Uang-Politik-Uang
Dulu pernah ada pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP). Seandainya saya sekolah pasca dibubarkannya pelajaran ini, mungkin saya akan menduga bahwa pelajaran ini semata-mata mengajarkan tentang sopan-santun dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun nyatanya di sana sebenarnya ada sekilas tentang politik dan tatanegara.
Guru PMP saya ketika Aliyah adalah alm. Pak Sholih, lalu alm. Pak Bahruddin, dan diganti oleh Ibu Hatimah Maknunah. Terus terang, pelajaran ini memang bikin ngantuk. Mungkin juga karena gurunya. Namun ada satu pertanyaan saya ketika diajar oleh alm. Pak Bahruddin, sekitar tahun 1992, yang masih saya ingat, yaitu: kenapa Menteri kok mencalonkan diri menjadi anggota DPR? Bukankah mereka ini eksekutif dan DPR itu legislatif. Kenapa bisa? Dengan adanya menteri di situ, berarti dia curang?
Kalau sekarang ingat pertanyaan tersebut, saya jadi ketawa sendiri. Terus terang, waktu itu saya tidak mengerti sama sekali tentang politik. Dan jawaban guru saya saat itu juga sederhana saja, "Itulah politik..."
Kenapa saat itu saya bertanya demikian? Saya sendiri tidak ingat betul. Yang jelas, pada waktu itu sedang musim pemilu, dan saya melihat nama-nama menteri yang masih menjabat ternyata tertulis dalam jajaran calon anggota legislatif dari Golkar. Saya berpikir bahwa cara seperti itu adalah bentuk kecurangan. Kenapa saya berpikir bahwa cara seperti itu curang? Sederhana saja. Sebagai orang kampung, buta politik, masih remaja, dan memang belum punya hak pilih juga, saya menganggap bahwa pertarungan tersebut tidak imbang. Menteri adalah orang-orang hebat dan terkenal. Sedangkan yang lain-lain saya tidak kenal. Dengan demikian, masyarakat akan memilih yang hebat dan terkenal itu.
Kini pemahamanku telah berubah jauh. Sekarang ini yang saya pahami adalh bahwa untuk menang dalam meraih jabatan politik bukanlah yang hebat seperti yang saya pahami dahulu. Dari berbagai sumber politisi, tim sukses, dan aparatur pelaksana pemilu yang pernah terlibat dalam beberapa kali pemilu menunjukkan bahwa orang hebat saat ini adalah orang yang paling banyak menebar uang atau barang untuk pemilih. Konon, mereka-merekalah yang akhirnya mendapatkan jatah kursi yang diharapkan.
Apakah perilaku penyebaran uang itu disebut politik uang atau uang politik? Pastinya adalah uang politik. Untuk dikatakan politik uang, tentu harus dilihat lebih jauh lagi. Tidak semua uang politik itu politik uang, tapi sebaliknya politik uang pasti uang politik. Uang politik bisa dibelanjakan dalam bentuk spanduk, uang transportasi, uang komunikasi, dan sebagainya. Karena itu, KPU meminta kepada seluruh partai dan caleg untuk melaporkan uangnya. Meski dengan berbagai syarat dalam laporan itu, manipulasi laporan bukanlah hal yang susah.
Kini, uang politik merupakan hal yang sangat menentukan untuk meraih kursi. Persoalannya, banyak orang yang tidak bisa membelanjakan uang itu secara efektif dalam rangka memperoleh dukungan. Misal, apakah belanja spanduk yang berlebihan bisa setara dengan perolehan suara? Apakah membantu pembangunan masjid bisa menambah suara? Apakah memberi uang kepada perempuan bisa mengubah pilihannya? Dan seterusnya.
Apakah memberi uang kepada pemilih itu termasuk melakukan politik uang dan termasuk melakukan pidana? Saya kira problem ini perlu dikuak lebih jauh lagi. Saat ini hampir semua kandidat yang ingin terpilih, akan memberi uang kepada pemilih. Alasan pemilih sederhana, dengan adanya pemilu, pendapatan sehari mereka hilang. Karena itu mereka yang ikut hadir memilih harus diganti. Apakah KPU mau mengganti uang rakyat itu? Boleh juga sih... Artinya, para kandidat beserta pendukungnya benar-benar tidak boleh memberi uang pada pemilih.
Persoalan lainnya adalah, oleh karena kandidat-kandidat memberi uang, pendukung loyal (ideologis) pun akhirnya iri, dan menuntut minta uang juga kepada kandidat andalannya. Artinya, kandidat memberi uang itu bukan semata-semata agar pemilih memilihnya, tetapi juga karena memberikan rasa adil bagi pendukungnya. Bentuk keadilannya adalah memberikan uang politik agar tidak sakit hati lihat kandidat tetangga. Sedikit pun tidak masalah, yang penting dikasih.
