Obituarium Ahmad Mila Hasan
Ahmad Mila Hasan begitu cepat meninggalkan kita semua. Pesan pendek kuterima dari Andik Kiswanto, "Inalillahi Wa Ina Ilaihi Rajiun, Sahabat AMH telah meninggalkan qt semua. Al fatiha.." pesan ini diterima ponsel saya pukul 16:13, hari Sabtu, 9 April 2016.
Berita duka ini tentu mengejutkan banyak teman. Usia mantan wartawan Duta Masyarakat ini tergolong masih muda, yakni baru berusia hampir genap 37 tahun pada bulan Mei ini.
Terakhir kali saya melihat sosoknya sekitar hampir setahun yang lalu. Waktu itu saya sedang menanti angkutan umum di sekitar stasiun Pondok Ranji, kampung Utan. Dia mengendarai motor, membonceng anak istrinya. Saya tak sempat berbincang-bincang, karena dia terus melajukan motornya menuju arah Ciputat. Beberapa hari sebelumnya, saya sempat berbincang-bincang di kantornya, Kementerian Sosial RI (Kemensos). Dia diangkat Ibu Menteri Sosial RI Khofifah sebagai Tenaga Ahli.
Sejak itu, saya hanya mendengar kabar bahwa Alumni Madrasah Aliyah Khusus (MAK) Tarbiyatut Tholabah Kranji ini terserang stroke dan tidak aktif lagi di Kemensos. Awal-awal tahun 2016, saat saya main ke ruangan Staf Khusus Mensos, saya mendapat kabar yang cukup menggemberikan. Mila, begitu saya biasa memanggilnya, sudah aktif bekerja lagi di Kemensos. Sayangnya, saya tidak sempat jumpa. Saya hanya dengar cerita dari Mas Ari dan Mas Idy Muzayyad bahwa Mila seringkali sudah "tidak nyambung".
Terus terang, saya punya kenangan tersendiri dengan Mila. Saya mengenalnya pertama kali saat di Asrama MAK Tarbiyatut Tholabah, sekitar 1995/1996. Saat itu dia masih sekolah aliyah, dan saya sedang mempersiapkan diri untuk masuk kuliah di Institut PTIQ Jakarta. Saya sengaja tinggal di Pondok Pesantren Tarbiyatut Tholabah untuk melancarkan hafalan Alquran saya, karena Abuya Abdullah Umar sedang menjalankan Ibadah Haji. Di asrama MAK itu saya tinggal, bersama para santri lainnya.
Mila memang tidak tinggal di asrama, tetapi setiap saat dia berada di sana. Rumahnya tidak terlalu jauh dari pondok yang diasuh oleh KH. Moh. Baqir Adelan saat itu. Dia tinggal di Desa Tunggul, Paciran, sekitar 1-2 km dari lokasi PP Tabah Kranji, Paciran. Mila cukup pulang-pergi saja dari pondok ke rumahnya. Namun saya kira waktunya banyak dihabiskan di pondok.
Di MAK, Mila tergolong anak yang aktif dan cerdas. Kalau mendengar obrolannya, dia tergolong anak yang selalu bersemangat.
Suatu malam, di kamar pojok tempat saya dan Cak Abdul Halim tinggal, Mila menjelaskan kepada saya bagaimana kehidupan sebagai nelayan, yang tidak pernah saya ketahui sebelumnya. Saya baru tahu bagaimana cara nelayan itu melaut, menangkap ikan, dan berbagi keuntungan.
Kranji adalah kampung kelahiran Ibu saya. Sebagaimana di Tunggul, kampung kelahiran Mila, Kranji adalah perkampung nelayan pesisir utara. Kampung-kampung itu sederet dengan taman Wisata Tanjung Kodok, yang kini terkenal sebagai Wisata Bahari Lamongan (WBL).
Sebagai kampung nelayan, tentu mata pencahariannya berasal dari menangkap ikan, yang disebut Mila dengan istilah "Miyang". Kalau tidak salah, Miyang itu menebar jaring ke laut, lalu ditarik ke kapalnya. Mila sangat antusias menceritakan Miyang ini kepada saya. Cerita tentang Miyang ini membuat saya begitu berkesan. Karena itu, seringkali dia atau saya saling mengajak Miyang, walaupun tak pernah terealisasi.
Setelah lama tak berjumpa, tiba-tiba kami berjumpa di Jakarta. Dia telah menjadi mahasiswa LIPIA dan aktif di PMII. Tak lama kemudian, berdirilah WASIAT, sebuah organisasi paguyuban alumni Pondok Pesantren Tarbiyatut Tholabah di Jakarta. Saya menduga salah satu pelopornya adalah Mila, tentu dengan para seniornya seperti Mas'ud Abdullah dan juga teman-teman lainnya.
