Pengetahuan, Benci, dan Cinta
Kebencian merupakan sikap, yang lahir dari perasaan, yang bersarang dalam hati. Mungkin setiap manusia mempunyai perasaan benci, entah kepada apa atau siapa. Benci kepada hal yang baik atau pun hal yang buruk. Kebencian adalah perasaan manusiawi. Sulit kita menemukan manusia yang tidak memiliki rasa benci. Begitu juga dengan kecintaan atau perasaan cinta.
Di belahan dunia manapun, dataran tinggi atau pun dataran rendah, beragama maupun tidak beragama, bodoh atau pun pintar, lelaki maupun perempuan, semua memiliki perasaan benci dan cinta. Andai ada manusia tidak memiliki kedua perasaan itu, mungkin perlu diperiksakan kesehatan raga dan jiwanya. Bagaimana mungkin manusia hidup tanpa memiliki kebencian dan kecintaan. Benci memang sering dilawankan dengan Cinta. Jika benci diasosiasikan pada penolakan, cinta diasosiasikan pada penerimaan.
Bagaimana rasa benci dan cinta itu bekerja? Kenapa manusia bisa timbul perasaan benci atau cinta? Apakah cara bekerja rasa benci dan rasa cinta itu sama? Mungkin penyebabnya jelas berbeda. Jika benci muncul disebabkan oleh penolakan yang sangat, cinta timbul karena penerimaan yang sangat. Jika benci hadir karena perbedaan-perbedaan yang tajam, cinta datang karena persamaan-persamaan yang banyak. Jika benci ada karena menimbulkan hal yang mengancam, cinta ada karena mendamaikan.
Ekspresi benci dan cinta pun tentu kemungkinannya bertolak belakang. Jika benci cenderung diekspresikan dengan cara merusak, kasar, marah, bersuara tinggi, menyerang, menghindar, dan membuang hal-hal yang dibencinya, cinta cenderung diekspresikan dengan cara menerima, menyimpan, merawat, memperbaiki, lemah-lembut atau ramah, bersuara halus, memeluk, dan selalu ingin menemui atau melihatnya.
Membicarakan cinta dan benci di sini tidak hanya terkait antara dua manusia berlawan jenis kelamin. Lebih dari sekadar itu. Benci dan cinta di sini bisa saja terkait antara manusia dengan benda, manusia dengan perbuatan, bahkan antara manusia dengan ide atau aturan.
Orang Jawa bilang, "Witing Tresno Jalaran Songko Kulino", atau "Pohon Cinta Tumbuh karena Kebiasaan". Apakah kebencian juga sama, datang atau tumbuh karena kebiasaan? Bisa jadi. "Dari mana datangnya cinta? Dari mata turun ke hati" begitu ungkapan yang juga umum diamini masyarakat Indonesia. Apakah kebencian juga sama, dari hati turun ke hati? Bisa jadi. Namun ada ungkapan cinta yang tampaknya tidak sesuai dengan ungkapan benci. Misal, "Aku mencintaimu apa adanya", rasanya tidak pas jika dibalik menjadi, "Aku membencimu apa adanya." Begitu juga ungkapan, "Aku mencintaimu setulus hati" tidak akan cocok dengan ungkapan "Aku membencimu setulus hati." Sebab cinta dan ketulusan sama-sama berwatak positif, sedangkan benci berwatak negatif akan terjadi penolakan terhadap ketulusan yang positif. Namun menariknya, keduanya bisa masuk dalam sifat kebutaan yang berwatak negatif, seperti frase "cinta itu buta" atau "benci itu buta".
Secara etis, cinta itu kesannya baik dan benci itu terkesan buruk. Cinta dilihat sebagai hal positif, tetapi benci dipandang sebagai hal negatif. Dalam skala wajar, cinta dan benci berada dalam posisi normal dampaknya biasa-biasa saja. Namun ketika dalam skala ekstrem seperti "cinta buta" atau "benci buta" seringkali dianggap tidak wajar, dan bisa berdampak buruk.
Seseorang yang tengah mengidap kebencian yang buta atau kecintaan yang buta cenderung mengabaikan baik dan buruk. Dia tidak lagi mempunyai kontrol atas perasaannya. Seorang pembenci buta tidak mampu lagi melihat kebaikan terhadap hal-hal yang dibencinya, walaupun kebaikan itu tampak jelas, bahkan pernah menyelamatkan nyawanya. Begitu juga pencinta buta tak mampu lagi melihat kejahatan orang yang dibencinya, walaupun hal yang dicintainya mengancam nyawanya.
