Redesain Stasiun di Jabodetabek
Entah sudah berapa lama saya tidak naik atau turun di Stasiun Cikini. Seingat saya tidak terlalu lama, tapi kini telah berubah. Begitu juga stasiun Manggarai dan stasiun Gondangdia. Tampaknya semua stasiun memang akan berubah. Kalau stasiun Palmerah, saya masih sedang mengikuti proses perubahannya.
Stasiun Manggarai, Cikini, dan Gondangdia bagi saya sangat mengagetkan. Begitu keluar, jalannya dipagar besi dengan lebar tidak lebih hanya untuk dua orang begandengan. Jika ada dua orang bergandengan, satu orang dari arah berlawanan sudah tertutup, kecuali yang bergandengan harus mengalah. Semoga model jalur seperti kondisi saat ini hanyalah sementara. Sebab kondisi tersebut sangat tidak kompatibel dengan jumlah dan arus manusia yang melewatinya. Mending jika tengah hari yang sepi penumpang. Kalau pagi dan petang hari, waduh... sangat mengganggu.
Saya memang tidak pernah lihat stasiun di negara lain, Jepang, China, Amerika, atau lainnya. Namun melihat masyarakat Jabodetabek yang naik kereta dalam kota yang makin banyak bisa dilihat pola gerak para penumpangnya. Lihatlah suasana naik turun penumpang di stasiun-stasiun tertentu, terutama yang saya saksikan di Tanah Abang pada jam-jam tertentu, khususnya jam berangkat-pulang kerja. Ratusan, bahkan ribuan orang naik turun secara serentak, antara berebut pintu dan tempat duduk.
Rebutan Pintu dan Kursi
Kasus rebutan pintu dan kursi di stasiun Tanah Abang memang selalu menarik untuk diamati dan dinikmati. Suasana yang paling seru memang sore hari. Ibu-ibu muda, dengan tentengan belanjaannya, berjejer-jejer hingga 4-5 lapis menanti kereta datang. Saat kereta sudah masuk di peron, mereka saling bergeser, mencoba mendekati pintu kereta. Sementara, di dalam kereta para penumpang juga sudah bersiap di depan pintu untuk keluar. Saat kereta berhenti, para penumpang, baik di dalam maupun di luar kereta, sudah siap-siap bersitegang di depan pintu.
Begitu pintu kereta dibuka, brak. "BIAR KELUAR DULU!!!" teriak beberapa orang dari dalam kereta di hampir seluruh pintu yang berjumlah 24 pintu atau lebih itu. Kedua kubu langsung saling dorong. Bahkan beberapa kali saya menemukan saling memukul. Tentu yang di luar harus mengalah. Tapi sekian banyak yang tak mau mengalah. Bagi yang berhasil masuk kereta langkahnya seperti berlari merebut kursi. Dan melempar pantatnya dengan kesan puas atas keberhasilannya dalam menguasai kursi. Ibu-ibu yang membawa rombongan, kadang ada yang berteriak-teriak memanggil temannya, menunjukkan peluang kursi kosong yang dilihatnya. Jika serombongan berhasil duduk berdekatan, tak jarang mereka menyatakan kepuasan itu.
Berebut Jalan Duatapak
Bagi para penumpang yang telah keluar, terutama yang berasal dari gerbong tengah, tidak akan berjalan dengan mudah menuju pintu keluar atau menuju peron lainnya. Perjalanan mereka pasti terhambat akibat penyempitan jalan yang hanya muat dua-tiga orang itu. Tak jarang, pemuda-pemuda memaksa lompat ke rel kereta, jika aman, untuk memotong antrian panjang yang membuatnya tak sabar.
Pada saat yang bersamaan, para penumpang kereta dari peron lainnya juga datang. Mereka kembali bertabrakan, saling menggeser tubuh mereka, agar bisa menembus jalan yang sempit itu.
Di bagian yang berbeda, kondisi yang hampir sama juga terjadi. Sebagian dari mereka yang hendak transit ke peron lain memilih naik tangga. Mereka juga berebut tangga dengan kapasitas empat baris manusia dewasa, yang dibelah menjadi dua bagian. Satu bagian diperuntukkan yang naik, bagian lainnya untuk yang turun. Karena kondisi berdesakan, dua bagian itu terisi penuh untuk yang naik. Akibatnya, yang hendak turun kerepotan. Begitu juga sebaliknya. Mereka juag bertabrakan sebagaimana jalur bawah.
