kontroversial, pembacaan Al-Qur'an dengan lagu dan peringatan Isra'-Mi'raj.
Penolakan
Walaupun Isra'-Mi'raj adalah peristiwa penting bagi umat Islam sebagai peristiwa kerasulan dan kenabian Muhammad saw, tapi sebagian umat Islam tidak setuju adanya penyelenggaraan peringatan ini. Mereka beralasan bahwa pada masa Nabi Muhammad masih hidup, beliau tidak pernah menyelenggarakan acara tersebut. Ibnu Nuhas mengatakan, “Memperingati malam Isra’ Mi’raj adalah bid’ah yang besar dalam urusan agama. Termasuk perkara baru yang dibuat-buat teman-teman setan.” (Tanbihul Ghafilin, hal. 379 – 380. Dinukil dari Al Bida’ Al Hauliyah, hal. 138).
Begitu juga pembacaan Al-Qur'an dengan lagu. Walaupun Nabi Muhammad saw menyarankan untuk memperindah saat membaca Al-Qur'an, namun sebagian ulama menyatakan bahwa irama yang dibuat-buat, bukan dari tabiat asli, diperoleh dengan memberat-beratkan diri, dibuat-buat dan dibutuhkan latiham sebagaimana para penyanyi berlatih untuk mahir dalam mendendangkan lagu. Melagukan semacam ini dibenci oleh para ulama salaf, mereka mencela dan melarangnya. Para ulama salaf dahulu mengingkari cara membaca Al-Qur’an dengan dibuat-buat seperti itu. (Zaadul Ma’ad karya Ibnul Qayyim, 1: 474).
Terkait dengan pembacaan Al-Qur'an dengan langgam Jawa di istana presiden itu, bukan hanya memunculkan isu keagamaan, tetapi juga isu politik kekuasaan dan politik identitas suku. Misal, dalam beberapa komentar di berita terkait langgam Jawa di Istana itu ada yang berkata: Jawa bukan hanya mendominasi politik, sekarang mendominasi agama juga. Ada juga yang menuntut Menteri Agama mundur, dan sebagainya. Dari perspektif agama, ada yang berpendapat bahwa langgam Jawa ini menyalahi hadis, walaupun dlaif, yang mengatakan bahwa bacala Al-Qur'an dengan luhn dan suara Arab.
Penerima
Di sisi lain sebagian umat Islam di Indonesia tidak mempermasalahkan penyelenggaraan peringatan Isra'-Mi'raj dan pembacaan Al-Qur'an dengan langgam Jawa. Sebab keduanya adalah bagian dari metode syiar agama Islam di negeri ini. Mereka menilai, yang dimaksud dengan bid'ah yang dilarang adalah terkait dengan menambahkan atau mengurangi unsur-unsur pada ibadah-ibadah yang memiliki dalil yang jelas dalam Al-Quran dan Hadits. Misal, jumlah rakaat shalat Maghrib adalah tiga. Dalil haditsnya ada. Maka, menjalankan shalat Maghrib dua atau empat rakaat adalah bid'ah. Atau, melaksanakan ibadah haji pada bulan Ramadhan adalah bid'ah, sebab dalilnya sudah jelas bahwa ibadah haji dilaksanakan pada bulan Dzul Hijjah. Begitu juga berhukum bid'ah apabila seseorang puasa sehari semalam, sebab puasa itu harus sebelum terbitnya fajar hingga tenggelamnya matahari.
Peringatan Isra'-Mi'raj dinilai bukanlah jenis ibadah. Apalagi nilai peringatan peristiwa ini dapat meningkatkan keimanan dan ketakwaan para umat Islam. Berbeda jika peringatan ini diisi dengan kegiatan maksiat, seperti pesta minuman keras, pesta telanjang laki-perempuan, dan sebagainya, jelas ini haram.
