Wonosobo, Kita Berjumpa Lagi

Seingatku, nama kota Wonosobo saya kenal pertama kali karena kakak ketiga saya nyantri di Pondok Pesantren Kalibeber. Nama itu pondok ini makin akrab saat ada peristiwa penulisan Mushaf Al-Qur'an terbesar di Indonesia. Saya tahunya dari membaca koran Jawa Pos saat itu. Ditambah lagi dua senior saya juga menyantri di sana.

Tidak lama kemudian, ketika saya di Semarang, saya berkenalan dengan dua santri asal Wonosobo, namanya Muhammad Alim dan Ibnu Hajar. Karena kedua orang itu pula akhirnya saya sampai di sebuah daerah dingin itu. Pada waktu pernikahan Kang Alim, saya bersama Rony Ms naik bus menuju Wonosobo turun di Kertek. Dalam perjalanan itu, saya sempat ngeri melihat mata bahaya yang selalu mengintai di kanan kiri jalan. Lika-liku dan jurang yang curam membuat aku berkata, "Kayaknya gak bakal ngulang ke sini lagi."

Tak lama kemudian, saya dan teman-teman kembali diundang Kang Hajar untuk menghadiri pernikahannya. Ah, rupanya saya tidak mampu melawan pernyataan saya sebelumnya. Saya kembali melintasi lika-liku perjalanan dari Temanggung-Wonosobo. Kali ini, saya merasa rasa ketakutan saya sudah berkurang. Entahlah. Mungkin karena saya pernah melewatinya atau cara sopir bus menjalankan mobil itu. Bersama Rony Ms dan Doel As'ad, saya menikmati kembali dinginnya Wonosobo. Bahkan di rumah kang Hajar, saya menceburkan diri di sebuah telaga kecil pada sekitar pukul 03:30 atau 04:00. Brrrrr.. saya kira, itulah puncak dinginnya malam di sana.

Sekitar 15 tahun kemudian, saya kembali ke Wonosobo lagi. Saya bertemu Artiyah, teman sekampung dan sekelas sejak Ibtidaiyah hingga Aliyah. Dia melanjutkan kuliah di IIQ Wonosobo, Kalibeber, yang kini menjadi UNSIQ, setelah beberapa tahun lulus Aliyah. Seperti halnya saya, baru melanjutkan kuliah di PTIQ setelah beberapa tahun lulus Aliyah. Sebelum bertemu di Wonosobo, saya sempat bertemu dengannya di Kendari dalam acara MTQ Nasional. Di rumah Artiyah saya mendapatkan makanan khas Wonosobo, Mie Ongklok.

Sebenarnya, berkunjung ke Wonosobo bukan dalam rangka itu semata, tetapi karena hajatan NU Miring yang diselenggarakan Kiai Ahmad Baehaki dan para mahasiswa UNSIQ. Akhirnya, sampai juga saya di sebuah tempat yang hanya kudengar dan kubaca tentang Kalibeber yang ternama itu. Bukan hanya itu, saya membaca beberapa puisi dari 33 Puisi Dusta di sana. Bukan membaca Al-Qur'an. Hahaha.

Selain baca puisi, saya dan Binhad Nurrohmat berkeliling Wonosobo bersama Kiai Baehaki dan ustadz Arif menziarahi makam-makam tokoh Wonosobo. Bahkan tengah malam kami menaiki bukit tinggi dan gelap untuk menziarahi makam dengan batu nisan yang sangat sederhana. Kami menjadi pemburu kuburan tua di Wonosobo.

Dan yang tak terlupakan dari Wonosobo adalah tempe kemul dan kopi purwaceng. Saya pun membawa purwaceng, sebuah gingseng khas Wonosobo yang terkenal berkhasiat bagi ketahanan stamina pria.

Hari ini, saya bertemu Rohani Shidiq, penulis buku berjudul KH. Saifuddin Zuhri, Mutiara dari Pesantren. Pertemuan ini menginspirasi menulis ini. Saya berkeliling dengannya, dari PTIQ ke Yayasan Saifuddin Zuhri, dan PBNU. Rupanya, dia bukan hanya kenal Ahmad Baehaki, tapi juga kenal dengan Artiyah. Selamat jalan, sampai jumpa lagi di kemudian hari. Semoga makin produktif.


1 komentar: