Menanti Fiqih Kemiskinan

Al-Qur'an dan Hadits banyak menyinggung mengenai fakir dan miskin. Umat Islam diajak dan bahkan diwajibkan memberikan perhatian serius kepada orang-orang fakir dan miskin. Namun di antara yang menarik perhatian saya, seakan-akan fakir dan miskin lebih banyak diposisikan sebagai penerima bantuan saja.

Perintah yang paling umum terkait orang-orang miskin adalah, berikanlah sedekah kepada orang miskin dan berikanlah makan kepada orang miskin. Meski demikian, sebenarnya perintah-perintah untuk bekerja dan beribadah tidak hanya untuk orang kaya. Sampai suatu ketika saya pernah mendengar ungkapan orang-orang, kayaknya beragama itu hanya untuk orang kaya. Misal, bagaimana orang miskin bisa bersedekah, berzakat, atau infaq, sementara dia sendiri tidak punya.

Gagasan menarik dari tafsir-tafsir yang ada tentang kemiskinan masa kini adalah pengembangan pengelolaan zakat, sedekah, dan infaq. Jika tafsir lama lebih berbentuk karikatif, tafsir masa kini berbentuk produktif. Tentu hal ini didasarkan atas telaah pemberian zakat, sedekah, dan infak selama ini yang bersifat karikatif tidak mampu mengubah kondisi kemiskinan masyarakat. Ketika diberi bahan makanan pokok, orang miskin hanya memanfaatkan pemberian tersebut untuk sekadar makan, dan bahkan menjadi ketergantungan. Karena itu konsep pemberian itu diubah menjadi modal usaha dan pendampingan.

Namun, ada satu problem yang tampaknya belum dirumuskan oleh para ahli Fiqih, sepanjang yang saya tahu, adalah ukuran kemiskinan yang lebih konkret. Secara umum para ulama memang sudah merumuskan pengertian kemiskinan, misal, Madzhab Hanafi menyatakan bahwa orang fakir adalah orang yang memiliki usaha namun tidak mencukupi untuk keperluan sehari-hari. Sedangkan orang miskin tidak memiliki mata pencaharian untuk mencukupi keperluan sehari-hari. Jadi keadaan orang fakir masih lebih baik daripada orang miskin. Namun, pengertian keperluan sehari-hari ini kadang sulit untuk diukur.

Ukuran kemiskinan jika dikembalikan kepada keperluan sehari-hari, jangan-jangan hanya mengacu kepada kebutuhan makan. Padahal kebutuhan sehari-hari masih ada air, rumah, pakaian, transportasi, pengobatan, dan sebagainya. Jika hal ini tidak dibongkar lebih luas lagi, problem kemiskinan dalam kajian Fiqih menjadi terlalu menyederhanakan. Akibatnya, pemberian zakat atau sedekah dan infak hanya berwujud pada makanan pokok, yang kalau dihitung bisa jadi satu orang hanya sekitar 73 kg per tahun atau jika harga per kilogram Rp 10.000 berarti batas kemiskinan seseorang minimal Rp 730.000 per tahun. Tentu ukuran ini tidak masuk akal.

Kemiskinan memang problem universal. Ukuran kemiskinan juga beragam. Misal, Bank Dunia menggunakan standar kemiskinan US $1 dan US $2 PPP. BPS menghitung berdasarkan nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2.100 kilo kalori per kapita per hari. Saya belum tahu, sumbangsih ukuran kemiskinan menurut Fiqih, kira-kira apa? Saya kira, pengembangan dari Fiqih Sosial yang pernah digagas oleh (alm) KH. Sahl Mahfudz bisa mengarah pada metodologi penentuan ukuran kemiskinan ini.

Fiqih Kemiskinan ini tampaknya sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Sederhana saja, banyak orang juga bertanya, bagaimana hukum memberi zakat atau sedekah kepada orang miskin yang tidak beragama Islam? Tentu ini akan memicu pendapat kontroversial. Dalam konteks-konteks seperti apa kemiskinan dipahami dalam ajaran Islam? Sebab, dalam perkembangan zaman seperti ini, kemiskinan juga mengalami perkembangan. Misal, dulu orang mengemis atau meminta-minta adalah kategori miskin. Namun, kini mengemis telah menjadi profesi dengan pendapatan yang besar, melebihi pendapatan orang-orang kelas menengah. Begitu pula hal-hal lain yang muncul di tengah masyarakat.

Tidak ada komentar