Sedangkan membaca Al-Qur'an dengan langgam Jawa, bagi sebagian kelompok diterima sepenuhnya dan ada yang menerima sebagian. Kedua kelompok penerima ini berdasarkan bahwa tidak ada larangan atau batasan melagukan Al-Qur'an asal tajwid (aturan pengucapan makhraj dan sifatnya, panjang dan pendeknya, berhenti dan mulainya) dilakukan dengan benar, sehingga makna Al-Qur'an tidak berubah. Walaupun ada yang menggunakan dasar hadits yang mengatakan bahwa iqrau al-qur'an bi luhun al-araby wa ashwatuha... Namun para ulama hadits berpendapat bahwa hadits ini tidak bisa dibuat sebagai hujjah, sebab ada perawi yang tidak diterima dalam hadits itu. Namun, Bagi yang menerima sebagian, walaupun tilawah dalam acara tersebut benar, namun langgam Jawa di Istana itu tidak pantas karena bisa menimbulkan keresahan umat. Penerima sebagian ini menilai tidak semua yang benar itu baik, dan tidak semua yang salah itu jelek.
Bagi saya pribadi, saya termasuk mengikuti kelompok yang menerima dua isu kontroversial itu. Peringatan Isra'-Mi'raj adalah kegiatan yang sangat baik untuk meningkatkan syiar, pendidikan keagamaan, keimanan dan ketakwaan umat Islam. Melalui momen peringatan peristiwa ini, umat Islam bisa tetap mengetahui peristiwa penting yang dialami oleh Nabi Muhammad, baik terkait dengan ajaran ketauhidan dan perintah shalat lima waktu, maupun sejarah sosial Nabi ketika ditolak oleh kaum kafir Quraisy yang masih keluarganya sendiri. Bahkan, saya menemukan pengalaman terjadi penambahan santri mengaji di TPQ akibat setelah kami menyelenggarakan kegiatan peringatan peristiwa itu. Masyarakat juga mengaku merasa bertambah pengetahuan keagamaannya setelah mengikuti kegiatan tersebut.
Masalah membaca Al-Qur'an dengan langgam Jawa, bagi saya adalah hal yang biasa saja. Selain karena tidak ada kesalahan tajwid, juga tidak mengganggu kesucian Al-Qur'an. Terlepas dari kesahihan hadits bacalah Al-Qur'an dengan luhun dan suara Arab, saya menilai bahwa pembacaan ayat dengan langgam Jawa tersebut masih menggunakan Lahn dan suara Arab. Langgam Jawa dalam pembacaan itu adalah cengkok atau variasi getaran suaranya saja, tidak merusak ke-Arab-an dari Al-Qur'an.
Saya melihat banyak orang yang tampaknya berbeda dalam memahami istilah Lahn Arab dari Hadits tersebut. Mereka menilai Lahn adalah lagu yang ternotasi sesuai dengan notasi lagu-lagu modern. Notasi dalam lagu-lagu modern diciptakan untuk membatasi nada-nada, sehingga lirik apapun harus mengikuti nada-nada yang ada. Sebaliknya, membaca Al-Qur'an tidak bisa dibatasi dengan nada-nada yang paten seperti notasi lagu modern. Misal, seseorang tidak bisa menerapkan not-not lagu Indonesia Raya dengan lirik Al-Qur'an, sebab panjang-pendek dalam Al-Qur'an tidak akan kompatibel dengan not-not yang sudah pasti. Naik-turunnya tangga nada dalam Al-Qur'an tetap mengikuti panjang-pendeknya huruf-huruf dalam semua lafadz yang ada, termasuk dengung-kesamarannya, yang diatur dalam ilmu tajwid.
Bagi saya, istilah Lahn Arab bukanlah lagu-lagu yang biasa digunakan oleh para Qori' dari Arab. Lahn Arab memiliki makna yang lebih luas dari sekadar lagu-lagu: Shabah, Nahawan, Rast, dan sebagainya. Walaupun menggunakan lagu-lagu tersebut, tetapi variasi ekspresi dan cengkoknya pun beragam. Coba dengarkan secara seksama tilawah-tilawah dari Qori'-Qori' Legendaris seperti Syaikh Musthafa Ismail, Syaikh Sayid Mutawally, dan Syaikh Muhammad Al-Laitsy, variasi dan ekspresinya sangat kaya. Dari para Qori' inilah, para Qori' Indonesia banyak yang meniru.
Saya bisa memaklumi rasa keanehan masyarakat ketika mendengar langgam Jawa pertama kali, sebagaimana saya merasa aneh ketika pertama kali mendengar intonasi para Qori Legendaris dari Mesir seperti Syaikh Musthafa Ismail atau Syaikh Muhammad Al-Laitsy, atau Syaikh Sayid Mutawally yang luar biasa. Sebab, sebelumnya telinga saya sangat terbiasa dengan langgam yang dibawakan oleh Ustadz Muammar ZA, sejak tahun 1970-an.
Awal kali mendengar tilawah para Qori legendaris dari Mesir itu, kesannya main-main. Apalagi usai melantunkan suatu ayat, para pendengarnya langsung bersorak dengan gaduhnya. Berbeda dengan ketika saya menyaksikan tilawah ustadz Muammar ZA, para pendengar menyebut lafadz Allah secara serentak dengan nada yang sama. Walaupun sebenarnya, semuanya mengekspresikan kekaguman.
Istilah Lahn juga ada dalam Al-Qur'an Surat Muhammad ayat 30, sebagai berikut:
وَلَوْ نَشَاءُ لَأَرَيْنَاكَهُمْ فَلَعَرَفْتَهُمْ بِسِيمَاهُمْ ۚ وَلَتَعْرِفَنَّهُمْ فِي لَحْنِ الْقَوْلِ ۚ وَاللَّهُ يَعْلَمُ أَعْمَالَكُمْ
Dan kalau Kami kehendaki, niscaya Kami tunjukkan mereka kepadamu sehingga kamu benar-benar dapat mengenal mereka dengan tanda-tandanya. Dan kamu benar-benar akan mengenal mereka dari kiasan-kiasan perkataan mereka dan Allah mengetahui perbuatan-perbuatan kamu.
Lafadz لَحْنِ الْقَوْلِ di sini diartikan dalam terjemahan Depag sebagai "kiasan-kiasan perkataan". Dalam kamus Mu'jam Arab dijelaskan bahwa Lahn al qaul adalah tutur kata yang tidak dipahami oleh pendengar yang merenungkan apa yang ada di balik lafadz tersebut.
Imam Ibnu Katsir memaknai لَحْنِ الْقَوْلِ lahn al qaul adalah apa-apa yang muncul dari pembicaraan mereka yang menunjukkan atas maksud-maksud mereka, (di mana) pembicara difahami dari kelompok mana dia dengan makna-makna dan maksud pembicaraannya. Itulah yang dimaksud dengan lahn al qaul. (Tafsir Ibnu Katsir QS Muhammad ayat 30).
Imam al-Baghawi menjelaskan, (Dan kamu benar-benar akan mengenal mereka dari kiasan-kiasan perkataan mereka) artinya: sesungguhnya engkau (Muhammad) mengenal mereka dalam hal yang mereka kemukakan berupa peremehan dan penyepelean terhadap urusanmu dan urusan Muslimin, maka setelah ini tidaklah seorang munafik pun berbicara di sisi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kecuali beliau mengetahui (maksud sebenarnya) lantaran perkataannya, dan mengetahui cara mengambil bukti kejahatannya dengan (memperhatikan) esensi pembicaraannya. (Tafsir Al-Baghawi QS Muhammad: 30).
Dari penjelasan tersebut, Lahn bukan hanya berarti lagu sebagaimana yang diungkapkan dengan not-not tertentu, tapi juga bisa dipahami lebih umum berupa nada ekspresi perasaan hati atau maksud hati. Walaupun kata-katanya sama, tetapi maksud hatinya berbeda bisa dilihat dari nada ekspresinya. Kata "Apa itu(?)" jika diekspresikan dengan nada datar, bisa berarti bertanya. Namun diekspresikan dengan nada tinggi bisa berarti menghina atau memarahi.
Lahn Arab vs Langgam Jawa
Dari pembahasan di atas saya memahami bahwa Lahn Arab adalah ekspresi nada sesuai dengan maksud atau makna dalam bahasa Arab. Karena Al-Qur'an menggunakan bahasa Arab, memang harus diekspresikan sesuai dengan pemahaman atas maksud bahasa Arab tersebut. Misal, pesan-pesan sedih harus diekspresikan sedih, bukan diekspresikan dengan gembira. Begitu pula sebaliknya.
