Selimut
Melihat selimut putih bermotif garis-garis biru atau hitam mengingatkan saya ke masa kecil. Mungkin inilah jenis selimut yang pertama kali saya kenal dalam hidup ini. Dulu selimut itu saya pakai bertiga sekaligus, saya, emak, dan adik saya. Kadang saya dan adik saling menarik, berebut selimut itu agar menutupi seluruh badan.
Saya tidak tahu kapan emak membeli selimut itu. Mungkin emak sudah membelinya sebelum saya lahir, atau selimut itu dibeli saat kakak saya sakit. Pokoknya waktu itu saya menganggap selimut model itu adalah satu-satunya jenis selimut. Sebab, ke mana-mana setahu saya model selimut seperti itulah yang ada. Kalaupun berselimut sarung, tetap saja saya tidak menganggapnya itu selimut.
Semenjak aktif tidur di langgar, saya tidak lagi akrab dengan selimut bergaris-garis, kecuali sarung. Tapi ketika melihat foto kakak saya memakai selimut itu denga pose sakit, saya melihat selimut bergaris-garis itu identik sebagai selimut orang sakit. Apalagi sekarang selimut motif itu sering disumbangkan untuk korban-korban bencana.
Suatu ketika, saya menginap di rumah teman. Ternyata selimut yang disediakan untuk saya motifnya sama, meski warnanya berbeda. Ketika selimut itu saya tutupkan ke tubuh, saya merasakan sensasi selimut itu berbeda denga selimut yang ada di rumah saya. Selimut di rumah teman saya rasanya sangat tipis, sehingga saya tidak merasakan kehangatan berselimut. Mungkin bahannya berbeda, atau bisa jadi sama.
Mungkin saya merasakan selimut yang berbeda adalah ketika saya menginap di sebuah villa di Puncak, Bogor. Saya merasakan kehangatan yang lebih, padahal suhu di sana memang sangat sejuk. Beberapakali saya merasa rindu dengan jenis selimut itu. Dan saya merasakan selimut jenis itu ketika saya naik bus malam eksekutif. Sayangnya ukuran sangat kecil, padahal dinginnya AC bus malam kadang bikin saya mengigil, bahkan saya mengeluarkan sarung dari tas untuk menambah kehangatan.
Kini saya sudah tidak kangen lagi dengan selimut bulu itu. Rasanya begitu lembut.
Saya tidak tahu kapan emak membeli selimut itu. Mungkin emak sudah membelinya sebelum saya lahir, atau selimut itu dibeli saat kakak saya sakit. Pokoknya waktu itu saya menganggap selimut model itu adalah satu-satunya jenis selimut. Sebab, ke mana-mana setahu saya model selimut seperti itulah yang ada. Kalaupun berselimut sarung, tetap saja saya tidak menganggapnya itu selimut.
Semenjak aktif tidur di langgar, saya tidak lagi akrab dengan selimut bergaris-garis, kecuali sarung. Tapi ketika melihat foto kakak saya memakai selimut itu denga pose sakit, saya melihat selimut bergaris-garis itu identik sebagai selimut orang sakit. Apalagi sekarang selimut motif itu sering disumbangkan untuk korban-korban bencana.
Suatu ketika, saya menginap di rumah teman. Ternyata selimut yang disediakan untuk saya motifnya sama, meski warnanya berbeda. Ketika selimut itu saya tutupkan ke tubuh, saya merasakan sensasi selimut itu berbeda denga selimut yang ada di rumah saya. Selimut di rumah teman saya rasanya sangat tipis, sehingga saya tidak merasakan kehangatan berselimut. Mungkin bahannya berbeda, atau bisa jadi sama.
Mungkin saya merasakan selimut yang berbeda adalah ketika saya menginap di sebuah villa di Puncak, Bogor. Saya merasakan kehangatan yang lebih, padahal suhu di sana memang sangat sejuk. Beberapakali saya merasa rindu dengan jenis selimut itu. Dan saya merasakan selimut jenis itu ketika saya naik bus malam eksekutif. Sayangnya ukuran sangat kecil, padahal dinginnya AC bus malam kadang bikin saya mengigil, bahkan saya mengeluarkan sarung dari tas untuk menambah kehangatan.
Kini saya sudah tidak kangen lagi dengan selimut bulu itu. Rasanya begitu lembut.
Post a Comment