Mendesain Ulang Stasiun
Saya tidak tahu apakah perusahaan Kereta Api Indonesia (PT KAI) atau entah siapa, sebenarnya sudah menyiapkan rancangan pembangunan seluruh stasiun yang layak, sesuai dengan kebutuhan masing-masing. Kasus di Stasiun Manggarai dan Bogor menunjukkan, para penumpang di peron tertentu tidak bisa langsung berpindah ke peron lainnya, karena terhalang oleh kereta-kereta di hadapannya. Padahal stasiun Manggarai merupakan stasiun transit ke beberapa tujuan: Jakarta Kota, Tanah Abang, Bogor, dan Bekasi. Apalagi kelak akan ditambah juga ke Bandara Soekarno-Hatta. Desain alur aliran penumpang yang ada saat ini, bukan saja membuat kesal penumpang, tetapi juga mengancam keselamatan penumpang.
Jalur keluar masuk penumpang kereta di beberapa stasiun, terutama Tanah Abang dan Manggarai, harus benar-benar diubah. Tabrakan antar penumpang tak perlu dipertahankan lagi. Misal, pintu keluar dan pintu masuk kereta disiapkan, sehingga kedua sisi pintu kereta dibuka. Penumpang bisa masuk dari sisi kanan dan keluar di sisi kiri. Dengan demikian, penumpang yang keluar akan mengikuti alirannya sendiri, baik yang menuju peron lain maupun menuju pintu keluar.
Desain stasiun model Cikini, Gondangdia, dan Gambir tampaknya memang cukup bagus. Tapi stasiun macam itu bukanlah desain stasiun yang ramah lansia, penyandang cacat, perempuan hamil, dan anak-anak. Apalagi model stasiun Serpong. Stasiun Serpong bagi saya merupakan model desain stasiun paling buruk, yang saya temui. Begitu juga dengan stasiun Palmerah. Saya tidak tahu apakah usai pembangunan stasiun Palmerah ini makin baik atau malah makin buruk.
Mungkin stasiun Sudirman yang menurut saya paling memenuhi syarat untuk diandalkan, dibandingkan dengan yang lain-lain. Kalau model stasiun Kebayoran, Pondok Ranji, Sentiong, Kramat dan lain-lain, merupakan model stasiun tradisional. Bahkan yang lebih mengenaskan lagi adalah stasiun Cicayur. Walaupun sekarang mendapatkan kursi tunggu yang nyaman, tapi peronnya benar-benar telanjang.
Seiring denga meningkatnya jumlah penumpang, tentu meningkat juga pendapatan kereta. Menata ulang seluruh stasiun menjadi layak dan ramah pada siapapun bukanlah beban bagi PT KAI, tapi justru investasi yang lebih bagus lagi.
Sahlul Fuad, penumpang commuterline dari stasiun Cicayur.
Stasiun Manggarai, Cikini, dan Gondangdia bagi saya sangat mengagetkan. Begitu keluar, jalannya dipagar besi dengan lebar tidak lebih hanya untuk dua orang begandengan. Jika ada dua orang bergandengan, satu orang dari arah berlawanan sudah tertutup, kecuali yang bergandengan harus mengalah. Semoga model jalur seperti kondisi saat ini hanyalah sementara. Sebab kondisi tersebut sangat tidak kompatibel dengan jumlah dan arus manusia yang melewatinya. Mending jika tengah hari yang sepi penumpang. Kalau pagi dan petang hari, waduh... sangat mengganggu.
Saya memang tidak pernah lihat stasiun di negara lain, Jepang, China, Amerika, atau lainnya. Namun melihat masyarakat Jabodetabek yang naik kereta dalam kota yang makin banyak bisa dilihat pola gerak para penumpangnya. Lihatlah suasana naik turun penumpang di stasiun-stasiun tertentu, terutama yang saya saksikan di Tanah Abang pada jam-jam tertentu, khususnya jam berangkat-pulang kerja. Ratusan, bahkan ribuan orang naik turun secara serentak, antara berebut pintu dan tempat duduk.
Rebutan Pintu dan Kursi
Kasus rebutan pintu dan kursi di stasiun Tanah Abang memang selalu menarik untuk diamati dan dinikmati. Suasana yang paling seru memang sore hari. Ibu-ibu muda, dengan tentengan belanjaannya, berjejer-jejer hingga 4-5 lapis menanti kereta datang. Saat kereta sudah masuk di peron, mereka saling bergeser, mencoba mendekati pintu kereta. Sementara, di dalam kereta para penumpang juga sudah bersiap di depan pintu untuk keluar. Saat kereta berhenti, para penumpang, baik di dalam maupun di luar kereta, sudah siap-siap bersitegang di depan pintu.