Di sini saya membedakan antara Konsep Lahn Arab dengan konsep Langgam Jawa. Jika konsep Lahn Arab adalah ekspresi nada yang lahir dari (penghayatan) makna atau maksud kalimat yang diolah dari pengertian yang ada dalam pikiran dan hati, konsep Langgam Jawa lebih merujuk pada nada atau getaran bunyi yang muncul dari hasil olah vokal untuk mengindahkan suara sesuai dengan kebiasaan-kebiasaannya.
Dengan demikian, walaupun seseorang membacakan Al-Qur'an dengan langgam Jawa atau budaya apapun, tetapi jika dia mengekspresikan dari makna atau maksud ayat yang dibacanya, maka seseorang tersebut telah menerapkan Lahn Arab. Sebaliknya, walaupun seseorang menggunakan langgam Arab, tetapi dia tidak mengekspresikan makna atau maksud dari pesan ayat tersebut, dia tidak termasuk menerapkan Lahn Arab.
Pendapat saya ini makin mantap jika kita melihat kalimat dari hadits lebih lengkap (terlepas dari kesahihannya).
فقد روى الترمذي أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: «اقرءوا القرآن بلحون العرب وأصواتها، وإياكم ولحون أهل الكتاب والفسق، فإنه سيجيء بعدي أقوام يرجعون بالقرآن ترجيع الغناء والنوح لا يجاوز حناجرهم، مفتونة قلوبهم وقلوب الذين يعجبهم شأنهم».
Bacalah Al-Quran dengan lahn dan suara orang Arab. Jauhilah lahn ahlkitab dan orang orang fasiq. Nanti akan ada orang datang setelahku membaca Al-Quran seperti menyanyi dan melenguh, tidak melampau tenggorokan mereka. Hati mereka tertimpa fitnah, juga hati orang yang mengaguminya. (HR. At Tirmidzi).
Dalam hadits itu, memperbandingkan antara Luhn Arab dengan Luhn Ahl Kitab dan orang Fasik. Dalam pemahaman saya, jika yang dimaksud Arab di situ adalah bangsa atau bahasa, tentu perbandingannya adalah bahasa atau bangsa juga. Namun di sini tidak. Di sini Ahl Kitab dan orang Fasik bukanlah bangsa atau bahasa, tetapi ahl kitab adalah orang-orang yang memiliki keyakinan atau ajaran berbeda dengan Islam karena berpegang pada Taurat atau Injil. Sedangkan orang fasik adalah orang yang keluar dari ketaatan kepada Allah dan rasul-Nya. Keduanya, Ahl Kitab dan Fasik, juga banyak yang berbahasa Arab. Oleh karena itu, Lahn Arab di sini tidak bisa dipahami sebagai Lagu orang Arab, tetapi pemaknaan atau pemahaman orang-orang yang menggunakan bahasa Arab, bukan pemahaman dari orang-orang yang memiliki keyakinan lain.
Implikasi dari bacaan luhn ahl kitab dan Fasik, walaupun mereka berbahasa Arab, tetapi sesungguhnya mereka tidak mempercayai isi kandungan Al-Qur'an, tentu akan berbeda ekspresinya dengan luhn Arab yang dipakai oleh Al-Qur'an untuk menyampaikan firman-firman-Nya. Orang-orang Ahl Kitab dan Fasik akan mengekspresikan hal yang berbeda dengan maksud atau kandungan Al-Qur'an. Ekspresinya seperti menyayat, tetapi hanya sebatas tenggorokan, bukan dalam hati. Walaupun menggunakan Langgam Jawa atau langgam apa pun, tetapi tetap menggunakan tata cara bahasa Arab dan menghayati sesuai dengan maknanya, dia termasuk menggunakan lahn Arab. Wallahu A'lam Bish-Shawab..
Penolakan
Walaupun Isra'-Mi'raj adalah peristiwa penting bagi umat Islam sebagai peristiwa kerasulan dan kenabian Muhammad saw, tapi sebagian umat Islam tidak setuju adanya penyelenggaraan peringatan ini. Mereka beralasan bahwa pada masa Nabi Muhammad masih hidup, beliau tidak pernah menyelenggarakan acara tersebut. Ibnu Nuhas mengatakan, “Memperingati malam Isra’ Mi’raj adalah bid’ah yang besar dalam urusan agama. Termasuk perkara baru yang dibuat-buat teman-teman setan.” (Tanbihul Ghafilin, hal. 379 – 380. Dinukil dari Al Bida’ Al Hauliyah, hal. 138).
Begitu juga pembacaan Al-Qur'an dengan lagu. Walaupun Nabi Muhammad saw menyarankan untuk memperindah saat membaca Al-Qur'an, namun sebagian ulama menyatakan bahwa irama yang dibuat-buat, bukan dari tabiat asli, diperoleh dengan memberat-beratkan diri, dibuat-buat dan dibutuhkan latiham sebagaimana para penyanyi berlatih untuk mahir dalam mendendangkan lagu. Melagukan semacam ini dibenci oleh para ulama salaf, mereka mencela dan melarangnya. Para ulama salaf dahulu mengingkari cara membaca Al-Qur’an dengan dibuat-buat seperti itu. (Zaadul Ma’ad karya Ibnul Qayyim, 1: 474).
Terkait dengan pembacaan Al-Qur'an dengan langgam Jawa di istana presiden itu, bukan hanya memunculkan isu keagamaan, tetapi juga isu politik kekuasaan dan politik identitas suku. Misal, dalam beberapa komentar di berita terkait langgam Jawa di Istana itu ada yang berkata: Jawa bukan hanya mendominasi politik, sekarang mendominasi agama juga. Ada juga yang menuntut Menteri Agama mundur, dan sebagainya. Dari perspektif agama, ada yang berpendapat bahwa langgam Jawa ini menyalahi hadis, walaupun dlaif, yang mengatakan bahwa bacala Al-Qur'an dengan luhn dan suara Arab.
Penerima
Di sisi lain sebagian umat Islam di Indonesia tidak mempermasalahkan penyelenggaraan peringatan Isra'-Mi'raj dan pembacaan Al-Qur'an dengan langgam Jawa. Sebab keduanya adalah bagian dari metode syiar agama Islam di negeri ini. Mereka menilai, yang dimaksud dengan bid'ah yang dilarang adalah terkait dengan menambahkan atau mengurangi unsur-unsur pada ibadah-ibadah yang memiliki dalil yang jelas dalam Al-Quran dan Hadits. Misal, jumlah rakaat shalat Maghrib adalah tiga. Dalil haditsnya ada. Maka, menjalankan shalat Maghrib dua atau empat rakaat adalah bid'ah. Atau, melaksanakan ibadah haji pada bulan Ramadhan adalah bid'ah, sebab dalilnya sudah jelas bahwa ibadah haji dilaksanakan pada bulan Dzul Hijjah. Begitu juga berhukum bid'ah apabila seseorang puasa sehari semalam, sebab puasa itu harus sebelum terbitnya fajar hingga tenggelamnya matahari.
Peringatan Isra'-Mi'raj dinilai bukanlah jenis ibadah. Apalagi nilai peringatan peristiwa ini dapat meningkatkan keimanan dan ketakwaan para umat Islam. Berbeda jika peringatan ini diisi dengan kegiatan maksiat, seperti pesta minuman keras, pesta telanjang laki-perempuan, dan sebagainya, jelas ini haram.