Mila menunjukkan kemajuan aktivitasnya. Dia bekerja sebagai wartawan Duta Masyarakat biro Jakarta. Beberapa kali dia mengangkat artikel-artikel atau berita terkait PP Tabah, seperti profil KH. Moh. Baqir Adelan, profil Abdullah Mas'ud, dan lain-lain. Dia juga aktif di PP IPNU.
Selaku wartawan Duta Masyarakat, dia menjadi salah seorang kepercayaan Ketua Umum PBNU KH. Hasyim Muzadi. Suatu ketika, saya menyaksikan peristiwa yang begitu mencengangkan terkait relasi Mila dengan Pak Hasyim. Saat itu, saya lupa acara apa, Pak Hasyim selaku Ketua Umum PBNU usai berpidato membuka acara. Sedangkan saya dan Mila sedang kongkow-kongkow di luar forum, gedung PBNU lantai 8. Saat Mila sedang memainkan HP-nya sambil duduk di lantai, tiba-tiba Pak Hasyim mendatangi Mila dan ikut duduk di bawah, kemudian minta pendapat Mila terkait pidato yang baru saja disampaikan.
Peristiwa duduknya Pak Hasyim di bawah mengikuti posisi duduk Mila, dan konfirmasi materi pidato tersebut bagi saya bukan peristiwa biasa. Pak Hasyim adalah tokoh kaliber internasional, sementara Mila hanyalah wartawan Harian Duta Masyarakat. Jika tidak ada kekuatan lain di balik itu, rasanya tidak mungkin Pak Hasyim sampai melakukan hal tersebut. Bisa saja Pak Hasyim memanggil Mila sebagai anak muda. Tetapi tindakan, yang tampak spontan dari, Pak Hasyim itu menunjukkan relasi kuasa ada pada Mila.
Kedekatan Mila dengan Pak Hasyim dan Ibu Khofifah saya kira bukan sekadar isapan jempol. Mila berhasil merekam jejak kedua tokoh nasional itu melalui buku-bukunya. Mila juga berhasil merekam banyak peristiwa di seputar NU.
Kini, Ahmad Mila Hasan telah memenuhi panggilan Allah SWT. Semoga segala amal baiknya diterima sebagai amal jariyah dan bermanfaat bagi kita semua. Alfatihah..
Berita duka ini tentu mengejutkan banyak teman. Usia mantan wartawan Duta Masyarakat ini tergolong masih muda, yakni baru berusia hampir genap 37 tahun pada bulan Mei ini.
Terakhir kali saya melihat sosoknya sekitar hampir setahun yang lalu. Waktu itu saya sedang menanti angkutan umum di sekitar stasiun Pondok Ranji, kampung Utan. Dia mengendarai motor, membonceng anak istrinya. Saya tak sempat berbincang-bincang, karena dia terus melajukan motornya menuju arah Ciputat. Beberapa hari sebelumnya, saya sempat berbincang-bincang di kantornya, Kementerian Sosial RI (Kemensos). Dia diangkat Ibu Menteri Sosial RI Khofifah sebagai Tenaga Ahli.
Sejak itu, saya hanya mendengar kabar bahwa Alumni Madrasah Aliyah Khusus (MAK) Tarbiyatut Tholabah Kranji ini terserang stroke dan tidak aktif lagi di Kemensos. Awal-awal tahun 2016, saat saya main ke ruangan Staf Khusus Mensos, saya mendapat kabar yang cukup menggemberikan. Mila, begitu saya biasa memanggilnya, sudah aktif bekerja lagi di Kemensos. Sayangnya, saya tidak sempat jumpa. Saya hanya dengar cerita dari Mas Ari dan Mas Idy Muzayyad bahwa Mila seringkali sudah "tidak nyambung".
Terus terang, saya punya kenangan tersendiri dengan Mila. Saya mengenalnya pertama kali saat di Asrama MAK Tarbiyatut Tholabah, sekitar 1995/1996. Saat itu dia masih sekolah aliyah, dan saya sedang mempersiapkan diri untuk masuk kuliah di Institut PTIQ Jakarta. Saya sengaja tinggal di Pondok Pesantren Tarbiyatut Tholabah untuk melancarkan hafalan Alquran saya, karena Abuya Abdullah Umar sedang menjalankan Ibadah Haji. Di asrama MAK itu saya tinggal, bersama para santri lainnya.