Guru PMP saya ketika Aliyah adalah alm. Pak Sholih, lalu alm. Pak Bahruddin, dan diganti oleh Ibu Hatimah Maknunah. Terus terang, pelajaran ini memang bikin ngantuk. Mungkin juga karena gurunya. Namun ada satu pertanyaan saya ketika diajar oleh alm. Pak Bahruddin, sekitar tahun 1992, yang masih saya ingat, yaitu: kenapa Menteri kok mencalonkan diri menjadi anggota DPR? Bukankah mereka ini eksekutif dan DPR itu legislatif. Kenapa bisa? Dengan adanya menteri di situ, berarti dia curang?
Kalau sekarang ingat pertanyaan tersebut, saya jadi ketawa sendiri. Terus terang, waktu itu saya tidak mengerti sama sekali tentang politik. Dan jawaban guru saya saat itu juga sederhana saja, "Itulah politik..."
Kenapa saat itu saya bertanya demikian? Saya sendiri tidak ingat betul. Yang jelas, pada waktu itu sedang musim pemilu, dan saya melihat nama-nama menteri yang masih menjabat ternyata tertulis dalam jajaran calon anggota legislatif dari Golkar. Saya berpikir bahwa cara seperti itu adalah bentuk kecurangan. Kenapa saya berpikir bahwa cara seperti itu curang? Sederhana saja. Sebagai orang kampung, buta politik, masih remaja, dan memang belum punya hak pilih juga, saya menganggap bahwa pertarungan tersebut tidak imbang. Menteri adalah orang-orang hebat dan terkenal. Sedangkan yang lain-lain saya tidak kenal. Dengan demikian, masyarakat akan memilih yang hebat dan terkenal itu.
Kini pemahamanku telah berubah jauh. Sekarang ini yang saya pahami adalh bahwa untuk menang dalam meraih jabatan politik bukanlah yang hebat seperti yang saya pahami dahulu. Dari berbagai sumber politisi, tim sukses, dan aparatur pelaksana pemilu yang pernah terlibat dalam beberapa kali pemilu menunjukkan bahwa orang hebat saat ini adalah orang yang paling banyak menebar uang atau barang untuk pemilih. Konon, mereka-merekalah yang akhirnya mendapatkan jatah kursi yang diharapkan.
Apakah perilaku penyebaran uang itu disebut politik uang atau uang politik? Pastinya adalah uang politik. Untuk dikatakan politik uang, tentu harus dilihat lebih jauh lagi. Tidak semua uang politik itu politik uang, tapi sebaliknya politik uang pasti uang politik. Uang politik bisa dibelanjakan dalam bentuk spanduk, uang transportasi, uang komunikasi, dan sebagainya. Karena itu, KPU meminta kepada seluruh partai dan caleg untuk melaporkan uangnya. Meski dengan berbagai syarat dalam laporan itu, manipulasi laporan bukanlah hal yang susah.
Kini, uang politik merupakan hal yang sangat menentukan untuk meraih kursi. Persoalannya, banyak orang yang tidak bisa membelanjakan uang itu secara efektif dalam rangka memperoleh dukungan. Misal, apakah belanja spanduk yang berlebihan bisa setara dengan perolehan suara? Apakah membantu pembangunan masjid bisa menambah suara? Apakah memberi uang kepada perempuan bisa mengubah pilihannya? Dan seterusnya.
Apakah memberi uang kepada pemilih itu termasuk melakukan politik uang dan termasuk melakukan pidana? Saya kira problem ini perlu dikuak lebih jauh lagi. Saat ini hampir semua kandidat yang ingin terpilih, akan memberi uang kepada pemilih. Alasan pemilih sederhana, dengan adanya pemilu, pendapatan sehari mereka hilang. Karena itu mereka yang ikut hadir memilih harus diganti. Apakah KPU mau mengganti uang rakyat itu? Boleh juga sih... Artinya, para kandidat beserta pendukungnya benar-benar tidak boleh memberi uang pada pemilih.
Persoalan lainnya adalah, oleh karena kandidat-kandidat memberi uang, pendukung loyal (ideologis) pun akhirnya iri, dan menuntut minta uang juga kepada kandidat andalannya. Artinya, kandidat memberi uang itu bukan semata-semata agar pemilih memilihnya, tetapi juga karena memberikan rasa adil bagi pendukungnya. Bentuk keadilannya adalah memberikan uang politik agar tidak sakit hati lihat kandidat tetangga. Sedikit pun tidak masalah, yang penting dikasih.
Post a Comment