Begitu pintu kereta dibuka, brak. "BIAR KELUAR DULU!!!" teriak beberapa orang dari dalam kereta di hampir seluruh pintu yang berjumlah 24 pintu atau lebih itu. Kedua kubu langsung saling dorong. Bahkan beberapa kali saya menemukan saling memukul. Tentu yang di luar harus mengalah. Tapi sekian banyak yang tak mau mengalah. Bagi yang berhasil masuk kereta langkahnya seperti berlari merebut kursi. Dan melempar pantatnya dengan kesan puas atas keberhasilannya dalam menguasai kursi. Ibu-ibu yang membawa rombongan, kadang ada yang berteriak-teriak memanggil temannya, menunjukkan peluang kursi kosong yang dilihatnya. Jika serombongan berhasil duduk berdekatan, tak jarang mereka menyatakan kepuasan itu.
Berebut Jalan Duatapak
Bagi para penumpang yang telah keluar, terutama yang berasal dari gerbong tengah, tidak akan berjalan dengan mudah menuju pintu keluar atau menuju peron lainnya. Perjalanan mereka pasti terhambat akibat penyempitan jalan yang hanya muat dua-tiga orang itu. Tak jarang, pemuda-pemuda memaksa lompat ke rel kereta, jika aman, untuk memotong antrian panjang yang membuatnya tak sabar.
Pada saat yang bersamaan, para penumpang kereta dari peron lainnya juga datang. Mereka kembali bertabrakan, saling menggeser tubuh mereka, agar bisa menembus jalan yang sempit itu.
Di bagian yang berbeda, kondisi yang hampir sama juga terjadi. Sebagian dari mereka yang hendak transit ke peron lain memilih naik tangga. Mereka juga berebut tangga dengan kapasitas empat baris manusia dewasa, yang dibelah menjadi dua bagian. Satu bagian diperuntukkan yang naik, bagian lainnya untuk yang turun. Karena kondisi berdesakan, dua bagian itu terisi penuh untuk yang naik. Akibatnya, yang hendak turun kerepotan. Begitu juga sebaliknya. Mereka juag bertabrakan sebagaimana jalur bawah.
Mendesain Ulang Stasiun
Saya tidak tahu apakah perusahaan Kereta Api Indonesia (PT KAI) atau entah siapa, sebenarnya sudah menyiapkan rancangan pembangunan seluruh stasiun yang layak, sesuai dengan kebutuhan masing-masing. Kasus di Stasiun Manggarai dan Bogor menunjukkan, para penumpang di peron tertentu tidak bisa langsung berpindah ke peron lainnya, karena terhalang oleh kereta-kereta di hadapannya. Padahal stasiun Manggarai merupakan stasiun transit ke beberapa tujuan: Jakarta Kota, Tanah Abang, Bogor, dan Bekasi. Apalagi kelak akan ditambah juga ke Bandara Soekarno-Hatta. Desain alur aliran penumpang yang ada saat ini, bukan saja membuat kesal penumpang, tetapi juga mengancam keselamatan penumpang.
Jalur keluar masuk penumpang kereta di beberapa stasiun, terutama Tanah Abang dan Manggarai, harus benar-benar diubah. Tabrakan antar penumpang tak perlu dipertahankan lagi. Misal, pintu keluar dan pintu masuk kereta disiapkan, sehingga kedua sisi pintu kereta dibuka. Penumpang bisa masuk dari sisi kanan dan keluar di sisi kiri. Dengan demikian, penumpang yang keluar akan mengikuti alirannya sendiri, baik yang menuju peron lain maupun menuju pintu keluar.
Desain stasiun model Cikini, Gondangdia, dan Gambir tampaknya memang cukup bagus. Tapi stasiun macam itu bukanlah desain stasiun yang ramah lansia, penyandang cacat, perempuan hamil, dan anak-anak. Apalagi model stasiun Serpong. Stasiun Serpong bagi saya merupakan model desain stasiun paling buruk, yang saya temui. Begitu juga dengan stasiun Palmerah. Saya tidak tahu apakah usai pembangunan stasiun Palmerah ini makin baik atau malah makin buruk.
Mungkin stasiun Sudirman yang menurut saya paling memenuhi syarat untuk diandalkan, dibandingkan dengan yang lain-lain. Kalau model stasiun Kebayoran, Pondok Ranji, Sentiong, Kramat dan lain-lain, merupakan model stasiun tradisional. Bahkan yang lebih mengenaskan lagi adalah stasiun Cicayur. Walaupun sekarang mendapatkan kursi tunggu yang nyaman, tapi peronnya benar-benar telanjang.
Seiring denga meningkatnya jumlah penumpang, tentu meningkat juga pendapatan kereta. Menata ulang seluruh stasiun menjadi layak dan ramah pada siapapun bukanlah beban bagi PT KAI, tapi justru investasi yang lebih bagus lagi.
Sahlul Fuad, penumpang commuterline dari stasiun Cicayur.
Post a Comment