Sedangkan membaca Al-Qur'an dengan langgam Jawa, bagi sebagian kelompok diterima sepenuhnya dan ada yang menerima sebagian. Kedua kelompok penerima ini berdasarkan bahwa tidak ada larangan atau batasan melagukan Al-Qur'an asal tajwid (aturan pengucapan makhraj dan sifatnya, panjang dan pendeknya, berhenti dan mulainya) dilakukan dengan benar, sehingga makna Al-Qur'an tidak berubah. Walaupun ada yang menggunakan dasar hadits yang mengatakan bahwa iqrau al-qur'an bi luhun al-araby wa ashwatuha... Namun para ulama hadits berpendapat bahwa hadits ini tidak bisa dibuat sebagai hujjah, sebab ada perawi yang tidak diterima dalam hadits itu. Namun, Bagi yang menerima sebagian, walaupun tilawah dalam acara tersebut benar, namun langgam Jawa di Istana itu tidak pantas karena bisa menimbulkan keresahan umat. Penerima sebagian ini menilai tidak semua yang benar itu baik, dan tidak semua yang salah itu jelek.
Bagi saya pribadi, saya termasuk mengikuti kelompok yang menerima dua isu kontroversial itu. Peringatan Isra'-Mi'raj adalah kegiatan yang sangat baik untuk meningkatkan syiar, pendidikan keagamaan, keimanan dan ketakwaan umat Islam. Melalui momen peringatan peristiwa ini, umat Islam bisa tetap mengetahui peristiwa penting yang dialami oleh Nabi Muhammad, baik terkait dengan ajaran ketauhidan dan perintah shalat lima waktu, maupun sejarah sosial Nabi ketika ditolak oleh kaum kafir Quraisy yang masih keluarganya sendiri. Bahkan, saya menemukan pengalaman terjadi penambahan santri mengaji di TPQ akibat setelah kami menyelenggarakan kegiatan peringatan peristiwa itu. Masyarakat juga mengaku merasa bertambah pengetahuan keagamaannya setelah mengikuti kegiatan tersebut.
Masalah membaca Al-Qur'an dengan langgam Jawa, bagi saya adalah hal yang biasa saja. Selain karena tidak ada kesalahan tajwid, juga tidak mengganggu kesucian Al-Qur'an. Terlepas dari kesahihan hadits bacalah Al-Qur'an dengan luhun dan suara Arab, saya menilai bahwa pembacaan ayat dengan langgam Jawa tersebut masih menggunakan Lahn dan suara Arab. Langgam Jawa dalam pembacaan itu adalah cengkok atau variasi getaran suaranya saja, tidak merusak ke-Arab-an dari Al-Qur'an.
Saya melihat banyak orang yang tampaknya berbeda dalam memahami istilah Lahn Arab dari Hadits tersebut. Mereka menilai Lahn adalah lagu yang ternotasi sesuai dengan notasi lagu-lagu modern. Notasi dalam lagu-lagu modern diciptakan untuk membatasi nada-nada, sehingga lirik apapun harus mengikuti nada-nada yang ada. Sebaliknya, membaca Al-Qur'an tidak bisa dibatasi dengan nada-nada yang paten seperti notasi lagu modern. Misal, seseorang tidak bisa menerapkan not-not lagu Indonesia Raya dengan lirik Al-Qur'an, sebab panjang-pendek dalam Al-Qur'an tidak akan kompatibel dengan not-not yang sudah pasti. Naik-turunnya tangga nada dalam Al-Qur'an tetap mengikuti panjang-pendeknya huruf-huruf dalam semua lafadz yang ada, termasuk dengung-kesamarannya, yang diatur dalam ilmu tajwid.
Bagi saya, istilah Lahn Arab bukanlah lagu-lagu yang biasa digunakan oleh para Qori' dari Arab. Lahn Arab memiliki makna yang lebih luas dari sekadar lagu-lagu: Shabah, Nahawan, Rast, dan sebagainya. Walaupun menggunakan lagu-lagu tersebut, tetapi variasi ekspresi dan cengkoknya pun beragam. Coba dengarkan secara seksama tilawah-tilawah dari Qori'-Qori' Legendaris seperti Syaikh Musthafa Ismail, Syaikh Sayid Mutawally, dan Syaikh Muhammad Al-Laitsy, variasi dan ekspresinya sangat kaya. Dari para Qori' inilah, para Qori' Indonesia banyak yang meniru.