Sebagaimana ungkapan-ungkapan tentang hadirnya rasa benci dan cinta di atas, di mana benci berwatak negatif dan cinta bersifat positif, benci dan cinta akan datang sesuai dengan persepsi negatif atau positif. Seseorang yang terus-terusan diberi informasi-informasi negatif tentang suatu hal atau sosok tertentu, kemungkinan besar orang tersebut akan membenci suatu hal atau sosok tertentu tersebut. Kalau diandalkan manusia adalah gelas kaca bening, informasi positif sebagai air susu dan informasi negatif sebagai air kopi mungkin bisa dilihat bagaimana kebencian atau kecintaan itu tampak dalam gelas bening itu. Kalau gelas tersebut dituangi air susu yang putih, hanya cinta yang tampak. Begitu pula sebaliknya. Namun ketika kedua jenis air tersebut dicampur dalam gelas tersebut, warnanya tentu berubah, tergantung unsur apa yang paling dominan. Setelah melihat warna, belum tentu rasanya sama dengan dugaan warnanya. Apakah dalam air tersebut ada gulanya atau ada garamnya? Seseorang yang hanya melihat seringkali salah paham gara-gara tidak pernah mencicipinya. Maka mencicipi adalah bagian dari komunikasi untuk melengkapi pengetahuan seseorang.
Misal, jika setiap hari seorang anak diberi tahu ibunya bahwa minum es bisa membuatnya batuk dan sakit flu, didukung oleh lingkungan (keluarga dan tetangganya) yang tidak ada minum es, kemungkinan besar anak itu menjadi pembenci es. Suatu ketika si anak itu minum es dan terbukti mengalami gejala batuk dan flu, anak itu makin yakin bahwa es memang layak dibenci, bisa jadi sangat benci alias benci buta. Padahal, sebenarnya es yang memakai pemanis tertentu saja yang menyebabkan gejala sakit tersebut. Bagi yang terlanjur benci buta, dia tidak akan bisa menerima segala bentuk minuman es. Namun, bagi yang bencinya normal, ketika menyaksikan orang lain di tempat berbeda minum es, tetapi tidak mengalami gejala batuk dan flu, kemungkinan dia akan mau mencobanya.
Begitu juga dengan cinta. Jika seorang gadis mendapat perlakuan baik dari seorang pria setiap saat, bisa jadi gadis tersebut akan mencintai pria tersebut. Walaupun tampilan pria bukanlah idamannya, namun perlakuan-perlakuan pria tersebut merupakan perlakuan yang selalu diharapkan. Gadis tersebut tidak tahu bahwa perlakuan baik itu bukan alami, tetapi hanyalah manipulasi si pria untuk mengubah dugaan atau persepsi si gadis.
Apakah pembenci atau pencinta buta tersebut bisa dinilai sebagai orang yang konyol? Bisa jadi. Ketika rasa benci dan cinta yang sangat menggelora dalam hati mereka sedang kambuh, nurani dan pikirannya akan tertutup dari segala kemungkinan. Dia cenderung tidak bisa memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang lebih strategis, luas, dan cerdas, kecuali sebelumnya dia telah terlatih berpikir analitis, strategis, dan cerdas.
Pengetahuan atau pikiran, saya kira, merupakan alat kontrol terhadap perasaan-perasaan yang sifatnya meraba-raba dan dugaan yang bersumber dari hati, bukan nurani, yang harus diuji. Pengetahuan yang terbatas memang bisa mendorong perasaan benci dan cinta yang membabi buta. Begitu juga pengetahuan yang mendalam terhadap salah satu dimensi, positif atau negatif, bisa menimbulkan kebencian atau kecintaan yang buta. Keseimbangan pengetahuan antara dimensi negatif dan positif bisa jadi menjadi obat mujarab untuk mengatasi kekonyolan manusia dalam hal kebencian atau kecintaan.
Apakah orang yang fanatik terhadap salah satu sumber informasi tertentu cenderung berada dalam kebencian atau kecintaan yang serius? Bisa jadi. Media massa sebagai sumber informasi tidaklah bebas nilai. Setiap media massa memiliki kecenderungan-kecenderungan yang khas, ada yang cenderung bicara negatif atau ada yang cenderung ngomong yang positif. Orang yang cenderung berkarakter netral tidak akan menolak keduanya secara ekstrem, namun justru dia akan berusaha mencari aspek sebaliknya. Jika infomasi yang dihadapinya positif, dia akan mencari aspek negatifnya, begitu juga sebaliknya.
