Listrik

Betapa era sekarang ini sudah terang benderang di mana-mana. Walau demikian, masih ada juga daerah-daerah di negeri ini belum ada listrik. Bahkan itu terjadi di pulau Jawa. Pasti ada.

Dulu, sekitar awal 1980-an, di kampung saya membayangkan ada listrik saja sudah luar biasa. Rumah-rumah masih menggunakan lampu petromak. Di jalan-jalan dipasang ting atau uplik. Di bagian dalam rumah dipasang lampu templek, dan uplik. Kadang, membayang masa itu, kesannya indah juga ya..

Saya masih ingat kakak saya menyalakan lampu petromak dengan susah payah. Kadang "kaos" lampu warna putih sebagai pemancar cahaya, pecah. Kadang kehabisan spitus. Kadang habis pula minyak tanah. Dan kadang jarum pemacar minyak tanahnya rusak. Menjelang Magrib, lampu itu sudah harus dinyalakan, sekitar jam 20:30 WIB, sudah dimatikan, ganti lampu semprong. Mungkin gara-gara ini juga orang dulu anaknya banyak-banyak.

Sebelum PLN masuk desa, masyarakat desa saya sempat mengandalkan mesin diesel. Setiap rumah hanya dikasih jatah lampu neon 10 watt, tidak boleh lebih. Kabel-kabel dipasang keliling di seluruh kampung, dengan tiang kayu. Tentu saja kapasitasnya terbatas. Itu pun sering mati, karena joinnya molor, kata teman-teman. Kabel-kabel kuningan yang kecil itu juga mudah mengelupas, karena terkena hujan dan panas, serta benang layang-layang. Bahkan pernah juga tiangnya roboh dan memakan korban. Teman sekelasku, Umar Faruk anak kelas 4 MI tewas terkena sengatan listrik saat hujan petang hari. Waktu itu, saya juga hujan-hujanan juga. Tiba-tiba listrik diesel mati. Rupanya, ketika hujan deras, Umar langsung keluar. Tak tahunya kabel dia menerobos kabel yang ada di depannya. Konon, tubuhnya gosong, dan tewas.

Setelah diesel pembangkit listrik desa dua kali pindah lokasi, akhirnya PLN masuk desa pada pertengahan 1980-an. Masyarakat desa menyambut gembira. Kampung-kampung menjadi terang, karena setiap rumah, wajib mengeluarkan satu lampu untuk menerangi jalanan. Kehidupan masyarakat desa makin malam. Televisi-televisi, tidak lagi mengandalkan batre accu. Pemilik televisi juga terus bertambah.

Sepengetahuan saya, PLN di desa saya juga makan korban. Waktu itu anak-anak muda di desa saya sedang demam interkom, yang menggunakan kawat sebagai alat transmisinya. Kawan-kawan di Ngareng, ingin memasang kawat yang lebih tinggi. Mereka bermaksud melayangkan kawat di atas kabel listrik dengan layang-layang. Saat layang-layang terbang dengan kawat melintasi kabel listrik paling atas, dua-tiga orang langsung tersengat listrik. Satu-dua orang selamat, tapi satu lagi yang memegang gulungan kawat paling belakang tewas tersengat. Gara-gara peristiwa itu, KH. Sun'an marah-marah, dan menumpasi kawat-kawat interkom yang melintas di sekitar rumahnya. Selain peristiwa itu, saya tidak mendengar lagi korban tewas tersengat listrik di desa saya.

Yang saya heran, desa-desa lain di negeri ini ternyata sangat terlambat listrik masuk desa. Padahal sebenarnya listrik sangat penting bagi aktivitas masyarakat. Bahkan, kapasitas listrik di negeri ini masih sangat jauh untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Padahal, walaupun tidak harus berskala besar, banyak potensi sumber listrik yang bisa dikembangkan, baik dari tenaga air, matahari, maupun angin. Para putra-putri Indonesia juga sudah banyak membuat alat pembangkit listrik dari sumber alami. Sayangnya, pemerintah tidak tertarik untuk mengembangkannya.



Tidak ada komentar