Saya bisa memaklumi rasa keanehan masyarakat ketika mendengar langgam Jawa pertama kali, sebagaimana saya merasa aneh ketika pertama kali mendengar intonasi para Qori Legendaris dari Mesir seperti Syaikh Musthafa Ismail atau Syaikh Muhammad Al-Laitsy, atau Syaikh Sayid Mutawally yang luar biasa. Sebab, sebelumnya telinga saya sangat terbiasa dengan langgam yang dibawakan oleh Ustadz Muammar ZA, sejak tahun 1970-an.
Awal kali mendengar tilawah para Qori legendaris dari Mesir itu, kesannya main-main. Apalagi usai melantunkan suatu ayat, para pendengarnya langsung bersorak dengan gaduhnya. Berbeda dengan ketika saya menyaksikan tilawah ustadz Muammar ZA, para pendengar menyebut lafadz Allah secara serentak dengan nada yang sama. Walaupun sebenarnya, semuanya mengekspresikan kekaguman.
Istilah Lahn juga ada dalam Al-Qur'an Surat Muhammad ayat 30, sebagai berikut:
وَلَوْ نَشَاءُ لَأَرَيْنَاكَهُمْ فَلَعَرَفْتَهُمْ بِسِيمَاهُمْ ۚ وَلَتَعْرِفَنَّهُمْ فِي لَحْنِ الْقَوْلِ ۚ وَاللَّهُ يَعْلَمُ أَعْمَالَكُمْ
Dan kalau Kami kehendaki, niscaya Kami tunjukkan mereka kepadamu sehingga kamu benar-benar dapat mengenal mereka dengan tanda-tandanya. Dan kamu benar-benar akan mengenal mereka dari kiasan-kiasan perkataan mereka dan Allah mengetahui perbuatan-perbuatan kamu.
Lafadz لَحْنِ الْقَوْلِ di sini diartikan dalam terjemahan Depag sebagai "kiasan-kiasan perkataan". Dalam kamus Mu'jam Arab dijelaskan bahwa Lahn al qaul adalah tutur kata yang tidak dipahami oleh pendengar yang merenungkan apa yang ada di balik lafadz tersebut.
Imam Ibnu Katsir memaknai لَحْنِ الْقَوْلِ lahn al qaul adalah apa-apa yang muncul dari pembicaraan mereka yang menunjukkan atas maksud-maksud mereka, (di mana) pembicara difahami dari kelompok mana dia dengan makna-makna dan maksud pembicaraannya. Itulah yang dimaksud dengan lahn al qaul. (Tafsir Ibnu Katsir QS Muhammad ayat 30).
Imam al-Baghawi menjelaskan, (Dan kamu benar-benar akan mengenal mereka dari kiasan-kiasan perkataan mereka) artinya: sesungguhnya engkau (Muhammad) mengenal mereka dalam hal yang mereka kemukakan berupa peremehan dan penyepelean terhadap urusanmu dan urusan Muslimin, maka setelah ini tidaklah seorang munafik pun berbicara di sisi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kecuali beliau mengetahui (maksud sebenarnya) lantaran perkataannya, dan mengetahui cara mengambil bukti kejahatannya dengan (memperhatikan) esensi pembicaraannya. (Tafsir Al-Baghawi QS Muhammad: 30).
Dari penjelasan tersebut, Lahn bukan hanya berarti lagu sebagaimana yang diungkapkan dengan not-not tertentu, tapi juga bisa dipahami lebih umum berupa nada ekspresi perasaan hati atau maksud hati. Walaupun kata-katanya sama, tetapi maksud hatinya berbeda bisa dilihat dari nada ekspresinya. Kata "Apa itu(?)" jika diekspresikan dengan nada datar, bisa berarti bertanya. Namun diekspresikan dengan nada tinggi bisa berarti menghina atau memarahi.
Lahn Arab vs Langgam Jawa
Dari pembahasan di atas saya memahami bahwa Lahn Arab adalah ekspresi nada sesuai dengan maksud atau makna dalam bahasa Arab. Karena Al-Qur'an menggunakan bahasa Arab, memang harus diekspresikan sesuai dengan pemahaman atas maksud bahasa Arab tersebut. Misal, pesan-pesan sedih harus diekspresikan sedih, bukan diekspresikan dengan gembira. Begitu pula sebaliknya.