Persoalan selanjutnya, apakah Anda percaya apa yang sedang Anda baca saat ini? Bukankah tulisan ini hanyalah rabaan-rabaan spekulatif, dan tidak didasarkan pada penelitian ilmiah?
Di belahan dunia manapun, dataran tinggi atau pun dataran rendah, beragama maupun tidak beragama, bodoh atau pun pintar, lelaki maupun perempuan, semua memiliki perasaan benci dan cinta. Andai ada manusia tidak memiliki kedua perasaan itu, mungkin perlu diperiksakan kesehatan raga dan jiwanya. Bagaimana mungkin manusia hidup tanpa memiliki kebencian dan kecintaan. Benci memang sering dilawankan dengan Cinta. Jika benci diasosiasikan pada penolakan, cinta diasosiasikan pada penerimaan.
Bagaimana rasa benci dan cinta itu bekerja? Kenapa manusia bisa timbul perasaan benci atau cinta? Apakah cara bekerja rasa benci dan rasa cinta itu sama? Mungkin penyebabnya jelas berbeda. Jika benci muncul disebabkan oleh penolakan yang sangat, cinta timbul karena penerimaan yang sangat. Jika benci hadir karena perbedaan-perbedaan yang tajam, cinta datang karena persamaan-persamaan yang banyak. Jika benci ada karena menimbulkan hal yang mengancam, cinta ada karena mendamaikan.
Ekspresi benci dan cinta pun tentu kemungkinannya bertolak belakang. Jika benci cenderung diekspresikan dengan cara merusak, kasar, marah, bersuara tinggi, menyerang, menghindar, dan membuang hal-hal yang dibencinya, cinta cenderung diekspresikan dengan cara menerima, menyimpan, merawat, memperbaiki, lemah-lembut atau ramah, bersuara halus, memeluk, dan selalu ingin menemui atau melihatnya.
Membicarakan cinta dan benci di sini tidak hanya terkait antara dua manusia berlawan jenis kelamin. Lebih dari sekadar itu. Benci dan cinta di sini bisa saja terkait antara manusia dengan benda, manusia dengan perbuatan, bahkan antara manusia dengan ide atau aturan.
Orang Jawa bilang, "Witing Tresno Jalaran Songko Kulino", atau "Pohon Cinta Tumbuh karena Kebiasaan". Apakah kebencian juga sama, datang atau tumbuh karena kebiasaan? Bisa jadi. "Dari mana datangnya cinta? Dari mata turun ke hati" begitu ungkapan yang juga umum diamini masyarakat Indonesia. Apakah kebencian juga sama, dari hati turun ke hati? Bisa jadi. Namun ada ungkapan cinta yang tampaknya tidak sesuai dengan ungkapan benci. Misal, "Aku mencintaimu apa adanya", rasanya tidak pas jika dibalik menjadi, "Aku membencimu apa adanya." Begitu juga ungkapan, "Aku mencintaimu setulus hati" tidak akan cocok dengan ungkapan "Aku membencimu setulus hati." Sebab cinta dan ketulusan sama-sama berwatak positif, sedangkan benci berwatak negatif akan terjadi penolakan terhadap ketulusan yang positif. Namun menariknya, keduanya bisa masuk dalam sifat kebutaan yang berwatak negatif, seperti frase "cinta itu buta" atau "benci itu buta".
Secara etis, cinta itu kesannya baik dan benci itu terkesan buruk. Cinta dilihat sebagai hal positif, tetapi benci dipandang sebagai hal negatif. Dalam skala wajar, cinta dan benci berada dalam posisi normal dampaknya biasa-biasa saja. Namun ketika dalam skala ekstrem seperti "cinta buta" atau "benci buta" seringkali dianggap tidak wajar, dan bisa berdampak buruk.
Seseorang yang tengah mengidap kebencian yang buta atau kecintaan yang buta cenderung mengabaikan baik dan buruk. Dia tidak lagi mempunyai kontrol atas perasaannya. Seorang pembenci buta tidak mampu lagi melihat kebaikan terhadap hal-hal yang dibencinya, walaupun kebaikan itu tampak jelas, bahkan pernah menyelamatkan nyawanya. Begitu juga pencinta buta tak mampu lagi melihat kejahatan orang yang dibencinya, walaupun hal yang dicintainya mengancam nyawanya.