Mila memang tidak tinggal di asrama, tetapi setiap saat dia berada di sana. Rumahnya tidak terlalu jauh dari pondok yang diasuh oleh KH. Moh. Baqir Adelan saat itu. Dia tinggal di Desa Tunggul, Paciran, sekitar 1-2 km dari lokasi PP Tabah Kranji, Paciran. Mila cukup pulang-pergi saja dari pondok ke rumahnya. Namun saya kira waktunya banyak dihabiskan di pondok.
Di MAK, Mila tergolong anak yang aktif dan cerdas. Kalau mendengar obrolannya, dia tergolong anak yang selalu bersemangat.
Suatu malam, di kamar pojok tempat saya dan Cak Abdul Halim tinggal, Mila menjelaskan kepada saya bagaimana kehidupan sebagai nelayan, yang tidak pernah saya ketahui sebelumnya. Saya baru tahu bagaimana cara nelayan itu melaut, menangkap ikan, dan berbagi keuntungan.
Kranji adalah kampung kelahiran Ibu saya. Sebagaimana di Tunggul, kampung kelahiran Mila, Kranji adalah perkampung nelayan pesisir utara. Kampung-kampung itu sederet dengan taman Wisata Tanjung Kodok, yang kini terkenal sebagai Wisata Bahari Lamongan (WBL).
Sebagai kampung nelayan, tentu mata pencahariannya berasal dari menangkap ikan, yang disebut Mila dengan istilah "Miyang". Kalau tidak salah, Miyang itu menebar jaring ke laut, lalu ditarik ke kapalnya. Mila sangat antusias menceritakan Miyang ini kepada saya. Cerita tentang Miyang ini membuat saya begitu berkesan. Karena itu, seringkali dia atau saya saling mengajak Miyang, walaupun tak pernah terealisasi.
Setelah lama tak berjumpa, tiba-tiba kami berjumpa di Jakarta. Dia telah menjadi mahasiswa LIPIA dan aktif di PMII. Tak lama kemudian, berdirilah WASIAT, sebuah organisasi paguyuban alumni Pondok Pesantren Tarbiyatut Tholabah di Jakarta. Saya menduga salah satu pelopornya adalah Mila, tentu dengan para seniornya seperti Mas'ud Abdullah dan juga teman-teman lainnya.
Mila menunjukkan kemajuan aktivitasnya. Dia bekerja sebagai wartawan Duta Masyarakat biro Jakarta. Beberapa kali dia mengangkat artikel-artikel atau berita terkait PP Tabah, seperti profil KH. Moh. Baqir Adelan, profil Abdullah Mas'ud, dan lain-lain. Dia juga aktif di PP IPNU.
Selaku wartawan Duta Masyarakat, dia menjadi salah seorang kepercayaan Ketua Umum PBNU KH. Hasyim Muzadi. Suatu ketika, saya menyaksikan peristiwa yang begitu mencengangkan terkait relasi Mila dengan Pak Hasyim. Saat itu, saya lupa acara apa, Pak Hasyim selaku Ketua Umum PBNU usai berpidato membuka acara. Sedangkan saya dan Mila sedang kongkow-kongkow di luar forum, gedung PBNU lantai 8. Saat Mila sedang memainkan HP-nya sambil duduk di lantai, tiba-tiba Pak Hasyim mendatangi Mila dan ikut duduk di bawah, kemudian minta pendapat Mila terkait pidato yang baru saja disampaikan.
Peristiwa duduknya Pak Hasyim di bawah mengikuti posisi duduk Mila, dan konfirmasi materi pidato tersebut bagi saya bukan peristiwa biasa. Pak Hasyim adalah tokoh kaliber internasional, sementara Mila hanyalah wartawan Harian Duta Masyarakat. Jika tidak ada kekuatan lain di balik itu, rasanya tidak mungkin Pak Hasyim sampai melakukan hal tersebut. Bisa saja Pak Hasyim memanggil Mila sebagai anak muda. Tetapi tindakan, yang tampak spontan dari, Pak Hasyim itu menunjukkan relasi kuasa ada pada Mila.
Kedekatan Mila dengan Pak Hasyim dan Ibu Khofifah saya kira bukan sekadar isapan jempol. Mila berhasil merekam jejak kedua tokoh nasional itu melalui buku-bukunya. Mila juga berhasil merekam banyak peristiwa di seputar NU.
Kini, Ahmad Mila Hasan telah memenuhi panggilan Allah SWT. Semoga segala amal baiknya diterima sebagai amal jariyah dan bermanfaat bagi kita semua. Alfatihah..
cak sahlul... email panjenengan nopo cak ?
BalasHapusHi, i think that i noticed you visited my blog thus i got here to return the want?.I'm attempting to in finding issues to enhance my site!I suppose its good enough to use some of your ideas!! outlook sign in
BalasHapus