Di sini saya membedakan antara Konsep Lahn Arab dengan konsep Langgam Jawa. Jika konsep Lahn Arab adalah ekspresi nada yang lahir dari (penghayatan) makna atau maksud kalimat yang diolah dari pengertian yang ada dalam pikiran dan hati, konsep Langgam Jawa lebih merujuk pada nada atau getaran bunyi yang muncul dari hasil olah vokal untuk mengindahkan suara sesuai dengan kebiasaan-kebiasaannya.
Dengan demikian, walaupun seseorang membacakan Al-Qur'an dengan langgam Jawa atau budaya apapun, tetapi jika dia mengekspresikan dari makna atau maksud ayat yang dibacanya, maka seseorang tersebut telah menerapkan Lahn Arab. Sebaliknya, walaupun seseorang menggunakan langgam Arab, tetapi dia tidak mengekspresikan makna atau maksud dari pesan ayat tersebut, dia tidak termasuk menerapkan Lahn Arab.
Pendapat saya ini makin mantap jika kita melihat kalimat dari hadits lebih lengkap (terlepas dari kesahihannya).
فقد روى الترمذي أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: «اقرءوا القرآن بلحون العرب وأصواتها، وإياكم ولحون أهل الكتاب والفسق، فإنه سيجيء بعدي أقوام يرجعون بالقرآن ترجيع الغناء والنوح لا يجاوز حناجرهم، مفتونة قلوبهم وقلوب الذين يعجبهم شأنهم».
Bacalah Al-Quran dengan lahn dan suara orang Arab. Jauhilah lahn ahlkitab dan orang orang fasiq. Nanti akan ada orang datang setelahku membaca Al-Quran seperti menyanyi dan melenguh, tidak melampau tenggorokan mereka. Hati mereka tertimpa fitnah, juga hati orang yang mengaguminya. (HR. At Tirmidzi).
Dalam hadits itu, memperbandingkan antara Luhn Arab dengan Luhn Ahl Kitab dan orang Fasik. Dalam pemahaman saya, jika yang dimaksud Arab di situ adalah bangsa atau bahasa, tentu perbandingannya adalah bahasa atau bangsa juga. Namun di sini tidak. Di sini Ahl Kitab dan orang Fasik bukanlah bangsa atau bahasa, tetapi ahl kitab adalah orang-orang yang memiliki keyakinan atau ajaran berbeda dengan Islam karena berpegang pada Taurat atau Injil. Sedangkan orang fasik adalah orang yang keluar dari ketaatan kepada Allah dan rasul-Nya. Keduanya, Ahl Kitab dan Fasik, juga banyak yang berbahasa Arab. Oleh karena itu, Lahn Arab di sini tidak bisa dipahami sebagai Lagu orang Arab, tetapi pemaknaan atau pemahaman orang-orang yang menggunakan bahasa Arab, bukan pemahaman dari orang-orang yang memiliki keyakinan lain.
Implikasi dari bacaan luhn ahl kitab dan Fasik, walaupun mereka berbahasa Arab, tetapi sesungguhnya mereka tidak mempercayai isi kandungan Al-Qur'an, tentu akan berbeda ekspresinya dengan luhn Arab yang dipakai oleh Al-Qur'an untuk menyampaikan firman-firman-Nya. Orang-orang Ahl Kitab dan Fasik akan mengekspresikan hal yang berbeda dengan maksud atau kandungan Al-Qur'an. Ekspresinya seperti menyayat, tetapi hanya sebatas tenggorokan, bukan dalam hati. Walaupun menggunakan Langgam Jawa atau langgam apa pun, tetapi tetap menggunakan tata cara bahasa Arab dan menghayati sesuai dengan maknanya, dia termasuk menggunakan lahn Arab. Wallahu A'lam Bish-Shawab..
lah nek wong sing telat belajar moco Qur'an trus kurang fasih melafalkan yaopo? logat/cengkoknya kan pasti lokal banget... hehehe aya-aya wae
BalasHapusHehehe.. gelem belajar dan moco quran wis apik, cak..
Hapus