Sebagaimana ungkapan-ungkapan tentang hadirnya rasa benci dan cinta di atas, di mana benci berwatak negatif dan cinta bersifat positif, benci dan cinta akan datang sesuai dengan persepsi negatif atau positif. Seseorang yang terus-terusan diberi informasi-informasi negatif tentang suatu hal atau sosok tertentu, kemungkinan besar orang tersebut akan membenci suatu hal atau sosok tertentu tersebut. Kalau diandalkan manusia adalah gelas kaca bening, informasi positif sebagai air susu dan informasi negatif sebagai air kopi mungkin bisa dilihat bagaimana kebencian atau kecintaan itu tampak dalam gelas bening itu. Kalau gelas tersebut dituangi air susu yang putih, hanya cinta yang tampak. Begitu pula sebaliknya. Namun ketika kedua jenis air tersebut dicampur dalam gelas tersebut, warnanya tentu berubah, tergantung unsur apa yang paling dominan. Setelah melihat warna, belum tentu rasanya sama dengan dugaan warnanya. Apakah dalam air tersebut ada gulanya atau ada garamnya? Seseorang yang hanya melihat seringkali salah paham gara-gara tidak pernah mencicipinya. Maka mencicipi adalah bagian dari komunikasi untuk melengkapi pengetahuan seseorang.
Misal, jika setiap hari seorang anak diberi tahu ibunya bahwa minum es bisa membuatnya batuk dan sakit flu, didukung oleh lingkungan (keluarga dan tetangganya) yang tidak ada minum es, kemungkinan besar anak itu menjadi pembenci es. Suatu ketika si anak itu minum es dan terbukti mengalami gejala batuk dan flu, anak itu makin yakin bahwa es memang layak dibenci, bisa jadi sangat benci alias benci buta. Padahal, sebenarnya es yang memakai pemanis tertentu saja yang menyebabkan gejala sakit tersebut. Bagi yang terlanjur benci buta, dia tidak akan bisa menerima segala bentuk minuman es. Namun, bagi yang bencinya normal, ketika menyaksikan orang lain di tempat berbeda minum es, tetapi tidak mengalami gejala batuk dan flu, kemungkinan dia akan mau mencobanya.
Begitu juga dengan cinta. Jika seorang gadis mendapat perlakuan baik dari seorang pria setiap saat, bisa jadi gadis tersebut akan mencintai pria tersebut. Walaupun tampilan pria bukanlah idamannya, namun perlakuan-perlakuan pria tersebut merupakan perlakuan yang selalu diharapkan. Gadis tersebut tidak tahu bahwa perlakuan baik itu bukan alami, tetapi hanyalah manipulasi si pria untuk mengubah dugaan atau persepsi si gadis.
Apakah pembenci atau pencinta buta tersebut bisa dinilai sebagai orang yang konyol? Bisa jadi. Ketika rasa benci dan cinta yang sangat menggelora dalam hati mereka sedang kambuh, nurani dan pikirannya akan tertutup dari segala kemungkinan. Dia cenderung tidak bisa memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang lebih strategis, luas, dan cerdas, kecuali sebelumnya dia telah terlatih berpikir analitis, strategis, dan cerdas.
Pengetahuan atau pikiran, saya kira, merupakan alat kontrol terhadap perasaan-perasaan yang sifatnya meraba-raba dan dugaan yang bersumber dari hati, bukan nurani, yang harus diuji. Pengetahuan yang terbatas memang bisa mendorong perasaan benci dan cinta yang membabi buta. Begitu juga pengetahuan yang mendalam terhadap salah satu dimensi, positif atau negatif, bisa menimbulkan kebencian atau kecintaan yang buta. Keseimbangan pengetahuan antara dimensi negatif dan positif bisa jadi menjadi obat mujarab untuk mengatasi kekonyolan manusia dalam hal kebencian atau kecintaan.
Apakah orang yang fanatik terhadap salah satu sumber informasi tertentu cenderung berada dalam kebencian atau kecintaan yang serius? Bisa jadi. Media massa sebagai sumber informasi tidaklah bebas nilai. Setiap media massa memiliki kecenderungan-kecenderungan yang khas, ada yang cenderung bicara negatif atau ada yang cenderung ngomong yang positif. Orang yang cenderung berkarakter netral tidak akan menolak keduanya secara ekstrem, namun justru dia akan berusaha mencari aspek sebaliknya. Jika infomasi yang dihadapinya positif, dia akan mencari aspek negatifnya, begitu juga sebaliknya.
Persoalan selanjutnya, apakah Anda percaya apa yang sedang Anda baca saat ini? Bukankah tulisan ini hanyalah rabaan-rabaan spekulatif, dan tidak didasarkan pada penelitian ilmiah?
Post a Comment